Entri Populer

Minggu, 26 Mei 2013

Pengolahan Sampah di Jakarta Akan Berbasis Bisnis

TEMPO.COJakarta - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun depan akan menerapkan sistem pengolahan sampah berbasis bisnis. Garis besar konsepnya adalah menggandeng masyarakat atau badan usaha untuk memberdayakan sampah.

Pengolahan Sampah di Jakarta Akan Berbasis Bisnis  


"Jadi penanganan sampah sudah tidak sekadar angkut ke tempat pembuangan sampah," kata Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Unu Nurdin, Ahad, 26 Mei 2013. "Itu model kuno."

Unu menjelaskan, model kuno semacam ini menelan biaya yang besar, terutama dalam hal tipingfee atau pengelolaan sampah per ton. "Tercatat DKI Jakarta bisa mengeluarkan biaya hingga Rp 400 ribu per ton per hari. Padahal sampah di Ibu Kota bisa mencapai 1.200 ton per hari."

Untuk itu, Unu menjelaskan, saat ini pemerintah sedang menyusun peraturan gubernur yang merupakan turunan dari Peraturan Daerah tentang Pegelolaan Sampah, yang baru saja disahkan oleh DPRD DKI Jakarta.

Isi dari peraturan gubernur tersebut akan mengatur bagaimana hubungan bussines to bussines dalam pengelolaan sampah. Dalam Perda Pengelolaan Sampah tersebut dijelaskan mengenai adanya kemitraan, terutama dalam hal daur ulang dan pengolahan sampah.

"Bahkan kemitraan ini bisa dilakukan di tingkat paling bawah, yaitu rukun tetangga (RT)," ujar Unu. Masyarakat dalam perda ini bisa menggandeng pelaku usaha sehingga sampah memiliki nilai ekonomis.

Nah, perda ini juga meminta pemerintah daerah untuk memberikan insentif kepada masyarakat atau kelompok di dalamnya untuk hal pengelolaan sampah. Suntikan ini bisa berupa fiskal, seperti modal; atau non-fiskal, seperti pendampingan.

Unu mengatakan, ketentuan mengenai adanya pengelolaan sampah agar memiliki nilai ekonomis ini merupakan kemajuan jika dibanding aturan pendahulunya, dengan sisi sanksi yang lebih menonjol.

"Sanksi itu belakangan, yang penting adalah nilai edukasi," kata Unu. Menurut dia, jika masyarakat diberi motivasi soal pengelolaan sampah, bisa membantu mengurangi beban sampah di Jakarta.

Menurut Unu, kemungkinan pergub turunan dari perda ini selesai digodok Oktober. Dengan demikian, akhir tahun atau memasuki awal tahun 2014, bisa mulai disosialisasikan di masyarakat.

Jokowi Didesak Bangun Percontohan Kelola Sampah

TEMPO.COJakarta - Pengamat perkotaan, Yayat Supriatna, meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membentuk zona percontohan pengelolaan sampah. Desakan ini muncul menyusul disahkannya Peraturan Daerah mengenai Pengelolaan Sampah oleh DPRD Jakarta, Selasa lalu, 21 Mei 2013.
Jokowi Didesak Bangun Percontohan Kelola Sampah  


"Zona percontohan ini sebagai bentuk sosialisasi dari perda," kata Yayat ketika dihubungi Tempo pada Ahad, 26 Mei 2013. Minimal dibutuhkan waktu tiga bulan untuk sosialisasi. Peraturan baru ini menggantikan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1988 tentang Kebersihan Lingkungan dalam Wilayah DKI Jakarta.

Selain itu, dengan adanya zona percontohan maka pemerintah bisa mengukur seberapa efektifkah perda ini. Jika memang masih ada yang kurang, bisa diturunkan secara teknis melalui peraturan gubernur. "Sehingga perda ini punya kekuatan," ujar Yayat. 

Dosen Jurusan Teknik Planologi Universitas Trisakti ini meminta pemerintah serius dalam merealisasikan perda ini. "Jangan sampai kayak Perda Kawasan Asap Rokok," ujarnya. Dalam perda ini, Yayat menilai aturan mengenai sanksi dan segalanya seperti angin lalu saja.

Adapun Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, Ubaidillah, meminta pemerintah harus tegas terhadap kalangan pabrik atau industri dalam penerapan perda ini. "Karena kalangan industri juga menyumbang sampah yang besar-besaran," katanya.

