Entri Populer

Sabtu, 15 Desember 2012

Antara Rongsokan, Jodoh, dan Berangkat Haji




JAKARTA, KOMPAS.com - Di tengah teriknya matahari yang menyengat dan hiruk-pikuk arus lalu lintas Jakarta, Fatturochman (47), tak menyerah untuk terus mencari sesuap nasi. Tanpa beralaskan sandal, ia terus menarik gerobaknya yang menjadi sumber mata pencaharian dari penjuru Menteng hingga Kuningan, Jakarta Selatan.
Dari rumah ke rumah, dari satu tong sampah ke tong sampah lain, ia tengok isinya dan lewati untuk mencari yang barang rongsokan. Ya, mencari barang bekas adalah mata pencaharian untuk mengisi perut pria asal Pemalang, Jawa Tengah ini.


 Fatturrochman atau yang biasa Rochman (47) hidup sebatang kara di Jakarta. Ia mengadu nasib dengan menjadi seorang pencari barang rongsokan. Pekerja keras, satu kata yang dapat menggambarkan Rochman. Jakarta, Sabtu, (6/10/2012).




Pria yang akrab disapa Rochman ini sudah 26 tahun merantau ke Jakarta dan pekerjaannya untuk mencari barang bekas sudah dilakoninya selama 25 tahun.
Setahun riwayat hidupnya, ia gunakan untuk pekerjaan lainnya, seperti mencari busa kapuk dan konveksi. Namun, pekerjaannya di lingkungan konveksi tak bertahan lama karena ia mengaku tidak memiliki keahlian dalam menjahit.

Jika melihat fisiknya, pria tamatan Sekolah Dasar ini memang terlihat berbeda dari yang lainnya. Seringnya Rochman tidak menggunakan alas kaki untuk bekerja, membuat kakinya dipenuhi oleh penyakit kulit, tampak di punggung kakinya, ada semacam bisul yang tampak membesar dan berdarah.

Bagian dadanya terlihat membesar seperti ada penyakit yang bersarang di dalam tubuhnya dan postur tubuhnya pun tidak setara dengan teman-teman sejawatnya. Dengan postur tubuh yang dimilikinya itu, Rochman mengaku tidak mengetahui penyakit apa yang diidapnya.
"Saya juga nggak tahu. Tapi dulu pernah diceritain, katanya pas bayi, saya pernah jatuh dari gendongan, tidak pernah diurut jadinya besar begini," kata Rochman dengan logat medoknya, saat ditemui Kompas.com di pinggiran Menteng, Jakarta, Sabtu (6/10/2012).
Namun, keterbatasan fisik itu tidak membuatnya minder. Jika dibandingkan dengan teman-teman lainnya sesama pencari barang rongsokan yang memiliki fisik sempurna, Rochman terlihat lebih pekerja keras dan rajin. Teman-temannya hanya terlihat saling bercanda dan menghisap rokok.
Hari itu, Rochman juga belum mendapatkan penghasilan sama sekali, padahal matahari sudah hampir tenggelam. Namun, Rochman tidak putus asa dengan kejadian itu dan dianggapnya sudah biasa ia tidak mendapatkan penghasilan sehari.
"Hari ini sedang sepi, kalau sepi ya berarti nggak dapet apa-apa, jadi nggak makan. Tapi kalau lagi rame, biasanya dapet Rp 20 ribu sampai Rp 100 ribu. Tapi itu biasanya sehari aja, besoknya sepi lagi ha...ha..ha...," kata Rochman sambil tertawa lirih.
Untuk makan, Rochman mengaku sangat bersyukur apabila sehari itu ia bisa mengisi perutnya. Karena, bukan tak jarang ia juga berpuasa. "Alhamdulillah kalau bisa makan, sehari bisa makan sekali itu sudah nikmat yang luar biasa dari Gusti Allah. Kalau tidak ya juga disyukuri, berarti harus kerja lebih rajin lagi nantinya," ujarnya.
Sejak kecil, Rochman sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya. Rochman hidup sebatang kara dan pada akhirnya memilih untuk mengadu nasib di Jakarta.
Di usianya yang hampir menginjak setengah abad itu, mirisnya, Rochman belum berkeluarga. Ia belum pernah menikah dan belum memiliki anak. Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, terbesit keinginan untuk menikah dan memiliki keluarga kecil.

