Entri Populer

Minggu, 08 Juni 2014

Penanganan Sampah Kota oleh Juju-Bandung

Menurut UU-18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, terdapat 2 kelompok utama pengelolaan sampah, yaitu:
  • Pengurangan sampah (waste minimization), yang terdiri dari pembatasan terjadinya sampah, guna-ulang dan daur-ulang
  • Penanganan sampah (waste handling), yang terdiri dari:
    • Pemilahan: dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan
    • jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah Pengumpulan: dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan
    • sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu
    • Pengangkutan: dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu
    • menuju ke tempat pemrosesan akhir Pengolahan: dalam bentuk mengubah
    • karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah
    • Pemrosesan akhir sampah: dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan seb elumnya ke media lingkungan secara aman.
Dalam bahasan berikut diuraikan beberapa hal penting yang terkait dalam kegiatan penanganan sampah dalam sistem pengelolaan sampah kota di Indonesia, khususnya:
  • Tingkat pengelolaan
  • Tingkat dan kualitas pelayanan
  • Daerah pelayanan
  • Jenis pelayanan.
Di samping sebagai bagian dari infrastruktur sebuah kota, pengelolaan sampah merupakan salah satu dari sekian banyak upaya dalam pengelolaan lingkungan. Akan tetapi dalam kenyataan di lapangan kadangkala terjadi penyimpangan pengelolaan, sehingga timbul ekses yang mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan itu sendiri. Kelemahan dalam manajemen dan keterbatasan biaya operasional ditambah dengan langkanya tenaga profesional dalam penanganan persampahan merupakan faktor penyebab utama permasalahan tersebut.
Permasalahan yang dihadapi dalam teknis operasional penanganan persampahan kota di antaranya:
  • Kapasitas peralatan yang belum memadai
  • Pemeliharaan alat yang kurang
  • Lemahnya pembinaan tenaga pelaksana khususnya tenaga harian lepas
  • Terbatasnya metode operasional yang sesuai dengan kondisi daerah
  • Siklus operasi persampahan tidak lengkap/terputus karena berbedanya penanggungjawab
  • Koordinasi sektoral antar birokrasi pemerintah seringkali lemah
  • Manajemen operasional lebih dititikberatkan pada aspek pelaksanaan, sedangkan aspek pengendaliannya lemah
  • Perencanaan operasional seringkali hanya untuk jangka pendek.

