Entri Populer

Kamis, 28 April 2011

Warga RW 30 Kaliabang Olah Sampah Jadi Pupuk Jumat, 28 Mei 2010

BEKASI (Pos Kota) – Gerakan kebersihan, keindahan dan ketertiban (K-3) maupun gencarnya upaya meraih Piala Adipura, berimbas kepada produksi sampah. Sejumlah kalangan mulai aktif mengelola dan mengolah sampah menjadi kompos.

Hal ini dilakukan salah satunya di RW 30 Kaliabang Kecamatan Medansatria, Kota Bekasi. Warga dengan pengurus RW setempat melakukan pengolahan sampah lingkungan. Sampah dapur atau sampah rumah tangga diubah menjadi kompos dan pupuk cair.
“Sampah yang diolah adalah sampah basah. Jadi, memang pemilahan sampah diutamakan dilakukan mulai dari masyarakat,” kata Nashori, pengelola sampah.

Langkah yang dilakukan dengan sosialisasi kepada warga agar memisahkan sampah basah, kering dan sampah B3. Sampah ini dikumpulkan di satu tempat. Lalu, sampah ini dicacah dan diolah system fermentasi. Campurannya sekam, kotoran hewan dan EM4 sebagai katalisator.

“Karena fermentasi butuh waktu, maka hasil sampah itu diambil setiap 3 pekan sekali,” kata Nashori.
Hasil kompos yang diperoleh bisa mencukupi kebutuhan warga dan lingkungan. Prosuksi kompos ini sekitar 600 kg per dua pekan. “Sebenarnya bisa dua ton setiap bulannya. Namun karena masalah distribusi, kita secukupnya saja,” katanya.
Alhasil, produksi kompos dari sampah lingkungan ini bisa memberi kegiatan bagi warga dan juga pemasukan yang positif. Termasuk juga produksi pupuk cair bisa dirasakan untuk menyuburkan tanah warga.

Masalah pemasaran memang diakui masih menjadi kendala. Kalau saja bisa dibantu untuk dipasarkan di toko dan sejenisnya, maka produksi bisa ditingkatkan lebih banyak. Saat ini, hasil kompos itu sudah disalurkan ke lingkungan, kantor kecamatan maupun kantor kelurahan. “Malah Pak walikota juga pernah kita kirim kompos ini,” katanya.

Nashori dan warga yang lain menilai kegiatan pengolahan sampah ini sangat positif. Selain mendorong warga mempedulikan lingkungan agar tetap bersih, juga mengatasi persoalan sampah yang sebelumnya sering banyak dikeluhkan.

Pembinaan pengolahan sampah ini dilakukan Bagian Lingkungan Hidup Pemkot Bekasi. Termasuk dalam bantuan sarana mesin pencacah maupun bimbingan teknis yang dilakukan.
(chotim/sir)

Warga Cipinang Elok Kelola Sampah Mandiri

SP/Hotman Siregar
Kepala Sub Dinas Kebersihan Jakarta Timur, Unu Nurdin, memperhatikan para pekerja di pabrik pengomposan sampah organik di RW 10, Cipinang Elok, Jakarta Timur. Pabrik ini mampu menghasilkan kompos dari sampah sekitar tiga ton per bulan.

Suasana asri dan sejuk akan terasa saat berkunjung ke RW 10 Perumahan Cipinang Elok, Jatinegara, Jakarta Timur. Tanaman tumbuh subur di hampir seluruh permukiman warga. Selain tanaman yang menambah keasrian, pemberdayaan masyarakat dalam membuat kompos patut diapresiasi. Masyarakat di sana mampu mengolah sampah menjadi produk bernilai ekonomis.

Tidak mengherankan, kondisi perumahan yang asri dan bersih menghantarkan kawasan permukiman Cipinang Elok menjadi Juara I Kategori Kebersihan dan Keindahan se-Kelurahan dan Kecamatan tiga tahun berturut-turut. RW 10 juga meraih juara I Lomba Daur Ulang Sampah se-Jakarta Timur.

Volume sampah perumahan Cipinang Elok tiap hari mencapai 15 meter kubik. Dengan perbandingan, komposisi sampah organik 60 persen dan sampah anorganik 40 persen. Sampah kemudian dipilah dan dikumpulkan untuk diproses menjadi kompos di pabrik kompos.
Sampah organik yang berasal rumah tangga, seperti sisa-sisa makanan dan daun-daunan diolah menjadi kompos padat. Dibutuhkan waktu sekitar dua bulan agar sampah organik dapat berubah menjadi kompos.
Parno (25), pekerja di pabrik kompos yang berada di tengah-tengah permukiman RW 10, mengungkapkan, kapasitas produksi kompos baru mencapai tiga ton per bulan. Produksi kompos itu sebenarnya masih bisa ditingkatkan bila mesin penggiling sampah ditambah.
Saat ini, hanya ada satu mesin penggiling. Kompos hasil produksinya dijual Rp 1.500 per kg dan telah berlangsung sejak tahun 2005.

Buka Lapangan Kerja
Parno bersama dua rekannya sehari-hari bekerja di pabrik kompos yang dikelola oleh Ketua RW 10. Bapak satu anak ini mendapatkan gaji bersih Rp 450.000 per bulan. Kompos dibeli oleh masyarakat lingkungan sekitar dan dari daerah lain. Kompos dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman, media tanam di rumah sendiri, dan dijual di toko.

Syamsudin (56), salah satu pengawas lapangan, menjelaskan, keuntungan penjualan kompos digunakan untuk membiayai kebutuhan operasional dan gaji sekitar 25 karyawan. Kegiatan pengomposan ini telah membuka lapangan kerja bagi warga sekitar dengan mempekerjakan dua orang dan satu teknisi di pabrik kompos. Sementara 20 pekerja sebagai tukang sapu, empat orang pengurus taman dan tiga pembersih selokan.

“Pabrik kompos ini juga sering dijadikan wilayah percontohan dan studi banding berbagai pihak, termasuk kalangan perguruan tinggi. Pembuatan kompos di RW 10 masih tergolong kecil karena kapasitas mesin tidak sesuai dengan jumlah sampah organik yang ada, mesin harusnya ditambah supaya hasilnya banyak,” tutur Syamsudin.

Kepala Sub Dinas Kebersihan Jakarta Timur, Unu Nurdin, dalam perbincangan dengan SP di pabrik sampah RW 10 mengatakan, upaya daur ulang dan pengomposan sampah di berbagai lokasi terus digalakkan. Hal itu untuk mengurangi volume sampah ke tempat pembuangan akhir.

“Kalau semua RW mampu mengurangi pembuangan sampah ke TPA sekitar 30 persen, sudah sangat membantu. Pengomposan ini juga membantu menyelamatkan lingkungan,” katanya. [SP/Hotman Siregar]

2030, Volume Sampah di DKI 9 Ribu Ton per Hari


BERITAJAKARTA.COM — 20-06-2010 19:18
Sampah masih menjadi persoalan serius di DKI Jakarta yang butuh perhatian khusus. Saat ini saja, volume sampah di DKI sudah mencapai 6.500 ton sampah per hari dan diprediksi mengalami kenaikan setiap tahun sekitar 5 persen. Bahkan pada 2030, volume sampah diprediksi mencapai 9 ribu ton per hari. Berpijak dari kondisi riil ini, Pemprov DKI melakukan pembenahan pengelolaan sampah, salah satunya merancang masterplan penanganan sampah hingga 20 tahun ke depan sehingga sampah tidak mencemari lingkungan, melainkan jusrtu dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kompos dan energi listrik.

Masterplan penanganan dan pengelolaan sampah nantinya dibagi dalam dua wilayah layanan yakni, timur dan barat dengan membangun lima Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) di dua kawasan tersebut. “Masterplan penanganan dan pengelolaan sampah sudah dibuat hingga 20 tahun ke depan. Kalau sekarang baru 6 ribu ton per hari, diperkirakan tahun 2020 sampah mencapai 7.200 ton pe hari dan tahun 2030 akan mencapai 9 ribu ton per hari. Ini dengan perkirakan setiap tahun volume sampah akan naik 5 persen,” kata Eko Bharuna, Kepala Dinas Kebersihan DKI di Jakarta, Minggu, (20/6).

Masterplan ini masih dalam tahap kajian dan segera dituangkan dalam bentuk dokumen resmi Pemprov DKI. Isi masterplan itu menyatakan wilayah layanan Timur, sampah akan dibuang dan dikelola di TPST Bantargebang, Bekasi dan TPST Ciangir, Tangerang. Rencananya, dua TPST ini akan mampu menampung volume sampah hingga 6 ribu ton per hari. Rinciannya, TPST Bantargebang akan menampung 4.500 ton per hari dan TPST Ciangir akan menampung 1.500 ton per hari sampah Jakarta. Sedangkan 1.500 ton per hari lainnya dari sampah Kota Tangerang dan sekitarnya.

