Entri Populer

Rabu, 06 Februari 2013

Mari Memanen Energi Sampah Indonesia oleh Andi Hendra

Mungkin masih melekat di ingatan kita tentang peristiwa longsor di TPA Leuwigajah pada tahun 2005 yang menewaskan 157 orang. Setelah peristiwa tersebut, Bandung yang awalnya dikenal sebagai Lautan Api mendapat julukan baru yaitu Lautan Sampah akibat tidak ada lagi TPA yang dapat digunakan untuk menampung sampah Bandung. Perlu waktu yang cukup lama untuk mengatasi masalah tersebut salah satunya dengan membangun TPA baru di Gedebage.

Kisah tersebut merupakan salah satu contoh sekelumit problematika pengolahan sampah di Indonesia. Pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk berjibaku dengan sesuatu yang dianggap useless ini. Eitss, tapi anggapan sampah adalah barang useless sepertinya akan berubah dengan gencarnya pemanfaatan sampah di negara-negara lain menjadi sumber energi. Kata ‘sampah’ mungkin tidak akan dipakai lagi sebagai kata cacian karena kesadaran akan berharganya barang yang satu ini.
Salah satu bentuk panen energi sampah adalah dengan memanfaatkan gas methane yang dihasilkan dari tumpukan sampah tersebut menjadi fuel bagi gas engine untuk menghasilkan listrik atau biasa disebut sebagai Teknologi Landfill Gas.

Bayangin deh, dulu untuk mendapatkan gas alam, perusahaan migas harus drilling lapisan bumi ratusan meter dengan risiko kegagalan yang besar dan investasi yang diperlukan juga sangat besar. Ternyata di depan mata kita, gas alam juga tersedia berlimpah ruah, yaitu dari tumpukan sampah. Dengan potensi sampah yang sangat besar di Indonesia, tidak perlu ditakutkan lagi akan kelangkaan migas kedepannya. Kita tinggal berusaha memanfaatkan energi sampah ini dari sekarang sehingga bila nanti migas sudah benar-benar habis, energi dari sampah ini menjadi salah satu alternatif utama energi pengganti.

Dari sisi lingkungan, emisi gas methane hasil landfill gas tersebut yang bahayanya 21 kali lebih merusak dibandingkan gas karbondioksida dalam hal global warming dapat berkurang signifikan karena dimanfaatkan sebagai fuel pembangkit listrik. Jadi selain memanfaatkan energi sampah sebagai bisnis, investor juga sudah menabung pahala dengan bertindak sebagai pendekar lingkungan yang mengurangi efek rumah kaca.

Malah di beberapa negara Eropa, gas methane yang berasal dari sampah tersebut digunakan sebagai bahan campuran (blending) 20% dari BBG untuk kendaraan-kendaraan disana. Jadi tidak usah heran bila di masa depan di setiap TPA di Indonesia akan dibangun stasiun pengisian bahan bakar yang berasal dari gas methane dari sampah di tempat tersebut.

Teknologi yang lebih efektif dalam menghasilkan listrik dari sampah adalah Incenerator. Prinsipnya sederhana, sampah-sampah tersebut dibakar lalu akan memanaskan air sehingga menghasilkan uap yang akan menggerakkan turbin uap. Namun karena saat ini teknologi tersebut masih menghasilkan by-product yang cukup berbahaya berupa dioksin, tar, SOx dan NOx, penggunaannya masih menjadi masalah tersendiri. Lihat saja rencana proyek PLTSa Gedebage di Bandung yang sampai saat ini belum jalan. Masalah utamanya karena isu lingkungan ini. Meski para pakar sudah menjamin bahwa by-product handlingnya akan berjalan dengan baik sehingga plant akan berjalan dengan aman, tetap saja masih mendapat penolakan dari masyarakat.

Sebenarnya ini karena syndrome NIMBY (Not In My Back Yard) masih sangat kuat di masyarakat Indonesia sehingga sangat resistan terhadap ide proyek energi. Bila mau membuka mata saja, di Singapura malah sudah menggunakan byproduct incenerator tersebut untuk mereklamasi pulau Semakau. Berikut adalah 10 TPA terbesar di Indonesia untuk menghasilkan listrik dari sampah di daerah tersebut dengan menggunakan teknologi Incenerator.