Menurut dia, jangan sampai pemerintah hanya menindak pelanggar jika mereka dari kalangan masyarakat kecil. Ubai mendesak pemerintah membentuk badan khusus di luar Dinas Kebersihan untuk menjalankan teknis perda ini.

Pengelola Kawasan Komersial Wajib Kelola Sampah Mandiri oleh Yogi Ikhwan

JAKARTA – DPRD DKI Jakarta mensahkan Rancangan Perda Pengelolaan Sampah menjadi Perda, Selasa (21/5). Aturan ini menggantikan Perda 5 Tahun 1988 Tentang Kebersihan Lingkungan dalam Wilayah DKI Jakarta. Dalam Perda tersebut diatur kewajiban pengelola kawasan komersial untuk mengelola sampahnya secara mandiri.

Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Unu Nurdin menjelaskan, pihaknya telah menyusun Naskah Akademis Perda Pengelolaan Sampah ini sejak tahun 2012. “Kami telah melakukan pengkajian yang intensif  bersama Balegda DPRD DKI Jakarta,” katanya.

Unu menjelaskan, Perda ini mengatur pengelolaan sampah di DKI Jakarta secara komprehensif. “Substansinya tidak hanya mengatur sanksi, jika hanya mengatur sanksi sudah diatur dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum,“ kata Unu.
Perda ini, papar Unu, mengatur pengelolaan Sampah DKI Jakarta dari sumber sampah (hulu) hingga TPA (hilir). Dengan sistematika pengaturan antara lain
 (a) Tugas dan tanggungjawab pemerintahan,
 (b) Hak, kewajiban, dan tanggungjawab masyarakat, 
(c) Hak,  kewajiban, dan tanggungjawab produsen, 
(d) Insentif dan disinsentif,
(e) Perizinan, 
(f) Penyelenggaraan pengelolaan sampah, 
(g) Teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, 
(h) Kerja sama dan kemitraan, dan 
i) Pengawasan dan pengendalian, 
(j) Larangan, dan sanksi.

Subsidi Silang

Menurut Unu, pengelolaan kota Jakarta yang bersih dan nyaman tidak akan efektif jika hanya dibebankan kepada pemerintah saja. “Peran aktif semua stakeholder termasuk masyarakat  untuk menjaga kebersihan sangat diperlukan. Perda ini mengatur sinergitas semua pemangku kepentingan,” katanya.

Oleh karena itu, ungkap Unu, dalam Perda ini juga diatur kewajiban pengelola kawasan industri, kawasan komersial, kawasan khusus dan kawasan permukiman elite untuk mengelola sampahnya secara mandiri. “Pengelola kawasan komersial berkewajiban melakukan pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan sampahnya sendiri atau dapat dikerjasamakan dengan badan usaha di bidang kebersihan. Jika mereka mengirim sampahnya di TPA Bantargebang, maka diwajibkan membayar retribusi pengolahan sampah. Sehingga pembiayaan APBD di sektor kebersihan yang selama ini dibebankan kepada pemerintah dapat dikurangi, malah kita mendapatkan PAD dari retribusi,”

Sedangkan Dinas Kebersihan, lanjut Unu, akan fokus menangani kebersihan fasilitas publik, kawasan menengah ke bawah. “Pada prinsipnya akan terjadi subsidi silang, ” katanya.
Dia juga mengungkapkan, selain menyusun Perda Pengelolaan Sampah, Dinas Kebersihan juga menyusun Masterplan Pengelolaan Kebersihan, Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kebersihan, dan Rencana Aksi Daerah (RAD).

 “Semuanya telah mengakomodasi konsep Visi Misi Gubernur Pak Jokowi dan Wagub Pak Basuki untuk mewujudkan Jakarta Baru,” kata Unu.
Kepala Bagian Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta, Wahyono mengatakan, Perda Pengelolaan Sampah merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, PP Nomor 81 Tahun 2012 tentang  Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga dan Permedagri Nomor 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah,
 “Semua peraturan tersebut wajib ditinjaklanjuti Pemprov melalui peraturan di tingkat daerah,” katanya.

Sementara itu, Pakar Persampahan dari Indonesia Solid Waste Asosiation (INSWA), Sri Bebassari mengatakan, setelah Perda ditetapkan, Pemprov DKI Jakarta harus mensosialisasikan kepada masyarakat dengan baik. “Semoga diikuti program sosialisasi Perda yang profesional agar keberadaan Perda ini bisa segera sampai ke masyarakat luas. Ini mengingat banyak sekali produk hukum bidang kebersihan yang belum dipahami oleh masyarakat selama ini dan tidak dilaksanakan penegakan hukumnya oleh aparat,” tegasnya.