Sedangkan untuk wilayah layanan Barat, Pemprov DKI akan membangun tiga intermediate treatment facilities (ITF) yang berbentuk TPST dalam kota. TPST ini akan menangani sampah-sampah di dalam kota dengan kapasitas seluruhnya 3 ribu ton per hari. Tiga TPST tersebut yaitu TPST Cakung Cilincing, TPST Sunter, dan TPST Marunda di Jakarta Utara dengan masing-masing mampu menampung 1.000 ton per hari per TPST.

“Dengan adanya lima TPST tersebut, dalam 20 tahun ke depan atau hingga 2030, Kota Jakarta mampu mengakomodir volume sampah mencapai 9 ribu ton per hari. Semua sampah kita olah menjadi listrik, pupuk, atau kompos. Masterplan kita harapkan bisa selesai tahun ini,” ujarnya.

Eko memaparkan dari lima TPST tersebut, baru satu TPST yang telah berfungsi penuh, yaitu TPST Bantargebang yang sudah beroperasi sejak tahun 1989, dan baru diperbarui kontrak pengelolaannya dengan PT Godang Tua Jaya pada Desember 2008 lalu. Saat ini, TPST Bantargebang telah menampung 6 ribu ton per hari, dan setelah TPST Ciangir selesai dibangun pada tahun 2012, maka kapasitas penampunan sampah di TPST Bantargebang akan dikurangi menjadi 4.500 ton per hari.

Sampah di TPST tersebut juga telah diolah menghasil listrik sebesar 2 megawatt (MW). Direncanakan daya listrik hasil olahan gas metan sampah itu akan ditingkatkan terus menerus hingga mencapai 4 MW pada tahun 2010, meningkat 11 MW pada tahun 2011 dan terakhir menghasilkan 26 MW pada 2016. Listrik ini akan dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) Bekasi untuk kebutuhan warga Bekasi. Tidak hanya itu, sampah juga diolah menjadi pupuk kompos dan sebagian dijadikan bijih plastik.

Luas lahan TPST Bantargebang sekitar 150 hektar, yang terdiri dari 110 hektar milik Pemprov DKI Jakarta dan 40 hektar milik pengelola. Rencananya, di lahan milik pengelola ini yang akan didirikan sarana rekreasi. Selain dijadikan tempat wisata, kawasan ini nantinya akan dijadikan Pusat Studi Pengelolaan Sampah (PSPS). Wisatawan akan diajak berekreasi sambil belajar bagaimana mengelola sampah.

Sementara TPST Ciangir sudah ditandatangani memorandum of understanding (MoU) antara Pemprov DKI dengan Pemerintah Kota Tangerang pada Agustus 2009. MoU ini akan berakhir pada Agustus 2010, namun hingga saat ini belum ada kemajuan dari MoU tersebut terkait dengan pembuatan Perjanjian Kerja Sama (PKS). “Masih ada kendala, karena banyak kepentingan dalam pemilihan teknologi pengolahan sampah. Kalau masalah sosial dan masyarakat sudah selesai,” jelas Eko.

Namun Dinas Kebersihan menargetkan pelaksanaan lelang tetap bisa dilaksanakan tahun ini. Kegiatan fisiknya sendiri ditargetkan bisa dimulai tahun depan, sehingga dalam dua tahun sejak pembangunan, TPST seluas 98 hektar itu sudah bisa beroperasi. Untuk percepatan pembangunan itu, Pemprov DKI sudah menggandeng konsultan independen yakni Clinton Climate Iniciative (CCI) untuk menelaah dampak lingkungannya. CCI menawarkan teknologi ramah lingkungan yang tidak mahal yaitu adanya bunker kedap air untuk menampung sampah, kemudian gas metan dan limbah cair sampah langsung disedot untuk diolah. “Investasinya sekitar Rp 700 miliar. Tapi kalau hingga Agustus 2010, PKS TPST Ciangir belum terealisasi, Pemprov DKI akan lebih memprioritaskan pembangunan 3 TPST dalam kota,” paparnya.

Salah satu dari TPST dalam kota yang akan dibangun adalah di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Marunda, Jakarta Utara. Di kawasan tersebut telah tersedia lahan seluas 12 hektar dari total luas lahan 76 hektar. Dari lahan seluas 12 hektar tersebut, TPST Marunda akan dibangun terintegrasi dengan pengelolaan air limbah cair dari kapal-kapal yang akan berlabuh dan pengelolaan air bersih. Pembangunan TPST ini akan sinergi dengan rencana pembangunan Pelabuhan Internasional Ali Sadikin di KEK Marunda sebagai pelabuhan penunjang Pelabuhan Tanjungpriok.

Dua TPST dalam kota lainnya yang akan dibangun yaitu TPST Cakung Cilincing dan TPST Sunter, Jakarta Utara. TPST Cakung Cilincing direncanakan dapat menampung volume sampah sebanyak 1.000 ton per hari. TPST ini merupakan milik swasta murni yang akan bekerja sama dengan perusahaan pengolahan sampah terbesar di Singapura, Keppel Land yang mendirikan perumahan di Sentra Timur Jakarta. “TPST Cakung Cilincing sudah beroperasi, namun hanya mampu menampung 300 ton per hari. Sampah dibakar dan dijadikan kompos,” beber Eko.

Sedangkan TPST Sunter merupakan milik Pemprov DKI Jakarta yang juga direncanakan dapat menampung sampah sebanyak 1.000 ton per hari. Saat ini, TPST Sunter sudah digunakan untuk memadatkan sampah, kemudian dibawa dengan kendaraan kapsul untuk dibuang ke TPST Bantargebang. Ke depan, sampah di TPST ini akan diolah juga menjadi kompos.

Studi Pertanian Organik Mulai Dianggap Penting Kamis, 17 September 2009 | 20:12 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Perkuliahan pertanian organik di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, terutama di program sarjana, masih sebatas pengenalan yang disajikan sebagai sebuah mata kuliah. Meskipun baru sebatas mata kuliah, pertanian organik mulai dianggap penting untuk dikembangkan oleh para akademisi dan ilmuwan di perguruan tinggi.

"Pertanian organik itu kan masih jadi tren saat ini. Kepada mahasiswa S-1, kita berikan opsi pilihan dalam mata kuliah sehingga ketika terjun di masyarakat nanti mereka bisa melihat, pertanian organik atau anorganik yang mestinya dikembangkan. Jika di program sarjana ada yang langsung dispesifikan ke pertanian organik, kasihan mereka. Kita kan belum tahu peluang kerjanya. Jadi di program S-1 pertanian masih secara umum," jelas Rektor Universitas Mataram, Mansur Ma'shum yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (17/9).

Perkuliahan pertanian di perguruan tinggi saat ini justru menghadapi tantangan turunnya peminat. Untuk mengatasi turunnya minat calon mahasiswa mengambil jurusan pertanian, pendidikan pertanian difokuskan pada dua bidang, yakni agroteknologi/agro-ekoteknologi dan agribisnis.
Menurut Mansur, kalangan perguruan tinggi tidak mau terburu-buru memasang kaca mata kuda kepada mahasiswa bahwa pertanian organik mesti diutamakan. Pola pikir atau mindset ke pertanian organik itu tidak bisa dipaksakan secara instan.
Para pengajar dalam ilmu hama, tanah, kesuburan, misalnya, bisa memperkenalkan pentingnya pemakaian zat-zat organik dibandingkan yang anorganik. Di sini, pola pertanian organik bisa dimasukkan sebagai pilihan. "Kelebihan-kelebihan pertanian organik diperkenalkan. Ketika di masyarakat, pertanian organik sudah mulai diterima dan diminati, mahasiswa bisa memilih mana yang akan dikembangkan," kata Mansur.

Sebaliknya, kata Mansur yang juga Guru Besar Ilmu Tanah, di program pascasarjana untuk S-2 dan doktor, kajian pertanian organik sebagai tesis dan disertasi mulai diminati. "Ada kesadaran untuk bisa memakai bahan-bahan alami yang ramah lingkungan untuk pertanian ke depan," kata Mansur.

Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yonny Koesmaryono mengatakan perkuliahan pertanian organik untuk menjadi suatu bidang studi sendiri perlu kajian yang matang. Peminatan secara khusus dari kalangan mahasiswa juga belum terlihat secara signifikan.
"Tetapi IPB sudah mengembangkan laboratorium pertanian organik. Implementasi pertanian organik juga mesti dilihat sanggup di level mana. Karena untuk melaksanakan pertanian organik di level yang tinggi, tentu persyaratannya juga cukup banyak," kata Yonny.

Menurut Yonny, pengembangan pertanian organik memerlukan kemauan politik dari pemerintah untuk menjadi suatu kebijakan yang bisa dilaksanakan secara bersama-sama dan berkesinambungan. "Peminatan untuk perkuliahan organik adanya mulai di S-2 dengan yang mau fokus pada penelitian pertanian organik," ujar Yonny.