Stakeholders Pengelola Sampah Kota

Dalam pengelolaan persampahan skala kota yang rumit, terdapat beragam stakeholders yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung. Setiap stakeholders berperan sesuai dengan posisinya masing-maqsing. Dalam skala kota, peran Pemerintah Kota dalam mengelola sampah sangatlah penting, dan pengelolaan sampah merupakan salah satu tugas utamanya sebagai bentuk pelayanan yang merupakan bagian dari infrastruktur kota tersebut.
Stakeholders utama yang biasa terdapat dalam pengelolaan sampah di Indonesia antara lain adalah:
  • Pengelola kota, yang biasanya bertindak sebagai pengelola sampah
  • Institusi swasta (non-pemerintah) yang berkarya dalam pengelolaan sampah
  • Institusi swasta yang terkait secara langsung dengan persoalan sampah, seperti produsen yang menggunakan pengemas bagi produknya.
  • Masyarakat atau institusi penghasil sampah yang menggantungkan penanganan sampahnya pada sistem yang berlaku di sebuah kota
  • Institusi non-pemerintah yang bergerak dalam pengelolaan sampah, termasuk aktivitas daur – ulang, seperti swasta, LSM, pengelola real estate, dsb yang aktivitasnya perlu berkoordinasi dengan pengelola sampah kota
  • Masyarakat yang bertindak secara individu dalam penanganan sampah, baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya kelompok pemulung yang memanfaatkan sampah sebagai sumber penghasil
  • Institusi yang tertarik dan peduli (concern) terhadap persoalan persampahan.
Berdasarkan hal di atas, pengelolaan sampah di Indonesia, khususnya di sebuah kota, mengenal 3 (tiga) kelompok pengelolaan, yaitu:
  • Pengelolaan oleh swadaya masyarakat: pengelolaan sampah mulai dari sumber sampai ke tempat pengumpulan, atau ke tempat pemerosesan lainnya. Di kota-kota, pengelolaan ini biasanya dilaksanakan oleh RT/RW, dengan kegiatan mengumpulkan sampah dari bak sampah di sumber sampah, misalnya di rumah-rumah, diangkut dengan sarana yang disiapkan sendiri oleh masyarakat, menuju ke tempat penampungan sementara.
  • Pengelolaan formal: biasanya dilaksanakan oleh Pemerintah Kota, atau institusi lain termasuk swasta yang ditunjuk oleh Kota. Pembuangan sampah tahap pertama dilakukan oleh penghasil sampah. Di daerah pemukiman biasanya kegiatan ini dilaksanakan oleh RT/RW, dimana sampah diangkut dari bak sampah ke TPS. Tahap berikutnya, sampah dari TPS diangkut ke TPA oleh truk sampah milik pengelola kota atau institusi yang ditunjuk. Biasanya anggaran suatu kota belum mampu menangani seluruh sampah yang dihasilkan.
  • Pengelolaan Informal: terbentuk karena adanya dorongan kebutuhan untuk hidup dari sebagian masyarakat ,yang secara tidak disadari telah ikut berperan serta dalam penanganann sampah kota. Sistem informal ini memandang sampah sebagai sumber daya ekonomi melalui kegiatan pemungutan, pemilahan, dan penjualan sampah untuk didaur-ulang. Rangkaian kegiatan ini melibatkan pemulung, tukang loak, lapak, bandar, dan industri daur-ulang dalam rangkaian sistem perdagangan.
Pengelolaan sampah dari sebuah kota adalah sebuah sistem yang kompleks, dan tidak dapat disejajarkan atau disederhanakan begitu saja, misalnya dengan penanganan sampah daerah pedesaan. Demikian pula keberhasilan upaya- u paya sektor informal saat ini tidak dapat begitu saja diaplikasikan dalam menggantikan sistem formal yang selama ini ada. Dibutuhkan waktu yang lama karena menyangkut juga perubahan perilaku masyarakat serta kemauan semua fihak untuk menerapkannya.

Tingkat Pengelolaan sampah

Berdasarkan arus pergerakan sampah sejak dari sumber hingga menuju ke pemrosesan atau akhir, penanganan sampah di suatu kota di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kelompok utama tingkat pengelolaan, yaitu:
  • Penanganan sampah tingkat sumber
  • Penanganan sampah tingkat kawasan, dan
  • Penanganan sampah tingkat kota.

Penanganan Sampah Tingkat Sumber:

Penanganan tingkat sumber merupakan kegiatan penanganan secara individual yang dilakukan sendiri oleh penghasil sampah dalam area dimana penghasil sampah tersebut berada. Beberapa ciri penanganan sampah di tingkat ini:
  • Sangat tergantung pada karakter, kebiasaan dan cara pandang penghasil sampah
  • Dapat berbentuk individu atau kelompok individu atau dalam bentuk institusi misalnya kantor, hotel, dsb
  • Dapat berkarakter homogen, seperti dari sebuah rumah tinggal, atau bersifat heterogen, seperti pejalan kaki di keramaian, pedagang kaki lima di tempat-tempat umum
  • Keberhasilan upaya-upaya dalam penanganan sampah sangat tergatung pada tingkat kesadaran masing-masing individu.
  • Pada level ini peran serta masyakat sebagai penghasil sampah sangatlah dominan, sehingga pendekatan penanganan sampah yang berbasiskan masyarakat penghasil sampah merupakan dasar dalam strategi pengelolaan sampah.
Beberapa kriteria penanganan sampah di tingkat sumber:
  • Penanganan sampah hendaknya tidak lagi hanya bertumpu pada aktivitas pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan sampah
  • Penanganan sampah di tingkat sumber diharapkan dapat menerapkan upaya minimisasi yaitu dengan cara 3R
  • Minimasi sampah hendaknya dilakukan sejak sampah belum terbentuk yaitu dengan menghemat penggunaan bahan, membatasi konsumsi sesuai kebutuhan, memilih bahan yang mengandung sedikit sampah, dsb
  • Upaya memanfaatkan sampah dilakukan dengan menggunakan kembali sampah sesuai fungsinya seperti halnya pada penggunaan botol minuman atau kemasan lainnya. Upaya mendaur ulang sampah dapat dilakukan dengan memilah sampah menurut jenisnya
  • Pengomposan sampah, misalnya dengan composter, diharapkan dapat diterapkan di sumber (rumah tangga, kantor, sekolah, dll) yang secara signifikan akan megurangi sampah pada tingkat berikutnya.