INSWA, kata Sri, memberikan apresiasi atas kebijakan pengelolaan sampah Pemprov DKI Jakarta yang selalu lebih maju dari kebijakan nasional. Kebijakan Jakarta, menurut Sri, seringkali dijadikan acuan pemerintah pusat untuk membuat ketentuan mengenai pengelolaan sampah secara nasional. “Jakarta kembali menjadi salah satu pionir sebagai daerah yang memiliki Perda Pengelolaan sampah lebih dulu dibandingkan daerah lain,” kata dia.

Pemprov DKI Didorong Bentuk Pergub Sampah Minggu, 26 Mei 2013 10:53 wibAisyah - Okezone

Kepala Dinas Kebersihan, Unu Nurdin, mendorong agar Pemprov DKI segera membentuk Peraturan Gubernur (Pergub) mengenai pengelolaan sampah yang didalamnya tercakup konsep Business to Business (B to B) yang akan diterapkan oleh pihaknya dalam pengelolaan sampah.


"Paling tidak tahap, pertama harus ada turunan Pergub menyangkut konsep B to B, setelah itu kita sosialisasi," kata Unu saat dihubungi wartawan, di Jakarta, Minggu (26/5/2013).

Unu mengungkapkan, jika nantinya Pergub sudah dibuat, maka petunjuk pelaksanaan konsep B to B hanya tinggal ditandatangani dan bisa mulai sosialisasi. "Dengan konsep B to B, kawasan itu bisa kerjasama dengan pebisnis. Jangan tergantung sama Pemda. Nanti ada kesepakatan. Saya siapkan kendaraan, misalnya, kayak gitu," terang Unu. 

Menurutnya, edukasi dalam pengelolaan sampah sangat penting dilakukan sehingga bisa memberikan motivasi untuk mengelola sampah itu sendiri dan efek jera menjadi belakangan.

"Edukasi yang penting sehingga nantinya akan ada pemberdayaan sebuah kawasan potensial ekonomi  yang memungkinkan untuk biayai sendiri, tapi Pemda yang akan melayani. Buang ke Bantar Gebang bayar tipping fee Pemda juga yang bayar," paparnya.

Dengan begitu, lanjut Unu, secara otomatis beban Pemda akan berkurang untuk pengelolaan sampah. Unu berharap bulan Oktober mendatang, konsep B to B sudah bisa dijalankan. Pada proses sosialisasi nanti, kata Unu, Dinas kebersihan akan melibatkan masyarakat sebagai ujung tombak.

"RT RW itu kan domain di bawah kelurahan. Kita juga akan berkunjung ke kantor walikota, paparan, berdialog. Setelah itu baru disosialisasikan ke RT, RW dan warga secara keseluruhan," tutup Unu.

Sebelumnya, pada 21 Mei 2013 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengelolaan Sampah menjadi Peraturan Daerah (Perda).

Selain mengesahkan Raperda tentang pengelolaan sampah, Badan Legislasi Daerah (Balegda) juga mengusulkan dua Raperda prakarsa dewan diantaranya perubahan atas Perda nomor 2 tahun 2010 tentang Pembentukan Perda dan perubahan Perda nomor 3 tahun 2012 tentang retribusi daerah.

Dalam Rapat Paripurna pengesahan Raperda pengelolaan sampah, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) berharap Perda ini bisa memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan partisipasi aktif masyarakat, dan pengelolaan kebersihan di seluruh wilayah DKI Jakarta. (put)

Kamis, 02 Mei 2013

MEMBANGUN INDUSTRI KOMPOS KOMERSIAL OLEH FORUM KERJASAMA AGRIBISNIS

Kita selalu membayangkan, petani Amerika Serikat dengan revolusi hijaunya itu hanya mengandalkan pupuk kimia untuk memproduksi gandum, kacang tanah, kedelai dan kapas. Sebuah anggapan yang keliru. Sebab petani A.S. juga selalu menggunakan pupuk organik (kompos) untuk mengejar target produksi mereka. Di Indonesia, produktifitas lahan sawah kita, rata-rata hanya 4 ton Gabah Kering Panen (GKP) per hektar per musim tanam. Sementara petani Thailand sudah bisa mencapai rata-rata 6 ton GKP per hektar per musim tanam. Rahasianya ada di kualitas benih dan pemupukan. Untuk mencapai hasil rata-rata 6 ton GKP, diperlukan aplikasi pemupukan organik minimal 3 ton per hektar per musim tanam. Untuk kondisi tanah sawah di Jawa yang telah terlanjur rusak karena keracunan nitrogen akibat pemupukan urea dosis tinggi, diperlukan aplikasi kompos minimal 5 ton per hektar per musim tanam. Baru pada musim-musim tanam berikutnya, dosis kompos itu pelan-pelan diturunkan hingga menjadi 3 ton per hektar per musim tanam.