Gerakan pertanian organik mestinya bukan sekadar perubahan teknik bertani dari penggunaan bahan-bahan kimia ke bahan alam. Gerakan ini harus menjadi idealisme para petani dan masyarakat memutus ketergantungan pada produk-produk kimai yang umunya dihasilkan dari luar.
Dengan pemakaian bahan-bahan yang ramah lingkungan, keseimbangan alam juga akan terjaga. Perubahan itu bisa berkontribusi pada upaya mengatasi ancaman perubahan iklim yang cepat.

Sistem Organik Terkendala Budaya Petani Laporan wartawan KOMPAS Idha Saraswati W Sejati Jumat, 26 Juni 2009 | 18:41 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Penerapan sistem pertanian organik di Indonesia terkendala oleh budaya petani. Selama masa revolusi hijau mereka terbiasa bercocok tanam sesuai petunjuk dalam program pemerintah sehingga kehilangan kreativitas.

Hal itu disampaikan antropolog dari School of Social and Cultural Studies, Massey University Auckland, Selandia Baru, Graeme Macrae, dalam kuliah umum Pertanian Organik dan Permasalahannya, Jumat (26/6) di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Kesimpulan mengenai kendala dari faktor budaya itu ditemukan Macrae dari pengamatannya terhadap penerapan sistem pertanian organik di Ubud Bali. Menurut dia, sampai sekarang, sebagian besar petani masih enggan mencoba pola pertanian organik karena khawatir terhadap risikonya. Masalah utama kekhawatiran itu bukan terkait, baik dengan faktor ekonomis, maupun teknis, melainkan lebih karena faktor sosial budaya. Demikian dia menjelaskan.\

Sebelum sistem pertanian dengan pupuk kimia diperkenalkan, petani di Bali sebenarnya telah punya pola bercocok tanam sendiri. Jejaknya bisa dilihat dalam sistem subak.
"Namun, sejak program revolusi hijau berjalan, mereka menjadi tergantung dalam hal kebutuhan benih, pupuk, pola bercocok tanam, hingga harga jual gabah. Akibatnya, saat sistem pertanian organik diperkenalkan, mereka tidak bisa merespons dengan cepat. Sangat jarang menemukan petani yang tertarik pada agrobisnis, mereka hanya tahu harga beli dan harga jual," tambah Macrae.

Ia menuturkan, sistem pertanian organik di Bali diperkenalkan pada petani oleh sejumlah ekspatriat yang tinggal di Bali. Sejak tahun 2000 sampai sekarang, baru sekitar 1 persen petani padi yang beralih ke sistem ini.
Padahal, pasar produk pertanian organik cukup menjanjikan. Di Bali saja, pasokan padi organik tidak mampu memenuhi permintaan. Permintaan terbesar memang datang dari kelompok ekspatriat dan turis asing. "Namun, semakin banyak kelas menengah atas di Bali yang mengonsumsi makanan organik karena alasan kesehatan," katanya

Secercah Harapan dari Kota Minyak

Temans, yang berasal dari kota minyak Rumbai, Minas, Duri, Dumai atau anggota KALAHARI atau apapun namanya, dim lakukan, dianapun anda berada apapun kegiatan yang anda lakukan; luangkan sedikit waktu untuk mengikuti celotehan kami tentang kota minyak tempat kita dilahirkan/dibesarkan.

Saya dan teman di Duri melakukan sedikit survey tentang pola kehidupan yang ada di wilayah kota minyak, artinya kota Duri kami lakukan sebagai lokasi penelitian kecil kami. Dari hasil survey ini sedikit dapat dipaparkan tentang pola kehidupan disana, antara lain pekerja di CPI, kerja di kontraktor, pedagang, jasa-jasa perkebunan kelapa sawit. Demikian halnya dengan para pensiunan dari CPI, RMI atau Petrosea dahulu termasuk didalamnya.

Lebih mendetail lagi para pensiunan dan anak2 mereka yang mencari nafkah di wilayah ini menjadi perhatian kami sebagai kilas balik bagaimana permasalahan yang mereka alami selam ini dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Al hasil walapun mereka punya punya uang apakah dari uang pensiun atau uang tolak atau uang kerohiman atau apapun namanya, mereka pakai untuk usaha dagang, jasa, buka PT atau untuk kebun kelapa sawit.
Pada awalnya mereka punya lahan, namun masih buta dengan tata cara penanaman kelapa sawit ini, namun dengan berjalannya waktu mereka banyak belajar dari para pendatang yang jor-joran datang di era awal tahun 90 an ke berbagai tempat di wilayah CPI. Ada banyak yang telah berhasil, namun juga tidak sedikit yang mengalami kegagalan akibat modal yang kurang, kekurang percayaan dan ada pula karena kena tipu daya oleh para pekebun yang menjadi mitra kerja.
Keluhan yang paling banyak adalah saat penanaman sampai dengan berbuah beras, yang memakan waktu antara 3-4 tahun, dimana pada fase ini pemanfaatan pupuk dan obat sangat dominan, sementara buah belum bisa di panen. Walapun saat 5 tahun ke atas penggunaan pupuk juga meningkat, namun akan terbantu dengan adanya panenan buah yang dapat mengganti pembelian pupuk ke toko pupuk penyedia.

Temans, kami punya rencana akan membantu mereka dengan cara memberikan bekal pengetahuan sedikit tentang bagaimana pupuk organik dapat mereka produksi sendiri melalui pemaparan yang akan kami mulai dalam waktu dekat dengan kelompok kecil yang dimulai dengan wilayah gereja dan paparan yang akan kami bawa terdiri dari 2 sesi, yaitu : Menghasilkan pupuk sendiri dengan Mesin Komposter 2-3 ton/hari dan menghasilkan pupuk secara sederhana.

Kami sangat mengharapkan dukungan doa dari seluruh temans melalui doa atau sumbang saran demi terlaksananya event ini. Mungkin dari teman ada yang menganggap terlalu sumir, tapi kami punya motto: Berbagi tak pernah rugi, ilmu dan pengalaman adalah dari Tuhan, berkat itu wajib dishare ke yang membutuhkan. Kami ngak punya materi yang dibagikan, namun konsep yang ada pada kami akan dibagikan sebagai saluran berkat bagi semua orang...Amin.

Sampah, si Pemicu Perubahan Iklim

Joanito De Saojoao

Sampah menumpuk di pintu air Manggarai, Jakarta Selatan, baru-baru ini. Sampah yang terbawa aliran sungai itu terhalang palang pintu air agar mudah diangkut.

Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim sudah terjadi dan diperkirakan akan semakin hebat jika tidak ada upaya untuk menguranginya. Panel Ilmuwan untuk Perubahan Iklim (Intergovermental Panel on Climate Change/IPCC) menyatakan, pemanasan global, terjadi adalah hasil dari aktivitas manusia (antropogenik).

IPCC menyebutkan, dua senyawa kimia terbesar yang berkontribusi terjadinya pemanasan global adalah gas karbon dioksida (CO2) dan methane (CH4). Selama ini, pembicaraan soal emisi gas-gas rumah kaca lebih terfokus pada sektor kehutanan yang mana peran hancurnya berjuta-juta memicu teremisikannya gas CO2 ke atmosfer dalam jumlah yang sangat besar.

Perdebatan sengit soal kondisi hutan itu seakan menenggelamkan satu sumber emisi lainnya yang sebenarnya tidak kalah lebih berbahayanya. Emiter itu adalah sampah. Permasalahan sampah di Indonesia bisa dikatakan terbilang akut.

Peneliti persampahan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Sri Bebasari, beberapa waktu lalu menganalogikan persoalan sampah di Tanah Air bagaikan seseorang yang sedang mengidap penyakit kanker stadium IV yang hanya mampu diselesaikan dengan cara radikal, amputasi.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) 1995 mencatat rata-rata produksi sampah masyarakat Indonesia per orang, yaitu 800 gram per hari. Artinya, dengan 220 juta jumlah penduduk, diperkirakan jumlah timbunan sampah nasional mencapai 176.000 ton per hari.

Jumlah tersebut ternyata terus meningkat, tahun 2000 mencapai 1 kg sampah per orang per hari. Sedangkan, diperkirakan, jumlahnya meningkat menjadi 2,1 kg per orang per hari pada tahun 2020.


20 Kali Berbahaya

Jika setiap 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kilogram gas methane, maka bisa diketahui jumlah sumbangan sampah untuk pemanasan global sebesar 8.800 ton CH4 per hari. Meskipun konsentrasi CO2 lebih tinggi, namun ilmuwan memprediksi kekuatan CH4 memiliki kekuatan 20 kali lipat lebih besar dibandingkan CO2.

Selain itu, ternyata sampah juga menjadi salah satu faktor peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer, selain kegiatan manusia lainnya yang berhubungan dengan energi, kehutanan, pertanian dan peternakan.