Penanganan Sampah Tingkat Kawasan:

Penanganan sampah tingkat kawasan merupakan kegiatan penanganan secara komunal untuk melayani sebagian atau keseluruhan sampah yang ada dalam area dimana pengelola kawasan berada. Beberapa ciri penanganan sampah tingkat kawasan:
  • Ciri sampah di tingkat ini adalah bersifat heterogen, sampah berasal dari sumber-sumber yang berbeda
  • Dalam level ini akan bertemu dan saling berinteraksi stakeholders yang berasal dari tingkat sumber dengan tingkat kota
  • Keberhasilan upaya dalam penanganan sampah skala ini sangat tergatung pada level kesadaran kelompok pembentuk tingkat kawasan, misalnya RT, RW, Kelurahan, atau lainnya. Oleh karena kelompok ini terdiri dari individu-individu yang mungkin mempunyai pemahaman berbeda tentang persampahan, maka peran organisasi pengelola serta dukungan inisiator dan atau stakeholders penentu lainnya, seperti Ketua RT, Ketua RW, Lurah, atau LSM yang mengorganisir pengelolaan sampah pada tingkat ini sangat penting
  • Peran serta masyarakat seperti yang diharapkan terjadi pada tingkat sumber, pada tingkat kawasan akan relatif lebih sulit dibangun
  • Peran aktif pengelola kota sangat menentukan, agar sistem pengelolaan tingkat kawasan ini tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pengelolaan sampah kota secara menyeluruh.
Beberapa kriteria penanganan sampah di tingkat kawasan:
  • Pengelolaan sampah tingkat kawasan harus mendorong peningkatan upaya minimisasi sampah untuk mengurangi beban pada pengelolaan tingkat kota, khususnya yang akan diangkut ke TPA
  • Pengelolaan sampah kawasan harus mampu melayani masyarakat yang berada dalam daerah pelayanan yang telah ditentukan
  • Lokasi pengumpulan sementara (TPS) dapat difungsikan sebagai pusat pengolahan sampah tingkat kawasan, atau sebaliknya, yang berfungsi untuk pemindahan, daur ulang, atau penanganan sampah lainnya dari daerah yang bersangkutan
  • Pemilahan sampah dikelompokkan menjadi beberapa jenis sampah seperti:
    • Sampah basah, yang akan digunakan misalnya sebagai bahan baku kompos
    • oSampah kering, yang digunakan sebagai bahan daur ulang
    • oSampah berbahaya rumah tangga, yang selanjutnya akan dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  • Insinerator skala kecil tidak direkomendasi karena biasanya belum sesuai dengan kondisi sampah yang memiliki kandungan organik tinggi (> 60 %), kadar air tinggi (>60 %) dan nilai kalor rendah (< 1200 kkal/kg), karena akan menyebabkan tinginya konsumsi bahan bakartambahan serta menimbulkan pencemaran udara akibat tidak tersedianya fasilitas penanggulangan pencemaran yang memadai.