Ia selalu berpikir positif atas keadaannya saat ini. Walaupun belum menikah, ia tidak pernah berpikir negatif tentang keterbatasan fisiknya yang membuatnya 'menjomblo' hingga sekarang. Ia meyakini, Tuhan sudah menggariskan jodoh istri dan jodoh anak kepadanya.
"Yah namanya nasib mau bagaimana lagi, mbak. Kalau menikah nanti pasti juga butuh uang. Sekarang uang saya juga habis buat makan sehari-hari. Mungkin jodoh saya nanti dikasihnya kalau saya sudah jadi orang kaya, jadi bisa sekolahin anak-anak saya sampai jadi Presiden," ujar Rochman seraya tertawa.

Ia mengaku, dengan keterbatasan fisiknya itu, tak pernah sedikitpun terbesit dalam pikirannya untuk menjadi seorang pengemis. Padahal, menjadi pengemis dengan keadaan seperti itu, tentunya akan menghasilkan rupiah yang sangat menggiurkan.
"Nggak, saya nggak pernah mau ngemis, mbak. Tapi kalau ada yang kasih saya nasi ya alhamdulillah, anggap rezeki. Tapi, kalau jadi pengemis, saya nggak mau. Malahan, saya pengen banget bisa cari pekerjaan lain yang lebih layak, tapi sekarang jodoh saya ya gerobak ini, mbak," katanya.
Ia juga mengatakan selama hidup di Jakarta ini ia belum memiliki tempat tinggal yang tetap. Ia masih hidup nomaden menumpang dengan temannya. Terkadang di Kampung Menteng Atas, Senen, atau di rumah kontrakan temannya di pinggir rel Manggarai, Jakarta Selatan.

Rochman pun memiliki cita-cita mulia di bulan Haji esok, ia mendapat rezeki untuk menunaikan Rukun Islam yang ke-lima meskipun hal itu sangat kecil kemungkinannya. "Pengennya naik haji bareng bapak sama ibu, tapi nggak kesampaian," ujar Rochman.
Editor :
Aloysius Gonsaga Angi Ebo

Niat Suci Sang Pemulung Sampah

KOMPAS.com - Niat untuk berkurban itu terpatri di benak Yati (64) sejak lama. Pemulung yang tinggal di gubuk di kawasan Tebet, Jakarta, itu akhirnya bisa mewujudkan keinginannya. Pada Idul Adha kali ini, dia tidak lagi berebut dan dorong-mendorong demi mendapatkan 1 kilogram daging, tetapi justru memberikan dua ekor kambing sebagai kurban.

Kambing itu dikurbankan Yati di tengah segala keterbatasannya. Dia dan Maman, suaminya, sepakat menunda keinginan membeli rumah meskipun sadar bahwa tempat tinggal mereka berada di lokasi ilegal. Mereka juga rela tidak makan daging kurban pada Lebaran kali ini. Hewan kurban yang disalurkan lewat Masjid Raya Al Ittihaad, Tebet, dibagikan kepada yang membutuhkan, termasuk petugas pemerintahan dan aparat keamanan yang meminta daging kurban ke masjid itu.

"Sekarang saya sudah plong. Rasanya seperti naik ke surga," ujar Yati sambil tersenyum.

Dorongan untuk berkurban mulai terasa kuat beberapa pekan lalu. Tiga kali Yati menanyakan ke Maman, apakah mereka mampu membeli kambing. Maman semula ragu dan tidak terlalu menghiraukan istrinya. Namun, dia akhirnya menyilakan sang istri menggunakan uang tabungan untuk membeli kambing.

Dua pekan silam, Yati menanyakan harga kambing kepada Pak Warno, tetangga mereka yang juga penjual kambing. Dia menunjuk dua kambing berwarna coklat. Satu kambing seharga Rp 2 juta dan yang lain Rp 1 juta. Tanpa pikir panjang dan tanpa menawar, Yati langsung mengambil kalung emas yang dibeli dari tabungannya. Dia menjual kalung itu dan mendapatkan uang Rp 3,8 juta. Uang ditukarkan dengan kambing dan sisanya dibelikan kalung emas yang lebih kecil.