"Limbah buangan, termasuk sampah di dalamnya, menyumbang 11% dari total emisi. Sedangkan, apabila dihitung menurut Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) menyumbang 6% dari total emisi," kata Pelaksana harian Bidang Pengolahan Sampah KLH, Ujang Solihin Sidik, Rabu (13/1).

Apabila dihitung secara kasar, maka sampah yang dihasilkan di Jakarta setiap harinya mencapai 8 juta kg sampah. Jumlah tersebut didapat berdasarkan hasil perkalian antara jumlah penduduk yang tinggal di Jakarta (8 juta jiwa) dan jumlah sampah yang dihasilkan setiap harinya (1kg/orang/hari).

Lalu dikemanakan sampah sebanyak itu, karena selama ini ternyata Indonesia secara umum belum memiliki pola pengelolaan sampah yang tepat selain menumpuknya di tempat pembuangan akhir (TPA).

"Selama ini, penanganan sampah hanya melalui metode open dumping, yaitu sampah dikumpulkan, diangkut dan dibuang begitu saja. Walaupun di beberapa tempat sampah telah dikelola dengan metode pemisahan antara sampah organik dan nonorganik. Ini ironis, karena di negara-negara lain sudah mengenal banyak cara pengelolaan sampah," kata Romo Dr Andang Binawan S J, Rabu (13/1).

Karena itu, lanjutnya, tidak heran metode tersebut memunculkan gunungan sampah di TPA yang meningkatkan emisi gas rumah kaca dan berpengaruh terhadap pemanasan global.

Menurut data yang dikeluarkan KLH, setiap 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metan. Sementara itu, dengan jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat diperkirakan pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan mencapai 500 juta kg/hari atau 190.000 ton/tahun. Ini berarti gas metan yang dihasilkan mencapai 9.500 ton.

Selain itu, lanjutnya, gas ini berbahaya apabila tidak dikelola dengan baik. Sebagai contoh adalah kasus meledaknya gunung sampah di TPA Leuwigajah Bandung pada 21 Februari 2005 yang diduga penyebabnya gas metan.

UU Sampah

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pertengahan tahun lalu telah menerbitkan Undang-Undang (UU) 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Asisten Deputi Pencemaran Limbah Domestik dan Usaha Skala Kecil atau Rumah Tangga KLH, Tri Bangun Laksono, di Jakarta, Rabu (14/1), mengakui, sampai saat ini baru lima persen sampah yang diolah.

Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Slamet Daroyini, menyampaikan, terkait substansi UU, pemerintah dan DPR telah lalai dan teledor, karena tidak memasukkan unsur sanksi atau denda bagi perusahaan yang tidak menarik kemasan produk yang tidak bisa diurai oleh alam tersebut. [E-7/NOV/M-15]

Pupuk Organik Jadi Peluang Usaha Menjanjikan Editor: Erlangga Djumena Senin, 20 Desember 2010

KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA
Pabrik pupuk organik di Dusun Karanganyar, Gadingharjo, Sanden Bantul ini, siap beroperasi awal Juli. Kapasitas pabrik pupuk organik pertama di DIY ini, 50 ton per bulan. Pabrik ini dibangun untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia oleh petani.
TERKAIT:
BANTUL, KOMPAS.com - Tingginya kebutuhan pupuk serta kenaikan harga eceran ter tinggi pupuk kimia menjadi peluang bagi pupuk organik sebagai pupuk alternatif. Di Bantul produsen pupuk organik semakin bertambah banyak karena permintaan pasar yang cenderung naik.
Suyoto, Ketua Kelompok Ngudi Mandiri, salah satu produsen pupuk organik, Senin (20/12/2010) mengatakan proses produksi pupuk organik butuh waktu 1-3 bulan. Tiap bulan produksinya mencapai 50 ton. Bahan bakunya berupa kotoran ternak dibeli seharga Rp 600.000 per truk.

"Kami yakin permintaan pupuk organik akan terus naik seiring dengan kesadaran petani. Disamping itu naiknya harga eceran tertinggi atau HET akan menjadi pertimbangan petani untuk menggunakan pupuk kimia," katanya.
Kelompok Ngudi Mandiri mulai memproduksi pupuk tahun 2007 setelah mendapatkan pelatihan dari mahasiswa pertanian Universitas Gadjah Mada. Pada awalnya, bahan baku pupuk menggunakan sampah dari pasar Bantul. Produksinya juga masih dalam skala kecil yaitu 50 kg sampai 400 kg.

Mulanya pupuk yang dihasilkan belum dikomersilkan, tetapi diberikan secara gratis kepada petani. Langkah tersebut dimaksudkan sebagai promosi untuk mengenalkan produk mereka kepada petani dan sekaligus uji kualitas pupuk yang dihasilkan.

Pupuk Organik Dari Sampah Kota (adm/24 Nop 2010)

Debit sampah di kota besar semacam Jakarta bisa mencapai 8500 ton per hari.  Persentase terbesar dari jumlah sampah tersebut adalah sampah organik yang potensial untuk dikembangkan sebagai pupuk.  BPTP DKI Jakarta telah menghasilkan kajian dalam pemanfaatan limbah dengan metode pengomposan, formula pupuk organik padat dalam bentuk pelet dan granul ("HPS Granular/HPS Pelet'), dan pupuk organik cair "HPS-1" (Harapan Petani Sejahtera).

Teknologi pengomposan sampah organik pasar yang telah teruji paling sesuai untuk jenis sampah tersebut (kandungan air sangat tinggi) adalah melalui pengaturan sistem drainase melalui kemiringan bidang pengomposan sebesar 15o serta pembuatan alur-alur pembuangan lindi pada bidang sejajar kemiringan bidang. Selain itu melalui pengaturan sistem aerasi menggunakan bambu atau paralon yang dilubangi pada sisi-sisinya dan ditanam di dalam tumpukan bahan kompos; serta perlakuan inokulasi menggunakan mikroba eksogenous.  Karakteristik kimia kompos yang dihasilkan, diantaranya, C organik 13%, N-total 3,53%, P-total 0,53%, K-total 4,44%, Ca 5,80%, Mg 1,34%, C/N ratio 10 setelah 14 hari waktu pengomposan.
Komposisi formula pupuk organik padat dalam bentuk pelet dan granul berbahan baku kompos sampah kota (Pupuk HPS Granular/HPS Pelet) yang dikembangkan meliputi tepung kompos sampah kota 75% (b/b), Batuan Fosfat 10% (b/b), Arang Sekam 10% (b/b), Zeolit 5% (b/b), serta kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat dengan kerapatan minimal 106 sel.g-1 bahan pupuk.  Formulasi pupuk HPS-1 meliputi ekstrak sampah sayur dan buah 70% (v/v) dan Molase 30% (v/v) yang difermentasi secara anaerobik selama 14 hari menggunakan kultur campuran Lactobacillus sp.  Hasil fermentasi sebanyak 80% (v/v) diperkaya hasil fermentasi batuan fosfat 20% (v/v) dan kultur campuran pelarut fosfat (Pseudomonas sp.) dan penambat N bebas (Azozpirilium sp.), masing-masing dengan kerapatan 106-109 sel.ml-1.

Pada beberapa komoditas tanaman sayuran (terong, kacang panjang, sawi, selada, bayam, dan kangkung serta jagung manis)  pupuk HPS Granul, HPS Pelet, maupun HPS-1 (cair) memiliki nilai efektivitas agronomis nisbih (RAE) berkisar 60-87% dibandingkan pupuk kimia NPK (Teknologi Petani).  Berdasarkan nilai RAE tersebut, maka pupuk HPS tersebut secara umum layak untuk digunakan sebagai pupuk alternatif pengganti pupuk kimia dalam sistem pertanian organik tanpa pupuk mineral/kimia atau dapat juga dikombinasikan dengan pupuk kimia guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pupuk kimia dalam sistem pertanian konvensional.

Teknologi pembuatan pupuk dari sampah tersebut telah didiseminasikan pada semua wilayah di DKI Jakarta, baik melalui forum yang difasilitasi oleh Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta dan Suku Dinas Pertanian di lima wilayah kota, maupun melalui media dan kegiatan diseminasi BPTP Jakarta (media cetak, audio visual, gelar dan temu teknologi, serta pertemuan rutin dengan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani). 

Hingga saat ini, Teknologi pengomposan pupuk dari sampah kota telah diadopsi oleh Kelompok Tani Adenium Jaya, Jagakarsa, Jakarta Selatan.  Sementara itu, teknologi pembuatan pupuk cair (HPS-1) telah diadopsi oleh Kelompok Tani Nusa Indah, Jakarta Selatan. 
Penerapan pembuatan pupuk organik padat dan cair sedang diinisiasi untuk diterapkan di Kelompok Tani Primatara dan Kelompok Peternak di Wilayah Mampang Prapatan, Jakarta selatan.  Selain itu, tercatat beberapa kelompok masyarakat dan kelompok tani telah menelusuri lebih lanjut informasi teknologi yang dikembangkan guna ditindaklanjuti dalam penerapan di lapang.