Perhitungan kasarnya, untuk menghasilkan satu satuan volume produk panen, diperlukan pupuk organik separo dari angka hasil panen tersebut.   Jagung hibrida yang hasilnya 8 ton jagung pipilan kering misalnya, memerlukan pupuk kompos sebanyak 4 ton per hektar per musim tanam. Jadi kalau produksi gabah nasional kita sekitar 50 juta ton dan jagungnya 10 juta ton per tahun, maka total jumlah kompos atau pupuk organik lain yang diperlukan untuk padi dan jagung tersebut akan mencapai 30 juta ton per tahun. Penggunaan pupuk organik ini akan bisa menurunkan kebutuhan pupuk kimia tanpa memperkecil hasil panen. Selain itu, kompos juga dapat meningkatkan volume produksi sekitar 20% dari hasil optimal sebelum pupuk organik digunakan. Kalau nilai kompos untuk jagung dan padi tadi Rp 100.000,- per ton, maka omset dari industri kompos untuk padi dan jagung saja, akan mencapai Rp 3 trilyun per tahun. Pupuk kimia yang bisa dihemat sekitar 2.000.000 ton. Dengan harga pupuk kimia Rp 1.000.000 per ton, maka penghematan pupuk kimia akan mencapai Rp 2 trilyun per tahun. Sementara peningkatan hasil panen akan mencapai 20% dari 60 juta ton = 12 juta ton. Dengan harga Rp 1.000.000,- per ton maka nilai peningkatan hasil panen padi dan jagung akan mencapai Rp 12 trilyun per tahun.

Angka tersebut baru mengacu pada asumsi aplikasi kompos untuk padi dan jagung. Belum memperhitungkan komoditas-komoditas lain seperti singkong, kedelai, kacang tanah dan produk hortikultura, terutama sayuran dan buah-buahan. Jadi tampak betapa strategisnya industri kompos bagi sebuah negara agraris seperti Indonesia. Meskipun sangat strategis, mengapa selama pemerintahan Orde Baru tidak pernah kedengaran adanya program atau proyek industri kompos nasional? Karena untuk ukuran nasional, dibandingkan dengan proyek pembangunan pabrik pupuk kimia, nilai proyek kompos itu relatif kecil. Selain itu juga banyak repotnya dan justru akan mengurangi konsumsi pupuk kimia. Pembangunan industri kompos ini tidak bisa dilakukan secara besar-besaran seperti kalau membangun pabrik pupuk urea atau ZA. Industri kompos  akan berskala kecil dengan volume produksi sekitar 5.000 ton per pabrik per tahun. Nilai investasi pabrik tersebut juga hanya sekitar Rp 100.000.000,- Omset per tahunnya kurang-lebih Rp 500.000.000,- Tetapi untuk komoditas padi dan jagung di seluruh Indonesia, diperlukan sekitar 6.000 pabrik kompos skala 5.000 ton tersebut.

Pada prinsipnya, semua selulosa limbah pertanian bisa dijadikan bahan kompos. Petani tradisional membuat kompos dengan cara menumpuk rumput sisa-sisa pakan ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba) di dalam kandang. Selang 3 bulan dilakukan pembalikan dan dalam waktu 6 bulan kompos pun siap digunakan. Urine dan faces ternak tersebut menjadi starter bagi terjadinya proses pengomposan oleh bakteri. Di alam terbuka, proses pengomposan terjadi secara alamiah.

Pembuatan kompos sederhana bisa kita lakukan dengan menumpuk bahan organik, misalnya jerami padi dan batang jagung, kemudian diberi starter urea, pupuk kandang dan tanah serta kapur. Dengan penumpukan 3 m. panjang, 1,5 m. lebar dan 1 m. tinggi, dengan penyiraman cukup, bahan organik ini akan menjadi kompos dalam waktu sekitar 6 bulan. Kalau sebelumnya dilakukan pencacahan dengan chooper, maka proses pengomposan akan dipersingkat menjadi 3 bulan. Apabila ke dalam cacahan bahan organik tersebut dimasukkan starter bakteri aerobik, misalnya EM 4, maka proses pengomposannya akan menjadi lebih singkat lagi. Jadi sebenarnya proses pengomposan itu sangat sederhana.