No. Lokasi Nama TPA Potensi Sampah (ton/hari) Potensi(MW)
1 DKI Jakarta Bantar Gebang, Sumurbatu 8,733 157.19
2 Kota & Kab.   Tegal Sarimukti 3,519 63.34
3 Kota Surabaya Benowo 2,562 46.12
4 Kota Medan Namo Bintang, Terjun 1,812 32.62
5 Kota Tangerang Rawakucing 1,352 24.34
6 Kota Semarang Jatibarang 1,345 24.21
7 Kota Depok Cipayung 1,217 21.91
8 Kota Palembang Sukawinata, Karya Jaya 1,171 21.08
9 Kota Malang Supit Urang 761 13.70
10 Kota Padang Air Dingin 682 12.28          


*Data TPA dari EBTKE dan Potensi dihitung dengan ketentuan 1 ton sampah/hari setara untuk pembangkit 18 kw (menurut Dr. Ir. Ari Dharmawan Pasek. Ketua Tim FS PLTSa Gedebage).
Alternatif teknologi lain yang lebih ramah lingkungan dibandingkan incenerator adalah Gasifikasi. Dengan teknologi gasifikasi, Sampah yang masuk akan dibakar tanpa mengalami oksidasi sempurna sehingga dihasilkan syngas (synthetic gas) berupa CO dan H2. Syngas yang diproduksi tersebut selanjutnya dapat dibuat menjadi bahan baku biofuel ataupun listrik. Kapasitas reduksi sampah dengan teknologi gasifikasipun lebih bagus dibandingkan dengan incenerator.

Adapun bentuk improvisasi yang telah dilakukan dari teknologi gasifikasi saat ini adalah dalam bentuk plasma gasifikasi. Plasma gasifikasi adalah gasifikasi yang dilakukan terhadap sampah namun dengan suhu yang super tinggi (4000-5000 derajat celcius). Dengan teknologi ini, syngas yang dihasilkan akan lebih banyak, reduksi sampah sangat optimal dan minim dampak lingkungan.

Bila takut akan bahaya lingkungan yang ditimbulkan oleh Incenerator, plasma gasifikasi bisa menjadi teknologi alternatif yang ramah lingkungan namun berefisiensi tinggi. Dengan potensi yang besar, Indonesia selayaknya bisa menjadi salah satu pelopor realisasi teknologi plasma gasifikasi ini karena beberapa negara termasuk India-pun sudah mulai mengembangkannya tidak hanya sebagai pilot project namun sudah berskala besar.
Bila saja tiap daerah memanfaatkan sampah yang mereka miliki untuk menghasilkan listrik bagi kebutuhan lokal, PLN-pun  akan semakin terbantu dalam penyediaan tenaga listrik. Untuk memancing appetite para investor di bidang energi ini, awal tahun 2012 Pemerintah-pun sudah mengeluarkan Feed-in-tariff. Feed-in-tariff ini salah satunya tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No.4 tahun 2012 terkait harga beli listrik dari energi biomassa, biogas dan sampah kota.


Feed-in-tariff adalah harga beli listrik yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap energi yang dihasilkan dari jenis energi tertentu dengan telah mempertimbangkan kelayakan keekonomian dari bisnis energi tersebut. Feed-in-tariff ini sangat diperlukan oleh investor untuk menjamin keekonomian bisnis yang mereka jalankan. Berikut adalah daftar harga listrik yang ditetapkan dari Permen No.4 tahun 2012 :


Energi Terbarukan Harga Beli
1.Biomassa & Biogas 975/kWhxF
2.Sampah Kota dengan Teknologi Incenerator&Anaerob Digestion 1,050/kWh
3.Sampah Kota dengan Teknologi Landfill 850/kWh
Ket :
F = 1, untuk wilayah Jawa, Madura,   Bali dan Sumatera
F = 1.2, untuk wilayah Sulawesi,   Kalimantan, Nusa Tenggara
F = 1.3, untuk wilayah Maluku dan   Papua


Dahulu sebelum feed-in-tariff diterbitkan, investor harus melakukan negosiasi dengan PLN dan biasanya memakan waktu yang cukup lama. Dengan ditetapkannya feed-in-tariff selain tidak perlu bernegosiasi dengan PLN terkait masalah harga, investor juga diuntungkan karena dalam peraturan tersebut PLN diwajibkan untuk membeli energi listrik yang dihasilkan. Jadi selain bahan baku yang melimpah ruah, regulasi dari pemerintahpun sudah mendukung untuk realisasi ‘Panen Energi Sampah ini’.