Sumber: situs web BPTP DKI Jakarta

Pabrik Pupuk Organik Iskandar Muda gandeng PTPN I buat pupuk organik

JAKARTA. PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) berniat untuk segera membangun pabrik pupuk organik. Rencananya, PIM akan menggandeng PT Perkebunan Nusantara [PTPN] I guna merealisasikan rencana tersebut. Menurut Direktur Utama PIM, Mashudianto, PIM masih menegosiasikan rencana kerjasama ini.
"Sekarang masih proses evaluasi untuk membuat pabrik pupuk organik. PIM masih me-review struktur permodalan," kata Mashudianto . Mashudianto mengaku, PIM ingin supaya PTPN I dapat menambah kembali modal untuk membuat pabrik tersebut.

Kapasitas pembangunan pabrik tersebut mencapai 30.000 ton per tahun. Perusahaan patungan yang bernama PT Ima Nusa Organik membutuhkan nilai investasi sebesar Rp 48,89 miliar. Sayang, Mashudianto masih menutup rapat soal detail rencana pembangunan pupuk organik ini.

Sementara Sekretaris Dewan Komisaris PTPN I, Rudi Rusli membenarkan soal rencana PTPN I menggandeng PIM membangun pabrik pupuk organik. Rudi mengaku, saat ini PTPN I sedang kesulitan pendanaan untuk perusahaannya. PTPN I sedang mengajukan bantuan kepada Kementerian Keuangan berupa Penyertaan Modal Negara (PMN).

"PTPN I sedang kesulitan dana. Kami mau meminjam bank tapi PTPN I tidak bankable sehingga masih menunggu PMN yang sedang diajukan ke Kementerian Keuangan," terangnya.

Ujang, Anak Kemarin Sore dan Pertanian Organik Selasa, 28 Juli 2009 | 08:41 WIB

Petani konvensional di tanah Sunda umumnya mengenal falsafah ”kadenge, kadeuleu, karampa, karasa” atau mendengar, melihat, meraba, dan merasakan. Bagi Ujang Ahmad Zaenal Muttaqin, falsafah yang dianut oleh para petani tradisional tersebut menjadi hambatan serius ketika dia ingin mengajak mereka untuk bertani organik.

Para petani konvensional harus mendengar, melihat, dan meraba dulu baru mereka percaya terhadap teknologi baru dalam bertani. Susahnya minta ampun untuk meyakinkan petani konvensional bahwa bertani organik dengan cara budidaya baru itu merupakan cara terbaik guna meningkatkan kesejahteraan mereka,” kata Ujang, ayah dua anak ini.

Kegelisahan Ujang terhadap nasib petani di desanya, Jambenenenggang, Kecamatan Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mulai muncul sekitar akhir tahun 2000. Ketika itu Ujang baru kembali dari Jepang, setelah bekerja di sebuah pabrik sejak tahun 1997.
Ketika di Jepang, setiap akhir pekan Ujang menyempatkan diri magang di sebuah sentra pertanian. Ini bisa dia lakukan dengan rekomendasi dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sukabumi. Di sini dia melihat pertanian yang sudah sistematis dikerjakan mesin. Petani di Jepang hanya menjadi operator sejak membajak sawah, menyemai, menanam, hingga memanen. ”Produktivitas lahan mereka tinggi, mencapai 11 ton per hektar waktu itu,” ceritanya.

Pulang ke Indonesia, Ujang membuang mimpinya untuk melihat petani di kampungnya mengoperasikan mesin di sawah. Namun, muncul keyakinannya bahwa petani bisa meningkatkan taraf hidup jika mereka mau. ”Dari teknologi, jelas kita ketinggalan (dari Jepang). Tapi, kalau petani mau mengubah pola bertaninya, saya yakin mereka bisa meningkatkan taraf hidup,” kata Ujang.

Petani miskin
Lulusan Madrasah Aliyah Negeri Syamsul Ullum Sukabumi itu mendapati petani di sekitarnya sebagai petani miskin yang penghasilannya amat kecil. ”Di lahan seluas 1 hektar, petani penyewa hanya mendapat pemasukan sebesar Rp 2 juta selama satu musim, atau sekitar Rp 500.000 per bulan,” kata Ujang.
Penghasilan itu dihitung dari ongkos produksi, mulai dari pupuk dan pengolahan lahan sebesar Rp 2,2 juta per hektar serta sewa lahan Rp 7 juta per hektar per musim.

Hasil panen mereka hanya 5,6 ton per hektar dan dijual dengan harga Rp 2.000 per kilogram. Dengan demikian, panen semusim hanya memberi hasil Rp 11,2 juta. Setelah dikurangi ongkos produksi dan sewa lahan, petani hanya memperoleh Rp 2 juta per musim. ”Kami mengenal istilah, petani hanya timbul daki setelah bertani karena mereka memang tidak mendapat apa-apa,” kata Ujang.

Dengan falsafah yang dianut oleh para petani konvensional itu, dia harus memulai lebih dulu bagaimana bertani organik dan budidaya yang baik hingga bisa memberikan keuntungan.
Ketika memulai cara bertani organik, banyak petani konvensional yang mencemooh Ujang. Apalagi, dia masih termasuk ”anak kemarin sore” di kampung Kebonpedes. ”Banyak petani yang mengatakan bahwa mereka lebih dulu bertani daripada saya, jadi tentunya merasa lebih tahu. Saya diam saja, tetapi tetap yakin ketika melihat hasilnya, mereka akan percaya,” katanya.

Ujang kemudian memulainya dengan mengganti pupuk pabrik dengan pupuk kompos dari tumbuh-tumbuhan hijau dan granole (pupuk dari kotoran hewan yang dicampur dengan dekomposer). Ujang memerlukan waktu tiga musim untuk mengakhiri penggunaan pupuk pabrik karena kondisi tanah belum terbiasa.
Dia memproduksi sendiri granole dengan maksud agar tak bergantung pada pihak mana pun. Dia mendapatkan kotoran hewan dari warga yang beternak sapi dan para tetangga yang memiliki kambing dan ayam.

Apabila menggunakan kompos, sawah seluas 1 hektar memerlukan sekitar 5-7 ton. Adapun dengan granole, sawah luas yang sama hanya memerlukan 500 kilogram sampai 1 ton. Kebutuhan ini tergantung dari kondisi keasaman tanah.

Beralih ke organik
Selain beralih ke pertanian organik, Ujang juga memulai budidaya bertani yang baru, yakni dengan mengurangi penggunaan benih padi.
”Petani konvensional biasanya menggunakan hingga delapan bibit dalam satu lubang. Ketika tumbuh, maksimal hanya 18 anakan yang jadi karena bibit sulit tumbuh,” katanya.
Adapun cara yang dilakukan Ujang adalah dengan menggunakan satu-dua bibit saja per lubang. Ternyata setelah tumbuh, tanaman itu bisa menghasilkan 25 anakan per lubang.
Dengan cara itu, dia hanya memerlukan paling banyak 8 kilogram benih per hektar. Bandingkan dengan petani konvensional yang memerlukan benih sampai 35 kilogram per hektar.
Masih belum puas, Ujang berusaha menambah pengetahuan bertaninya dengan mengikuti Sekolah Lapangan Pengelola Tanaman Terpadu (SLPTT) di Kebonpedes. Terbukti, Ujang bisa mendongkrak produktivitas tanaman padinya menjadi 8 ton lebih per hektar.

Adapun ongkos produksi yang diperlukan Ujang untuk mengolah 1 hektar lahan hanya Rp 2,1 juta. Ditambah sewa lahan Rp 7 juta, dia hanya menghabiskan biaya sebanyak Rp 9,1 juta. Namun, hasil panen dan harganya bisa naik signifikan.
Dengan hasil panen padi organik pada musim terakhir sebanyak 8,82 ton per hektar dan harga gabah basah Rp 2.400 per kilogram, Ujang memperoleh penghasilan Rp 21,168 juta. Jumlah itu, setelah dikurangi modal kerja, masih bersisa Rp 12,068 juta dalam semusim, atau Rp 3 juta per bulan.

Melihat keberhasilan Ujang, puluhan petani konvensional dan pemuda pengangguran di Kebonpedes mulai tertarik menekuni pertanian organik. Dalam satu musim terakhir, delapan kelompok tani setempat meminta Ujang mendampingi mereka mempraktikkan cara bertani organik. Setiap kelompok tani itu mempunyai anggota 20-25 petani.

Seiring dengan makin banyaknya petani konvensional yang menerapkan pertanian organik dan cara budidaya baru itu, Ujang yakin petani di Kebonpedes akan mandiri. ”Apa lagi yang mau dibantah? Pupuk sudah bisa kami produksi sendiri dan harga gabah padi organik juga jauh di atas harga padi nonorganik. Kalau ada kemauan, sebenarnya tidak sulit menjadi petani mandiri,” kata Ujang.