Pak Warno mengusulkan agar Yati menitipkan kambing di tempatnya hingga mendekati saat pemotongan hewan kurban. Yati menurut, tetapi karena tidak sabar ia menuntun kambing ke masjid pada Selasa malam. Saat itu belum ada orang yang menaruh hewan kurban di masjid. Yati juga setia memberi pakan kambingnya setiap hari hingga waktu pemotongan hewan kurban, Sabtu pagi.

H Suhendra, panitia kurban Masjid Raya Al Ittihaad, mengaku terkejut dengan niat Yati. "Selama ini, dia tidak pernah absen mendapatkan daging kurban. Tetapi, kali ini dia justru menyumbangkan dua kambing. Selama 27 tahun di masjid ini, belum pernah saya menemui pemulung yang mau menyumbangkan kambing," ujarnya.

Jemaah haji di Tanah Suci Mekkah yang menyaksikan kisah Yati di Kompas TV, Sabtu sore, bahkan sempat terharu dan tergugah.

Yati meninggalkan kampung halamannya di Gunung Sari, Surabaya, Jawa Timur, sejak 1965. Yati menumpang kereta ke Stasiun Beos. Bermodalkan kenekatan, dia memulai hidup di Jakarta. Pekerjaan sebagai pemulung barang bekas dilakoni sejak saat itu. Tempat tinggalnya tidak menetap. Kadang, gerobak yang menampung barang bekas juga dijadikan tempat tidur.

"Kalau nemu pohon rindang dan saya mengantuk, langsung saja saya tidur di gerobak," ucapnya ringan.

Dua tahun terakhir, Yati dan suaminya memilih membangun gubuk di jalur hijau Tebet. Dua kali dalam sehari, mereka berkeliling memungut plastik atau kardus bekas di Manggarai, Jatinegara, Cawang, hingga Kampung Melayu. Tidak jarang Yati diperkenankan masuk Masjid Raya Al Ittihaad bila ada acara di situ. Selain mengambili barang bekas, pengurus masjid juga kerap memberi makanan atau uang ke Yati.

Pendapatan keluarga ini tidak menentu. Selain bergantung jumlah plastik dan kardus yang terkumpul setiap hari, pemulung seperti Yati juga harus berhadapan dengan harga beli barang bekas yang naik-turun. Bila sedang sial, 1 kilogram barang bekas hanya dihargai Rp 300. Ada kalanya juga harga menyentuh Rp 1.000. Dalam 1,5 bulan, Yati dan Maman mengumpulkan uang sekitar Rp 200.000.

Utang ke warung tidak terhindarkan lagi bila barang yang terkumpul belum cukup. Utang makan, minum, dan rokok ini baru tertutupi setelah dia menerima uang hasil penjualan barang. Kalau ada sisa, uang dipakai untuk hidup sehari-hari bersama anak angkatnya. Selebihnya, uang yang masih ada digunakan untuk membeli perhiasan sedapatnya.

Dengan niat berkurban di hari raya, Yati bisa membeli dua kambing dan menutup seluruh utangnya. "Kita tidak tahu sampai kapan kita hidup. Selama bisa berbuat baik, ya, kita jalankan saja." (Agnes Rita Sulistyawaty)

Sampah Wajib Dipilah dari Sumbernya

JAKARTA, KOMPAS.com - Pelaksanaan pengelolaan sampah sebelumnya tidak memiliki landasan hukum walaupun Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah ditetapkan.

Kini, dengan penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga, pengelolaan sampah memiliki landasan hukum.



"PP Pengelolaan Sampah ini menjadi landasan untuk pengelolaan sampah yang lebih baik," kata Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya di Jakarta, Kamis (1/11/2012).

Dengan penetapan PP tersebut, Balthasar mengimbau masyarakat untuk menjaga lingkungan dengan mengelola sampah.

"Saya imbau seluruh masyarakat mari bersama-sama bertanggung jawab menjaga lingkungan khususnya dalam mengelola sampah," katanya.

PP tersebut menjadi landasan bagi pemerintah dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah dan memberikan kejelasan mengenai pembagian tugas dan peran para pihak terkait pengelolaan sampah.

Deputi IV Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan Sampah, Masnellyarti, menjelaskan bahwa PP telah mengatur bahwa sampah dari tingkat rumah tangga sudah harus dipilah.

Dalam Pasal 17, dinyatakan bahwa pemilahan sampah harus dilakukan mulai dari sumbernya, seperti rumah tangga, pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum dan fasilitas lainnya.