Di A.S. proses industri kompos dilakukan secara lebih modern. Bermacam-macam  bahan organik dengan komposisi yang pas, digiling sampai  halus. Selanjutnya material tersebut dimasukkan ke dalam tangki raksasa bersamaan dengan air, oksigen, bahan starter (misalnya gula, dedak atau bahan lainnya) dan biang bakteri. Suhu dalam tangki tersebut lalu diatur sesuai dengan tuntutan hidup bakteri.  Dengan cara demikian proses pengomposan bisa dipersingkat hanya dalam waktu 3 sampai 4 hari. Industri kompos bokhasi yang berbahan baku abu sekam, sebenarnya tidak pas untuk diterapkan bagi komoditas pangan secara massal. Sebab abu sekam tersebut energinya sudah lenyap ketika dibakar. Teknologi bokhasi lebih pas apabila digunakan untuk memproduksi kompos dengan bahan baku jerami yang dicacah menggunakan chooper. Penggunaan bahan baku jerami atau batang jagung, hijauan kacang tanah atau kedelai akan sangat efisien sebab menghemat ongkos angkut. Industri kompos itu bisa dibangun di pinggir-pinggir sawah, hingga suplai bahan bakunya terjamin murah dan hasilnya juga dipakai di sawah-sawah tadi.

Kalau kita kebetulan berkendaraan darat dari Jakarta ke arah Cirebon atau sebaliknya, di sepanjang jalur pantura itu akan tampak hamparan sawah nan luas. Sehabis panen, jerami padi itu dibakar sia-sia. Energi dari matahari yang sudah dengan susah payah dikumpulkan tanaman dan disimpan dalam jerami, disia-siakan hingga menjadi api dan abu. Padahal dari satu hektar sawah, minimal dihasilkan 10 ton jerami padi. Kalau jerami ini dicacah  dan dikomposkan, minimal akan menjadi 5 ton kompos siap pakai. Biaya pengomposannya Rp 90,- per kg atau Rp 450.000,- untuk volume 5 ton. Meskipun petani harus mengeluarkan biaya Rp 450.000,- dia bisa menghemat pupuk urea dari 3 kw menjadi cukup 1 kw. Penghematan yang bisa didapatnya Rp 200.000,- Peningkatan hasil yang diharapkan bisa mencapai 1 ton gabah dengan nilai Rp 1.000,- per kg atau Rp 1.000.000,- Jadi kalau dihitung-hitung, meski tiap hektarnya petani keluar biaya tambahan Rp 450.000,- dia akan memperoleh keuntungan Rp 750.000,- per hektar per musim tanam.

Akan lebih menguntungkan lagi kalau 10 ton jerami segar itu digunakan untuk pakan sapi. Dengan jatah selulosa 40 kg per hari, tiap hektar sawah dengan hasil 10 ton jerami, akan bisa  mencukupi kebutuhan pakan untuk 2 ekor sapi dewasa sampai panen berikutnya. Hasilnya, petani akan mendapatkan  2 ton pupuk kandang yang mutunya lebih bagus dari kompos, dengan nilai Rp 200.000,- Selain itu petani juga akan mendapatkan tambahan dari nilai jual sapi. Dengan pertambahan berat badan 0,5 kg per hari, selama 100 hari pemeliharan akan diperoleh tambahan berat badan 50 kg. Dengan harga Rp 10.000 per kg, maka nilai tambah yang diperoleh petani adalah Rp 1.000.000,- untuk dua ekor sapi yang dipeliharanya. Nilai investasi dua ekor sapi bakalan tersebut Rp 6.000.000,- Tetapi budaya ternak sapi tidak bisa kita jumpai di Pantura. Yang punya budaya ternak sapi justru masyarakat Gunung Kidul dan Wonogiri yang kawasannya kering kerontang tidak ada jerami padi. Di sana, masyarakat telah terbiasa memanfaatkan selulosa apa pun sebagai pakan sapi.
Pemanfaatan seluruh jerami yang ada untuk pakan sapi, juga  dimungkinkan. Hanya saja  akan diperlukan investasi bibit sapi bakalan dengan nilai lebih dari duakali lipat investasi untuk industri kompos. Satu unit pengomposan dengan kapasitas 5.000 ton per tahun, tiap musim panen akan menyerap jerami segar 3.200 ton. Kalau keperluan pakan per ekor sapi per hari 40 kg, maka jerami tersebut akan bisa dimanfaatkan sebagai pakan bagi 80 ekor sapi. Kalau harga seekor sapi bakalan Rp 3.000.000,- maka diperlukan investasi bibit sapi bakalan Rp 280.000.000,- Belum investasi untuk kandangnya. Kalau kita membangun satu unit industri kompos, investasinya hanya sekitar Rp 100.000.000,- Namun keuntungan kotor dari sapi tadi akan mencapai Rp 500.000,- kali 80 atau Rp 40.000.000,- per musim panen. Masih ditambah pupuk kandang sebanyak 160 ton dengan nilai Rp 16.000.000,- Sementara kalau industri kompos dengan nilai investasi Rp 100.000.000,- pendapatan kotornya 1.600 ton X Rp 100.000,- = Rp 160.000.000,-.