Permintaan Pupuk Organik Terus Meningkat Minggu, 18 Juli 2010, 17:20:52 WIB

Jakarta, RMOL. Minat dan permintaan petani akan pupuk bio organik  mengalami peningkatan. Meskipun pupuk jenis ini tergolong masih baru jika dibanding dengan pupuk urea jenis non organik.

Tak hanya itu, sejumlah negara lain juga sudah mulai menggunakan (mengimpor) pupuk jenis organik yang diproduksi PT Sido Muncul tersebut.

“Iya. Untuk tiga bulan pertama tahun ini, China telah mengimpor 350 ton pupuk bio organik cair. Rencananya sejumlah negara lain, seperti Vietnam, Myanmar, Thailand , Timor Leste dan Ghana  juga memesan bio organik produksi kami,” ujar Direktur  PT Sido Muncul, David Hidayat, di sela-sela HUT ke-4 PT Nutrend Internasional, anak perusahaan Sido Muncul, di Jakarta, Minggu siang (18/7).

PT Nutrend Internasional bergerak di bidang MLM  (multi level marketing) dan khusus memasarkan produk-produk PT Sido Muncul bidang pertanian, seperti Anti Oxidant (Rooibos Tea); Chlorophyl (Chloromint & Chlorocue); Colostrum (Colatrend) dan Amotrend.

Menurut direkturnya, Irnez Hidayat, member Nutrend berkembang sangat pesat dan merata terutama di Sumatera dan Jawa, yang  lebih berjumlah lebih dari 129.730 member (anggota) tersebar di seluruh Indonesia. Untuk mendukung pendistribusian produk-produk Nutrend sudah memiliki  lebih dari 376 stokis (agen).

Herbafarm merupakan pupuk alami (organik) yang diproses dari produk samping Sido Muncul sebagai industri jamu yang berbahan baku tanaman obat dan rempah-rempah. Kepercayaan petani terhadap pupuk bio organik Herbafarm makin meningkat setelah diperolehnya  sertifikat dari Badan Sertiifikasi Belanda “Control Union Certifications” sebagai produk yang 100 % alami.

Penggunaan pupuk bio organik cair yang mengandung mikroba sangat bermanfaat karena mengandung unsur hara yang esensial. Dengan nutrisi pupuk ini akan menyuburkan tanaman, serta membuat tanaman tahan saat musim kering dan lebih tahan terhadap serangan hama karena diperkaya oleh Bio Protectant. Penggunaan pupuk bio organik sungguh menguntungkan petani, sebagaimana dialami para petani di berbagai tempat akhir-akhir ini, seperti Cirebon dan Subang Jawa Barat.

Menurut David Hidayat, proyek percontohan 100 hektar sawah di Subang membuktikan kehebatan pupuk jenis ini. Kalau biasanya petani menggunakan pupuk kimia hanya menghasilkan 6 hingga 8 ton padi per hektar, namun setelah menggunakan pupuk bio organik hasilnya meningkat menjadi 12 hingga 14 ton padi per hektar.

“Biayanya pun jauh lebih murah. Kalau biasanya menghabiskan dana  Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta per hektar, setelah menggunakan pupuk bio organik petani cukup mengeluiarkan Rp 350.00 saja. Untung kan ? Kualitas dan jumlah butir  padinya pun meningkat. Makanya Pemda-pemda mulai menganjurkan petaninya menggunakan pupuk organic,” ujar David lagi.

Irnez menambahkan, sudah saatnya kita ikut melestarikan alam dengan penggunaan pupuk bio organik, mengurangi penggunaan penggunaan bahan-bahan kimia, herbisida dan pestisida berbagaya.

“Dengan menggunakan pupuk bio organik berarti kita ikut menjaga kelestarian lingkungan dan biota tanah pun terjaga,” katanya.
[zul]

PERANGI SAMPAH ! JADIKAN KONSEP 3 R (Reduce,Reuse ,Recycling) SEBAGAI KAMPANYE NASIONAL

Disadari atau tidak, kita sebagai manusia (anak-anak hingga dewasa) tentunya memiliki aktifitas, baik itu di rumah, sekolah maupun di tempat kerja. 

Akibat aktifitas tersebut seringkali kitak tidak menyadari bahwa setiap hari kita menghasilkan sampah. Dan dari penelitian terbukti bahwa manusia yang tinggal diperkotaan menghasilkan sampah lebih banyak daripada manusia yang tinggal di perdesaan.
Hal ini diperkuat dengan adanya fakta bahwa saat ini hampir semua Pemerintah kota besar di Indonesia sedang mengalami kesulitan dalam pengelolaan sampah yang dihasilkan oleh warga kotanya.
Sebagai contoh dapat dibayangkan produksi sampah yang dihasilkan oleh dua kota besar di Indonesia yaitu Jakarta dan Bandung. Setiap hari Jakarta menghasilkan sampah (rumah tangga dan industri) sebanyak 25.687 m³. Apabila diasumsikan tinggi timbulan sampah setinggi 4 – 5 m maka jumlah tersebut ekuivalen dengan kebutuhan luasan lahan 5.000 m2 hingga 6.500 m2 untuk menampungnya. Sedangkan kota Bandung, memproduksi sampah sebanyak 7.500 m³, sehingga dibutuhan luasan lahan 1.500 m2 hingga 1.900 m2 untuk menampungnya. Dengan gambaran ini maka patutlah kita bertanya kepada diri kita masing-masing : relakah kita menjadikan lahan terbuka yang semakin langka di sekitar lingkungan tinggal kita, hanya untuk menimbun sampah? Lalu dimana anak cucu kita nanti akan bermain?
Masalah sampah ini jelas memusingkan para pejabat yang bertanggung jawab untuk mengatasi dan mengelolanya. Pemerintah Jakarta telah membangun berbagai fasilitas untuk mengurangi beban tekanan yang timbul akibat pengelolaan masalah sampah, misalnya dengan membangun Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Bantar Gebang, Pengolahan antara di Cakung sampai membangun fasilitas pengolahan yang modern di Bojong yang semuanya akhirnya bermasalah. Sedangkan Pemerintah kota Bandung juga mengalami hal yang serupa dengan fasilitas TPA nya yaitu di Leuwigajah, Cimahi yang ditutup karena longsor; di Pasir Impun; Jelekong dan Cicabe yang tidak dapat dipakai lagi karena warga menolak perpanjangan kontraknya. Akibatnya bisa diduga, kota Bandung menjadi lautan sampah. Masyarakatpun menjerit sambil menutup hidung. Namun sebagai warga kota, bijakkah kita bila menimpakan tanggung jawab pengelolaan sampah ini hanya kepundak Pemerintah? Tentu saja tidak. Karena itu mari kita lihat upaya-upaya yang dapat dilakukan bersama antara masyarakat dan Pemerintah.
Sampai saat ini paradigma yang dipakai oleh Pemerintah dalam hal pengelolaan sampah, umumnya masih sangat konvensional/kuno yaitu : kumpul; angkut dan buang. Paradigma ini dapat terimplementasikan dalam teknologi konvensional dalam pengendalian sampah, yang dikenal dengan Sanitary Landfill. Teknis sanitary landfill yaitu digali lubang luas sedalam kurang lebih 15-20 meter, dan kemudian dilapisi geoplastic agar sampah tidak merembes kedalam tanah dan menyebar kebagian lain, serta dibagian bawahnya diberi saluran air agar cairan yang timbul dari sampah bisa dikendalikan. Sampah kemudian dimasukan kedalam lubang setinggi 1,5-2 meter kemudian dilapisi tanah dengan ketinggian yang sama. Demikian seterusnya berlapis dan selang seling antara tanah dan sampah hingga mencapai ketinggian tertentu. Selanjutnya jika ketinggian telah mencapai tinggi yang optimum (sekitar 15 meter) maka daerah tersebut dibiarkan selama beberapa tahun hingga mencapai suatu waktu yang aman sehingga permukaan lahan tersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain. Dalam kasus kota Jakarta dan Bandung, TPA yang dikelola Pemerintah tidak menggunakan system ini, namun timbulan sampah dibiarkan terbuka, sehingga menimbulkan berbagai masalah bagi masyarakat yang tinggal disekitar TPA tersebut.