"Jadi tidak dibenarkan lagi jika warga membakar sampah," kata Masnellyarti.

Berdasarkan PP, Masnellyarti menambahkan, pengelola permukiman seperti apartemen dan fasilitas umum lainnya wajib menyediakan sarana pemilahan sampah skala kawasan.

Sampah yang dipilah terbagi paling sedikit dalam lima jenis. Pertama, sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun. Kedua, sampah yang mudah terurai. Ketiga, sampah yang dapat digunakan kembali. Keempat, sampah yang dapat didaur ulang. Kelima, sampah lainnya.

PP juga mengatur bahwa sarana penampungan sampah harus diberi label atau tanda.

Meski mengatur tentang pemilahan sampah, namun PP tersebut tidak secara tegas mengatur tentang sanksi yang diberikan jika sampah masih dibakar atau tidak dipilah. Menurut Masnellyarti, pemberian sanksi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri maupun peraturan daerah atau kabupaten.

Dalam hal pengolahan sampah bersama dan memerlukan pengangkutan sampah lintas kabupaten atau kota, pemerintah kabupaten/kota dapat mengusulkan kepada provinsi untuk menyediakan stasiun peralihan antara dan alat angkut.

Dalam proses akhir, pemerintah setempat wajib menyediakan dan mengoperasikan Tempat Pembuangan akhir (TPA) dengan melakukan metode lahan urug terkendali, metode lahan urug saniter atau teknologi ramah lingkungan.

Balthasar mengungkapkan, penetapan PP itu butuh perjuangan panjang. Salah satu sebabnya adalah masalah penggunaan bahan baku produksi dan kemasan yang dapat diurai oleh dunia usaha.

"Awalnya kita ingin lima tahun, tapi setelah diskusi yang panjang akhirya ditetapkan dalam jangka waktu 10 tahun," kata Balthasar.

Inilah Tiga Isu Penting Terkait PP No 81 Tahun 2012

Kebonnanas, Wartakotalive.com
Baru-baru ini, Kementerian Lingkungan Hidup menyampaikan substansi penting dari Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga yang telah diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2012.

 

Peraturan pemerintah ini sangat penting sebagai peraturan pelaksana UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sekaligus memperkuat landasan hukum bagi penyelenggaraan pengelola sampah di Indonesia, khususnya di daerah.
"Ada tiga isu penting seiring disahkannya PP No 81 Tahun 2012 ini yaitu pertama, mulai tahun 2013 seluruh pemerintah kabupaten/kota harus mengubah sistem open dumping pada tempat pemrosesan akhir (TPA) menjadi berwawasan lingkungan," jelas Menteri Negara Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya, saat ditemui di Ruang Kalpataru Gd B Lt 2, Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta Timur, pada Kamis (1/11/2012).

Lanjut Meneg LH, isu yang kedua adalah kalangan dunia usaha, dalam hal ini produsen, importir, distributor, dan retailer, bersama pemerintah harus segera merealisasikan penerapan extended producer responsibility (EPR) dalam pengelolaan sampah. Serta yang ketiga, pengelolaan kawasan pemukiman, kawasan industri, kawasan komersial, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas lainnya, harus segera memilah, mengumpulkan, dan mengolah sampah di masing-masing kawasan.

Meneg LH juga menyatakan, dengan PP No 81 Tahun 2012 ini, diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan sampah berwawasan lingkungan. "Dengan adanya PP ini, akan mewujudkan pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan yang bertumpu pada penerapan 3R (reduce, reuse, recycle). Hal ini dalam rangka penghematan sumber daya alam, penghematan energi, pengembangan energi alternatif dari pengolahan sampah, perlindungan lingkungan serta pengendalian pencemaran," jelasnya. (*)

Rabu, 12 Desember 2012

USULAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH BARU DI DKI JAKARTA Oleh : Victor Simatupang