Mungkin kita memang harus memilih, apakah akan mendirikan pabrik kompos dengan teknologi modern dengan investasi Rp 100.000.000,- atau akan investasi sekitar 80 ekor sapi dengan nilai sekitar 280.000.000,- Investasi sapi memang lebih ideal sebab kualitas pupuk kandang, lebih-lebih kalau urinenya ditampung, jauh lebih bagus dibanding kompos yang dibuat secara mekanis. Namum apa pun yang akan dilakukan, industri kompos merupakan keharusan untuk memperbaiki struktur tanah di negeri ini yang sudah sangat menurun kualitasnya. Peluang ini idealnya tidak lagi menjadi "proyek nasional" melainkan cukup dikerjakan oleh masing-masing pemda kabupaten. Kabupaten-kabupaten di Pantura bisa menjadi perintisnya. Mulai dari Karawang, Purwakarta, Subang, Indramayu sampai ke Majalengka, Cirebon, Kuningan dan terus ke Jateng/Jatim. Yang jelas nilai tambah yang akan didapat dari kompos tidaklah kecil. Bukan sekadar dari nilai kompos itu sendiri, melainkan terutama dari peningkatan kuantitas dan juga kualitas padi yang diberi pupuk kompos. (FR) + + +

PETROGANIK DENGAN PUPUK TUNGGAL



PETROGANIK DENGAN PUPUK TUNGGAL
No.
Komoditas
Petroganik
Urea
ZA
SP-36
ZK
Kieserit
Holtikultura
Kg/Ha
1.
Kentang
2.000
-
825
350
275
-
2.
Bawang Merah
2.000
175
475
250
200
-
3.
Kubis/Wortel
2.000
75
325
100
100
-
4.
Tomat
2.000
125
375
250
200
-
5.
Lombok
2.000
-
725
250
200
-
6.
Buncis/Kc. Panjang
2.000
-
225
150
100
-
7.
Brokoli/Kubis
2.000
75
325
300
200
-
8.
Semangka/Melon
2.000
-
775
450
575
-
Padi & Palawija
Kg/Ha
9.
Padi Sawah
500-1.000
250
50
100
60
-
10.
Jagung Hibrida
500-1.000
375
-
125
60
-
11.
Kedelai/Kc. Tanah
500-1.000
50
-
75
30
-
12.
Ubi Kayu
500-1.000
225
-
75
60
-
13.
Ubi Jalar
500-1.000
175
-
75
60
-
Tanaman Keras
Kg/Pohon
14.
Jeruk*
3
0.225
0.575
0.6
0.450
-
15.
Apel**
3
0.225
0.575
0.6
0.450
-
16.
Anggur**
3
0.275
0.625
0.7
0.500
-
17.
Kopi*
3
0.175
0.375
0.4
0.300
0.175
18.
Kakao*
3
0.125
0.325
0.35
0.270
0.150
19.
Lada***
3
0.475
1.075
1.25
1.300
0.275
20.
Cengkeh*
3
1.975
4.475
1.95
1.475
-








Keterangan :






*)
Pupuk diberikan 2 kali, 50% awal musim hujan & 50% akhir musim hujan
**)
Pupuk diberikan 2 kali, 50% setelah rompes & 50% saat pembesaran buah
***)
Pupuk diberikan 4 kali, dimulai awal musim hujan dg interval 40-45 ha