Metode landfill maupun TPA membawa konsekuensi akan kebutuhan lahan penampungan yang makin meluas, yang tidak mungkin diakomodasikan oleh lahan perkotaan yang makin sempit dan mahal. Oleh karena itu Pengelolaan sampah dengan metode : kumpul, angkut dan buang seperti ini perlu diimbangi dengan metode lain yang terpadu, efektif dan berdaya guna agar daya dukung pemanfaatan lahan diperkotaan dapat meningkat kembali baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Dalam hal pengelolaan sampah maka Departemen Pekerjaan Umum sebagai lembaga instansi teknis, dengan tanggung jawab utamanya sebagai penyedia prasana dan sarana umum di perkotaan dan perdesaan telah melihat adanya kebutuhan metode-metode baru untuk mencari solusi atas masalah pengelolaan sampah ini. Karena itu sudah sejak bertahun tahun yang lalu departemen ini telah memprakarsai sebuah gagasan pengelolaan sampah yang dikenal dengan KONSEP 3 R, yaitu REDUCE (mengurangi volume), REUSE (menggunakan kembali) dan RECYCLE (mendaur ulang). Konsep 3 R ini tidak dimaksudkan untuk merubah secara total metode konvensional yang telah dilakukan oleh Pemerintah, namun bersifat melengkapi atau menyempurnakannya sehingga diperoleh hasil yang optimal. Dengan kombinasi konsep 3 R ini maka paradigma pengelolaan sampah dapat berkembang menjadi : 1) minimalkan; 2)kumpulkan; 3) pilah-pilah; 4) olah; 5) angkut dan buang sisanya. Langkah 1),3) dan 4) merupakan implementasi dari konsep 3 R , sedangkan langkah 2) dan 5) merupakan implementasi dari konsep lama.
Secara ringkas ke 5 langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Langkah 1) minimalkan (reduce). Pada tahap inilah peran serta masyarakat perlu ditingkatkan karena dari sinilah produksi sampah dimulai. Masyarakat perlu dimotivasi untuk meminimalkan sampah dengan cara mengkonsumsi produk-produk yang ramah lingkungan, kemasan isi ulang atau pemakaian perabot yang bukan sekali buang, membawa tas belanjaan dari rumah dan tindakan-tindakan kecil lain namun dalam jangka panjang dapat memberi manfaat nyata. Sedangkan pihak penjual/pengusaha pasar swalayan atau mall dapat dimotivasi untuk membuat kemasan belanja dari bahan organic atau daur ulang, dan sebagai insentif pemerintah dapat memberikan potongan pajak. Langkah 2) kumpulkan dan dibarengi dengan langkah 3) pilah-pilah. Masyarakat perlu diberi penyuluhan untuk tertib dalam mewadahi sampahnya dalam dua wadah yang berbeda antara sampah organic dan non organic. Pemerintah bisa memfasilitasinya dengan penjualan wadah-wadah sampah murah yang kualitas konstruksinya memenuhi standar. Selanjutnya masyarakat dapat mengumpulkan sampah dirumahnya sendiri atau dikumpulkan ke TPS kecil terdekat untuk diolah lebih lanjut.
Langkah 4) Olah (Reuse dan Recycling). Pemerintah dalam tindakan ini harus memberi penyuluhan tentang beberapa jenis cara pengolahan sampah tepat guna, yaitu mudah dan murah. Pengolahan sampah organic menjadi kompos dengan skala kecil hingga menengah dapat diperkenalkan melalui perkumpulan PKK maupun arisan yang umumnya ada di tiap lingkungan permukiman. Untuk sampah non organic seperti plastic, gelas, kartun, kertas, kaleng, dapat dikumpulkan kemudian didaur ulang menjadi benda-benda lain yang bermanfaat oleh penduduk setempat atau dikirim ke pabrik pengolahan atau ke pabrik asal/produsen untuk digunakan kembali. Pemerintah perlu memfasilitasi terbentuknya organisasi atau perorangan yang bertindak sebagai pengumpul (asosiasi pemulung, misalnya) disertai dengan fasilitas penunjangnya.
Sebagai contoh kasus, di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat kampanye untuk menyadarkan masyarakat agar terlibat secara aktif dalam pengelolaan sampah, dilakukan secara kontinyu melalui berbagai media, yaitu sekolahan, televisi dan koran-koran. Dengan langkah ini maka tidak mengherankan jika masalah pengelolaan sampah telah menjadi bagian kesadaran yang wajib dimiliki setiap warga negaranya. Tindakan kampanye tersebut ditindak lanjuti oleh Pemerintah setempat dengan langkah kongkrit yaitu menempatkan unit-unit mobil pengumpulan sampah recycling diberbagai permukiman dan pusat-pusat perbelanjaan seperti supermarket dan mall.

Unit-unit mobil pengumpulan sampah recycling tersebut dilengkapi dengan alat pemroses sampah kemasan kaleng dan sampah kemasan plastik, sedangkan wadah-wadah atau kemasan yang dapat dipakai ulang akan dikumpulkan sesuai dengan merk – nya masing masing. Selanjutnya sampah ini kemudian dikirimkan ke pabrik asalnya untuk digunakan kembali (re-use).
Dan untuk menjamin agar system ini dapat berkelanjutan maka pemerintah menerapkan system insentif kepada dua pihak. Pihak pertama yaitu setiap orang yang menyerahkan sampah ke unit mobil tersebut diberi imbalan (walaupun nilainya kecil sekedar pengganti transport atau 1 cup es krim) sesuai dengan jumlah sampahnya. Biasanya orang tua sering menugaskan anaknya untuk melakukan tugas ini sehingga mereka mendapatkan tambahan uang jajan. Pihak kedua yaitu perseorangan yang mau menjadi pengelola diberikan kemudahan berupa kredit lunak untuk pembelian unit-unit mobil tersebut, bahkan pada beberapa tempat pemerintah lokal memberikannya secara cuma-cuma.
Implementasi dari langkah pengolahan (Reuse dan Recycling) berbasis masyarakat ini terbukti efektif seperti contoh yang telah dilakukan dibeberapa tempat di Jakarta, Tangerang, dan Surabaya. Di Jakarta, contoh sukses ada di Banjarsari, kelurahan Cilandak, Jakarta Selatan yang sudah meraih penghargaan dari UNDP. Berdekatan dengan Jakarta, kota Tangerang juga memiliki kawasan percontohan yaitu di Kompleks Perumahan Mustika Tiga Raksa sedangkan untuk kota Surabaya ada di kelurahan Jambangan . Hasil nyata yang diperlihatkan 3 tempat percontohan tersebut cukup berarti, yaitu sampah yang mampu diolah sekitar 60% , sehingga sisa yang dibuang ke TPA tinggal 40 % saja. Dengan demikian usia daya tampung TPA dapat diperpanjang.
Langkah 5) Angkut dan buang sisanya. Dalam keseluruhan proses pengelolaan sampah, meskipun 4 langkah sebelumnya telah ditempuh, namun tetap tidak dapat dihindarkan adanya sisa-sisa sampah yaitu sekitar 40 % yang harus ditampung di TPA. Pada tahap akhir inilah, tanggung jawab pengolahan sampah ada pada pemerintah sepenuhnya karena pada tahap ini diperlukan teknologi canggih.
Sebagai contoh Negara yang berhasil dalam pengolahan sampah dengan teknologi canggih adalah Rusia. Russia dinilai sebagai salah satu negara yang berhasil mengelola sampah untuk diproses menjadi berbagai keperluan. Teknologinya merupakan kombinasi dari teknologi mekanis, kimia dan teknologi radio-isotop. Russia berhasil mengolah sampah menjadi bahan-bahan yang bermanfaat hingga mencapai angka diatas 95% dari sampah yang masuk ke mesin pengolah, tentunya ini merupakan prestasi yang luar biasa.
Hingga saat ini di Indonesia beban tanggung-jawab pengelolaan sampah masih harus dipikul oleh Pemerintah Daerah sendiri, dan masyarakat belum terlibat secara langsung dalam siklus pengendalian sampah. Oleh karena itu kombinasi antara penggunaan teknologi modern dan meningkatkan kesadaran masyarakat adalah kunci keberhasilan pengendalian sampah di Indonesia khususnya di kota-kota besar seperti kota Jakarta dan Bandung yang kepadatan penduduknya sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan.
Dengan ulasan tentang konsep 3 R dan contoh-contoh kegagalan serta keberhasilan yang telah dipaparkan diatas, dalam rangka untuk menjadikan kota-kota besar di Indonesia sebagai kota yang tetap layak huni pada masa akan datang maka menjadikan KONSEP 3 R ( REDUCE, REUSE, RECYCLING) sebagai kampanye Nasional mutlak diperlukan.
Departemen PU. sebagai penggagas awal dari KONSEP 3 R ini tentu saja tidak dapat bertindak sendirian namun dapat bertindak sebagai koordinator untuk mensinergikan sektor-sektor lain dalam rangka mensukseskan kampanye ini. Berikut ini adalah indikasi rencana tindak yang dapat dilaksanakan dengan melibatkan sektor lain.
·        Merancang materi/substansi kampanye konsep 3 R, berbasis multi media (audio & visual) bekerja sama dengan Meneg-kominfo maupun Meneg-KLH.
·        Mensosialisasikan dan mendistribusikan materi/substansi konsep 3 R bekerja sama dengan Meneg-kominfo dan Meneg-Pemberdayaan Perempuan.
·        Melaksanakan penyuluhan ke titik-titik penghasil sampah, baik rumah tangga maupun industri serta pasar dan pertokoan. Kegiatan ini dapat bekerjasama dengan Meneg-kominfo dan Meneg-Pemberdayaan Perempuan.
·        Melaksanakan penyuluhan ke sekolah-sekolah bekerjasama dengan Meneg-kominfo dan Dep.Pendidikan Nasional.
·        Memberikan bantuan fisik berupa fasilitas pewadahan dan tempat pengolahan skala kecil/ rumah tangga sebagai percontohan.
·        Menerbitkan dan menyebarluaskan NSPM tentang teknologi pengolahan sampah tepat guna untuk masyarakat. Kegiatan ini dapat bekerjasama dengan Meneg-KLH dan Meneg-Riset dan teknologi.
·        Menerbitkan NSPM tentang teknologi pengolahan sampah teknologi tinggi untuk kalangan industri maupun Pemerintah Daerah. Kegiatan ini dapat bekerjasama dengan Meneg-KLH dan Meneg-Riset dan teknologi.
·        Membuat rancangan pola-pola insentif, seperti pengurangan kewajiban pajak bagi pihak-pihak industri yang berhasil mengolah sampahnya secara mandiri. Kegiatan ini dapat bekerjasama dengan Meneg-KLH; Meneg-Riset dan teknologi serta Dep.Keuangan cq. Dinas pajak.
·        Membuat rancangan pola-pola disinsentif, yang dapat berupa denda atau penyegelan tempat usaha bagi pihak yang melanggar ketentuan persampahan. Kegiatan ini dapat bekerjasama dengan Meneg-KLH.
·        Memfasilitasi terbentuknya badan-badan kerjasama antar daerah dalam bidang pengelolaan sampah.
·        Memfasilitasi terbentuknya forum-forum dialog masalah persampahan.
Dengan adanya rencana tindak konkrit yang dapat dilaksanakan secara bertahap ini, maka diharapkan terjadi peningkatan “signifikan” atas kualitas pengelolaan sampah di kawasan perkotaan di Seluruh Indonesia pada masa yang akan datang.( Pustra, KK, 040706)