1. PENDAHULUAN
Pengolahan sampah di DKI saat ini masih memakai sistem/pola lama, dimana sampah dari sumber sampah seperti perumahan, pasar, pusat perdagangan, perkantoran, dll masih diangkut ke TPS atau trans depo lalu secara berkala dibuang ke TPA-Bantar Gebang Bekasi. Kenapa disebut sistem lama, karena pola-pola ini adalah pola konvensional, dimana akhir dari semua sampah kota seluruhnya diangkut ke pembuangan akhir untuk di tebar urug (sanitary landfill).
Mengacu pada UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan mengisyaratkan adanya perubahan pola pengelolaan sampah, yang tadinya TPA adalah pusat pengolahan sampah kota dirubah menjadi TPA hanya bagian/ porsi kecil yang untuk pengolahannya. Sementara sumber-sumber sampah diwajibkan meiliki pengolahan secara terintegrasi dengan TPS atau transfer depo; adapun sampah yang tidak dapat di daur ulang sesuai dengan konsep 3R dan memiliki nilai ekonomis yang rendah adalah yang di olah di TPA.
Sebagai perbandingan gambaran perubahan pola pengelolaan sampah dapat dilihat pada gambar piramida berikut ini.


 



POLA PENGELOLAAN PERSAMPAHAN LAMA (PIRAMIDA TEGAK)
POLA PENGELOLAAN PERSAMPAHAN BARU (PIRAMIDA TERBALIK)

Dari kedua gambar diatas jelas terlihat adanya perubahan secara nyata bahwa yang diharapkan oleh UU No. 18 tahun 2008  adalah lakukan pengelolaan di hulu (sumber sampah, TPS dan Trans Depo).
Selama 3 tahun kebelakang memang ada upaya Dinas KebersihanDKI  melakukan terobosan dengan bekerja sama dengan swasta untuk mengolah sampah di 3 wilayah yaitu Cakung, Marunda dan Sunter. Ketiga lahan tersebut adalah ex trans depo DKI, 2 (Marunda dan Cilincing) telah beroperasi dan 1 lagi gagal ditenderkan karena faktor teknis. Diharapkan dengan beroperasinya ketiga ITF  ini, timbulan sampah DKI sebesar 6.500 ton/hari akan berkurang menjadi 3.000 ton/hari.
Namun, dibalik pembangunan ketiga ITF (Integrated Treatment Facility) Pemda DKI harus mengeluarkan tipping fee sebesar 3.000 x RP. 400.000 = Rp 1.200.000.000 per hari, dan setara dengan  Rp. 36 M  per bulan dan dalam setahun sebesar  432 M  angka yang sangat fantastic. 
Dan yang lebih fantastic lagi, bahwa pengelolaan dilakukan oleh investor selama 30 tahun, artinya selama 30 tahun swasta yang akan menikmati uang tipping feenya. Setelah itu fasilitas akan dikembalikan ke PEMDA DKI, dalam kondisi ???
Terlepas dari hal ini semua, sebenarnya bila kembali ke pola yang diminta oleh UU No. 18 di atas, pengelolaan sampah dengan mengikut sertakan masyarakat di garis terdepan akan lebih memberikan banyak manfaat bagi Pemda DKI,  juga bagi warga/swasta dan aparat pemda di tingkat RT, RW dan kelurahan. Hal ini akan meningkatkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab bersama untuk mengatasi problem sampah dilingkungannya masing-masing.


2. PENGELOLAAN SAMPAH DI KECAMATAN /KELURAHAN
Sesuai dengan amanat dari UU no. 18 tahun 2008, pengelolaan sebaiknya dilakukan di sumbernya, yaitu di tingkat RT/RW atau Kelurahan/Kecamatan atau bisa dimulai bdi sekitar lingkungan pasar . Pertanyaannya adalah, bagaimana sitem atau teknologi yang diterapkan, butuh luas berapa dan tenaga kerja berapa banyak?
Teknologi yang akan diterapkan sangat simple didasarkan pada alam, yaitu menggunakan bakteri yang ada di alam serta bantuan tenaga mesin mekanis sebagai alat bantunya.  Sistem ini dapat dirakit di fabricator local dan mesin-mesin penggerak dapat ditemui di pasaran local. Lahan yang dibutuhkan adalah 150-200 m2 dalam satu bangunan dan tenaga kerja tidak banyak cukup 5-7 orang.