Penanganan Sampah Tingkat Kota:

Penanganan sampah tingkat kota merupakan penanganan sampah yang dilakukan oleh pengelola kebersihan kota, baik dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, atau dilaksanakan oleh institusi lain yang ditunjuk untuk itu, yang bertugas untuk melayani sebagian atau seluruh wilayah yang ada dalam kota yang menjadi tanggung jawabnya. Beberapa ciri penanganan sampah di tingkat ini:
  • Pengelolaan sampah diposisikan sebagai bagian dari infrastruktur perkotaan
  • Bila dikelola langsung oleh Pemerinta Daerah, maka bentuk pengelolaan dapat berupa Perusahaan Daerah, Dinas, Unit Pelayanan Teknis (UPTD) atau sebagai Seksi dari sebuah Dinas.
  • Terdapat kemungkinan bahwa pengelolaan tersebut dilaksanakan oleh fihak luar atau swasta, baik keseluruhan pelayanan, maupun sebagian dari pelayanan, dengan kontrol kualitas pelayanan tetap dibawah kendali Pemerinta Daerah
  • Ciri khas dari level ini adalah bagaimana memperlihatkan agar kota itu terlihat bersih, sehingga area yang merupakan wajah sebuah kota akan lebih diprioritaskan pelayanannya.
Beberapa kriteria penanganan sampah di tingkat kota:
  • Sumber sampah dari kegiatan kota yang dianggap khusus, sepertijalan protokol, taman kota, instansi penting, pusat perdagangan, dan sejenisnya dapat dilayani dengan sistem langsung (door -to-door), dimana sampah langsung dikumpulkan dan diangkut oleh truk sampah ke tempat pemrosesan akhir
  • Prinsip pengolahan dan daur -ulang sampah adalah mengedepankan pemanfaatan sampah sebagai sumber daya sehingga sampah yang harus dibuang ke TPA menjadi lebih sedikit
  • Keberhasilan upaya pengolahan dan daur- ulang sangat tergantung pada adanya pemilahan sampah mulai dari sumber, pada wadah komunal, pada sarana pengumpul dan pengangkut, sehingga sampah yang akan diangkut ke lokasi pengolahan telah terpilah sesuai jenis atau komposisinya
  • Walaupun terdapat kemungkinan mendapatkan nilai tambah dari hasil penjualan produk pengolahan atau daur-ulang, namun dasar pemikiran pengolahan dan daur -ulang sampah hendaknya didasarkan atas pendekatan non-profit – center . Upaya tersebut bertujuan untuk mengurangi sampah yang akan diurug di landfill
  • Sarana di tingkat kawasan atau TPS dapat berfungsi untuk pengumpulan sampah berkatagori B3 dari kegiatan rumah tangga, untuk ditangani lebih lanjut
  • Sampah yang telah terpisah di sarana tersebut siap untuk diangkut ke TPA oleh institusi yang diserahi wewenang untuk pengangkutan sampah
  • Konsep penanganan sampah di TPA hendaknya bertumpu pada beberapa prinsip, yaitu: 
    • Penanganan sampah di sarana ini hendaknya terpadu
    • Bahan yang masih bernilai ekonomis hendaknya diupayakan untuk didaur-ulang sebelum dilakukan upaya terakhir dengan pengurugan sampah ke dalam tanah
    • Pada lokasi ini dapat dioperasikan beberapa jenis pengolahan sampah, seperti pengomposan, biogasifikasi, ataupun insinerasi bila memenuhi syarat
    • Sarana ini berfungsi pula sebagai tempat penyimpanan sementara bahan berbahaya yang terkumpul dari kegiatan kota, untuk diangkut ke lokasi pemerosesan yang sesuai
    • Sarana ini dioperasikan secara bertanggung jawab, sehingga tidak mendatangkan pencemaran lingkungan, dan tidak mendatangkan permasalahan terhadap kesehatan dan estetika bagi masyarakat sekitarnya

Daerah Pelayanan pengelolaan sampah

Tingkat pelayanan:

Tingkat pelayanan merupakan tinjauan kemampuan terhadap pengelola kota untuk menyediakan pelayanan kebersihan kepada masyarakat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Guna menentukan tingkat pelayanan pengelolaan sampah di kota tersebut, digunakan 2 (dua) indikator utama, yaitu:
  • Persentase jumlah penduduk kota dan sarana lain yang memperoleh pelayanan dari sistem
  • Persentase timbulan sampah yang dapat dikelola oleh Pengelola sampah tingkat kota
Dalam merancang sistem pengelolaan sampah, maka persentase pelayanan setiap sumber sampah perlu ditentukan, yang didasarkan atas kondisi serta kemampuan sistem itu sendiri, misalnya:
  • Pelayanan bagi lingkungan permukiman saat ini baru mencapai 40%. Maka dalam 5 tahun ke depan diproyeksikan menjadi 50%, sedang 10 tahun ke depan diproyeksikan menjadi 75%
  • Pelayanan di daerah jalan protokol, pasar, rumah sakit, hotel, taman kota, perkantoran, dan fasilitas umum mendapat prioiritas utama, dan misalnya ditargetkan menjadi 100%.
Pengertian penduduk kota yang dilayani biasanya tidak terbatas pada pelayanan dimana penduduk tersebut bertempat tinggal, tetapi mencakup pula dimana penduduk itu beraktivitas. Pelayanan tidak terbatas dalam arti hanya menyingkirkan sampah dari lingkungan sumber sampah, dan keluar dari kota tersebut, tetapi juga mengandung pengertian bahwa pengelolaan sampah mencakup pelayanan agar sampah yang ditangani tidak mengganggu kesehatan dan lingkungan, khususnya bagi masyarakat dan lingkungan yang bukan penghasil sampah yang ditangani tersebut.

Kualitas pelayanan:
Kualitas pelayanan meliputi frekuensi pengumpulan dan pengangkutan, dukungan dan kondisi prasarana/sarana, serta estetika hasil pelayanan. Frekuensi pengumpulan dan pengangkutan akan terkait dengan sistem pelayanan yang ada serta jenis sampah yang akan dikelola. Sampah basah sangat dianjurkan untuk diangkut minimum 2 hari sekali, sedangkan sampah kering dapat dilakukan 2 kali seminggu.

Daerah pelayanan:
Daerah pelayanan merupakan daerah yang berada dalam tanggung jawab pengelola sebuah kota, yang dilayani pengelolaan sampahnya, paling tidak sampah didaerah tersebut diangkut menuju pengolahan atau pemerosesan akhir. Daerah yang tidak dilayani diharapkan menangani sampahnya secara tuntas baik secara individu, maupun secara komunal.
Beberapa pertimbangan yang biasa digunakan di Indonesia adalah:
  • Daerah dengan kepadatan rendah dianggap masih memiliki daya dukung lingkungan yang tinggi sehingga dapat menerapkan pola penanganan sampah setempat yang mandiri
  • Daerah dengan tingkat kepadatan di atas 50 jiwa/ha perlu mendapatkan pelayanan persampahan karena penerapan pola penanganan sampah setempat akan berpotensi menimbulkan gangguan lingkungan.
  • Prioritas daerah pelayanan dimulai dari daerah pusat kota, daerah komersial, permukiman dengan kepadatan tinggi, daerah permukiman baru, kawasan strategis atau kawasan andalan
  • Pengembangan daerah pelayanan diarahkan dengan menerapkan model “rumah tumbuh” yaitu pengembangan ke wilayah yang berdekatan atau berbatasan langsung dengan wilayah yang telah mendapat pelayanan.
Jenis pelayanan:
Berdasarkan penentuan skala kepentingan daerah pelayanan, frekuensi pelayanan dapat dibagi dalam beberapa kondisi sebagai berikut:
  • Kondisi-1: wilayah dengan pelayanan intensif, adalah daerah di jalan protokol, pusat kota, kawasan pemukiman tidak teratur, dan daerah komersial
  • Kondisi-2: wilayah dengan pelayanan menengah adalah kawasan pemukiman teratur
  • Kondisi-3: wilayah dengan pelayanan rendah adalah daerah pinggiran kota
  • Kondisi-4: wilayah tanpa pelayanan, misalnya karena lokasinya terlalu jauh, dan belum terjangkau oleh truk pengangkut sampah.
Lebih lanjut, penentuan jenis pelayanan berdasarkan skala kepentingan daerah pelayanan dapat dilihat pada Tabel 1, yang dilakukan berdasarkan pengembangan tata ruang kota.
Hasil perencanaan daerah pelayanan berupa identifikasi masalah dan potensi yang tergambar dalam peta-peta sebagai berikut:
  • Peta problem: minimal menggambarkan kerawanan sampah, tingkat kesulitan pelayanan, kerapatan timbulan sampah, tata guna lahan, jumlah penduduk, kepadatan rumah/bangunan.
  • Peta pemecahan masalah : menggambarkan pola yang digunakan, kapasitas perencanaan, meliputi alat dan personel, jenis sarana dan prasarana, potensi pendapatan jasa pelayanan serta rute dan penugasan
Jenis pelayanan pengelola sampah dapat dibagi seperti terlihat dalam Tabel 1, yaitu:
  • Penyapuan jalan
  • Pengumpulan sampah
  • Pengangkutan sampah
  • Penanganan sampah
Tabel 1. Skala kepentingan daerah pelayanan
http://jujubandung.files.wordpress.com/2012/05/picture57.jpg 