PENYERAPAN PUPUK ORGANIK Kamis, 17 Februari 2011 | 17:12 oleh Herlina KD

JAKARTA. Meski pupuk organik disinyalir bisa meningkatkan kualitas produksi pertanian, namun hingga saat ini penggunaan pupuk organik di tingkat petani masih sangat rendah.
Ini disebabkan karena harga pupuk organik masih tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh petani. Karenanya, para produsen meminta pemerintah untuk menurunkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk.

Ketua Umum Asosiasi Pupuk Petroganik Indonesia (AP2I) Ardianto Wiyono mengatakan, pada 2010 lalu pemerintah mengalokasikan pupuk organik untuk subsidi dan bantuan langsung pupuk (BLP) sekitar 650.000 ton. "Tapi dari jumlah itu, penjualan pupuk organik kami hanya 211.000 ton.

“Sedangkan untuk pupuk organik dengan skema BLP hanya 319.000 ton," ujarnya seusai Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI Kamis (17/2).

Padahal, saat ini sudah ada sekitar 180 produsen pupuk petroganik yang tergabung dalam AP2I yang siap memasok pupuk organik. Total kapasitas produksi dari produsen pupuk organik anggota AP2I ini sebesar 2 juta ton. "Akibat penyerapan rendah, tahun ini kami tidak berproduksi dan hanya mengandalkan stok tahun lalu," ujar Ardianto.

Berdasarkan data AP2I, penjualan pupuk petroganik AP2I sejak tahun 2008 hingga saat ini tidak banyak mengalami perkembangan. Pada 2008, saat program pupuk organik diluncurkan, produksi pupuk petroganik sebesar 87.516 ton, dan hanya terserap 69.258 ton.

Pada 2009, produksi pupuk petroganik sebesar 323.507 ton, dan hanya terserap 231.764 ton. "Tahun 2010 penyerapan pupuk petroganik menurun menjadi 211.000 ton. Padahal produksinya mencapai 307.986 ton," kata Ardianto.

Asal tahu saja, saat ini HET untuk pupuk organik sebesar Rp 700 per kg. Meski harga ini sudah termasuk subsidi, tapi daya beli petani yang masih cukup rendah membuat petani masih lebih memilih pupuk kimia. "Kita minta pemerintah menurunkan HET pupuk organik menjadi RP 250 per kg," Ardianto.

Selain masalah harga, ia mengatakan adanya dualisme mekanisme penyaluran pupuk organik bersubsidi ini membuat penyerapan pupuk tidak optimal. Ardianto bilang, saat ini ada dua mekanisme yaitu subsidi dan BLP. Penyaluran pupuk organik bersubsidi dilakukan oleh AP2I, sementara penyaluran pupuk organik BLP dilakukan oleh Asosiasi Produsen Pupuk Organik dan Hayati Indonesia (APPOHI).

Tahun ini, pemerintah mengalokasikan subsidi pupuk organik sekitar 900.000 ton. "Kalau HET diturunkan, saya yakin target alokasi pupuk organik bersubsidi ini bisa terserap oleh petani. Sebab, jika harga turun, minat masyarakat untuk membeli semakin tinggi" ungkapnya.

Ketua Umum Dewan Pupuk Indonesia Zaenal Sudjaiz mengungkapkan, petani di Indonesia masih memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi pada pupuk kimia. Selain itu, "Sosialisasi pupuk organik masih belum cukup. Promosi dari pemerintah juga masih sangat kecil," ujarnya.

Penggunaan Pupuk Organik Ditingkatkan


MENTERI Pertanian Suswono mengatakan, dengan kebijakan tersebut, diharapkan, penggunaan pupuk anorganik atau kimia oleh petani yang saat ini dinilai sudah berlebihan dapat diturunkan. "Salah satu tujuan (peningkatan anggaran) agar petani mau beralihuntuk menggunakan pupuk organik," katanya di sela diskusi Go Organik 2010,yang digelar Matahari Food Business (MFB), kemarin.

Pemerintah juga akan memberikan subsidi langsung ke petani sehingga, dengan kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk anorganik pada awal April 2010 lalu, harga pupuk organik tidak mengalami perubahan. Pada kesempatan itu Suswono juga menyatakan pihaknya mengusulkan anggaran Rp3,5 triliun untuk pe-nyediaan 10 ribu mesin pengolahan pupuk organik (UPO).
Jika disetujui, tambahnya, proyek tersebut ditargetkan menekan konsumsi pupuk kimia hingga 10% per tahun. "Satu unit mesin harganya Rp 350 juta, nantinya dilengkapi dengan sapi, rumah kompos, dan mesin pengolah," katanya. Dengan anggaran itu, diharapkan, bisa mempercepat peningkatan produksi pupuk organik sekaligus mengurangi kebergantungan pada pupuk kimia. Sampai saat ini, total kebutuhan pupuk di sektor pertanian mencapai \ juta ton.

Mengenai realisasi penggunaan pupuk organik. Mentan mengakuirealisasi itu tidak bisa dilakukan secara langsung dan mendadak karena hal itu justru berdampak pada penurunan produktivitas tanaman. Namun, penggunaannya harus dilakukan secara bertahap, tanaman semusim memerlukan waktu hingga dua tahun untuk masa transisi, sedangkan pada tanaman tahunan mencapai tiga tahun.

Budi daya pertanian
Menyinggung budi daya pertanian organik, menurut dia, terdapat sejumlah keuntungan, yakni menghasilkan produk yang sehat karena tidak tercemar oleh residu pestisida atau residu yang disebabkan pemberian input kimia sintesis lainnya.
Dari segi ekonomi, biaya produksi lebih murah karena bdak perlu membeli pupuk ataupun pestisida, sedangkan harga jual produk pertanian organik lebih mahal jika dibandingkan hasil pertanian konvensional. Adapun dari aspek lingkungan dapat memelihara diversitas lingkungan karena tidak menimbulkan pencemaran akibat penggunaan input kimia sintetis.

Petani di Kabupaten Indramayu belum terbiasa menggunakan pupuk organik. Namun, petani di Kabupaten Cirebon justru sudah mulai menggunakan pupuk organik. Ketua Kontak Tani Nelayan An-dalan (KTNA) Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, Sutatang,mengatakan petani selama ini memang sudah berkali-kali menerima sosialisasi penggunaan pupuk organik.

Setelah kenaikan harga pupuk anorganik 30%-35%, Pemerintah Provinsi Sumatra Utara berupaya meningkatkan penggunaan pupuk organik di kalangan petani. Sementara itu, PT Petrokimia Gresik menurunkan tim ke sejumlah daerah di Jawa Timur yang menjadi kewajiban Petro mendistribusikan pupuk. Kegiatan itu untuk memantau reaksi petani terkait dengan rencana penaikan harga pupuk oleh pemerintah. (Tim/Ant/N-2)nurul@mediaindonesia.com