Adapun sistem pengolahan sampah yang akan diusulakan adalah sebagai berikut:


 


GBR:   USULAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH CAMPURAN DI KECAMATAN/KELURAHAN

Sistem seperti gambar di atas dapat mengolah 40-50 m3 sampah per harinya yang dapat menghasilkan 10 Ton/hari kompos granular. Bila ada 50 kecamatan yang ada di DKI dan setiap kecamatan dipasang 1 unit alat sejenis dan di pasar sebanyak 20 pasar maka jumlah sampah yang dapat diolah adalah :
70 x 50 m3/hari = 3.500 m3/4 = 875 Ton/hari.
Untuk mencapai pengolahan sampai tuntas dibutuhkan 4 unit di setiap kecamatan, sehingga hasil pengolahannya adalah sebagai berikut:
4 x 70 x 50 m3/hari =14.000 m3/hari/ 4 = 3.500 Ton/hari.
Dengan demikian jumlah yang sampah campuran yang diolah adalah sebagai berikut :
1. ITF 3 unit @ 1250 ton/hari                        = 3 x 1.250 Ton/hari = 3.750 Ton/hari;
2. Pengolahan di kecamatan/kelurahan  /Pasar                          = 3.500 Ton/hari
                                TOTAL PENGOLAHAN                                             = 7.250 Ton/hari.

3. PERBANDINGAN SISTEM BARU VERSUS LAMA DAN BIAYA PENGELUARAN
Untuk mengetahui perbandingan sistem yang ada saat ini dan pengelolaan sampah di hulu dapat digambarkan pada tabel berikut ini.

NO
ITEM PEMBANDING
SISTEM SAAT INI

SISTEM BARU
1
Pengolahan di Sumber
Relatif hanya pengumpulan
Pengolahan di sumber 90%
2
Alat transportasi
Hampir 2.000 rit per hari
Hanya 15-20% = 300-400 rit
3
Ketersediaan lahan TPS/Trans depo
Perlu untuk tempat pengumpulan sementara
Perlu tambahan lahan untuk pengolahan dan gudang produk
4
Kontribusi kemacetan
Sangat tinggi
Berkurang drastis
5
Biaya Pengelolaan
a. Biaya investasi, ngak ada
b. Biaya transportasi 2.000 rit
c. Tipping fee di TPA @ Rp. 150.000 = Rp. 300.000.000/hari
d. Tipping fee  3 ITF @ RP. 400.000/hari = 3.750x400.000 =Rp 1,5  M per hari
Total biaya per hari =Rp. 1,8 M

Total Biaya 1 tahun =657 M
a. Biaya investasi /tahun  Rp 315 M.
b. Biaya transportasi 300-400 rit
c. Tipping fee di TPA @Rp.150.000/hari  =400 x 150.000 = Rp. 60.000.000
Total biaya per hari =Rp. 60 Juta
Total biaya 1 tahun = 337 M

4. BIAYA KONSTRUKSI SISTEM BARU
Biaya yang dibutuhkan untuk melengkapi sistem ini antara lain adalah sebagai berikut :
a. Biaya bangunan 200 m2                                                                                            = Rp.      500.000.000,-
b. Biaya fabrikasi, pengadaan  dan pemasangan mesin2                                 = Rp.  4.000.000.000,-
TOTAL BIAYA 1 UNIT                                                                                                       = Rp. 4.500.000.000,-
Pengadaan untuk 1 tahun anggaran 70 unit = 70 x 4,5 M                                 = Rp.315.000.000.000,-

5. REKOMENDASI
Untuk mengetahui secara factual kondisi pengelolaan persampahan di seluruh wilayah DKI Jakarta, perlu dilakukan satu kajian ulang yang meliputi antara lain:
a. Sistem cakupan pelayanan di seluruh wilayah 5 walikota dan kabupaten Pulau Seribu;
b. Mengetahui secara detil kendala-kendala penyapuan jalan, pengumpulan dan moda angkutan dari setiap wilayah yang ada di DKI Jakarta;
c. Memetakan sistem pengolahan sampah di 2 wilayah lokasi ITF dan lokasi Sunter yang akan diusulkan menjadi ITF;
d. Memetakan sistem pengelolaan persampahan pada 29 kelurahan yang dikelola oleh Swastanisasi;
e. Memetakan sistem pengangkutan sampah dari lokasi pasar yang ada di DKI Jakarta.
f. Memetakan kemungkinan TPS/Trans depo  di setiap kelurahan/kecamatan di wilayah DKI Jakarta untuk digunakan sebagai tempat pengolahan sampah.

Bagi teman atau relasi yang berbagi silahkan hubungi : victory_stp@yahoo.com
Atau kunjungi website kami di: www.vessel-komposter.blogspot.com