Keterangan : angka total tertinggi dari skor (bobot nilai) merupakan pelayanan tingkat pertama, angka-angka berikut di bawahnya merupakan pelayanan selanjutnya.

Teknik Operasional Penanganan Sampah

Teknik operasional penanganan sampah perkotaan meliputi dasar-dasar perencanaan untuk kegiatan-kegiatan:
  • Pewadahan sampah
  • Pengumpulan sampah
  • Pemindahan sampah
  • Pengangkutan sampah
  • Pengolahan dan pendaur-ulangan sampah \
  • Pemerosesan akhir sampah.
Kegiatan pemilahan dan daur ulang semaksimal mungkin dilakukan sejak dari pewadahan sampah sampai dengan pembuangan akhir sampah. Teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan yang terdiri atas kegiatan pewadahan sampai dengan pembuangan akhir sampah harus bersifat terpadu dengan melakukan pemilahan sejak dari sumbernya. Skema teknik operasional pengelolaan persampahan dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
http://jujubandung.files.wordpress.com/2012/05/picture65.jpg

Gambar 1. Skema teknik operasional pengelolaan sampah [Modifikasi dari Tchobanoglous, 1993]
Sub sistem pengumpulan sampah dikenal dengan beberapa pola seperti:
  • Pola individual: pada pola ini dilakukan pengumpulan sampah dari rumah ke rumah dengan alat angkut jarak pendek seperti gerobak atau yang lainnya untuk diangkut ke penampungan sementara. Pola ini dapat dilakukan juga dengan cara door-to-door menggunakan truk sampah untuk langsung diangkut ke pengolahan/pembuangan sampah.
  • Pola komunal: pada pola ini pengumpulan sampah dari beberapa rumah dilakukan pada satu titik pengumpulan, yang dilakukan langsung oleh penghasil sampah untuk kemudian diangkut ke TPA.
Aspek penyimpanan dan pengumpulan membutuhkan pengetahuan dasar tentang karakteristik masing-masing sampah agar tidak menimbulkan permasalahan, baik dari sudut biaya operasi maupun keselamatan kerja dan lingkungan.
Subsistem pemindahan menerima sampah yang berasal dari sumber, untuk kemudian diangkut ke TPA. Dikenal dua pola yaitu sistem yang permanen dan yang dapat diangkut (dipindahkan). Subsistem pemindahan mempunyai sasaran-sasaran sebagai berikut:
  • Sebagai peredam tingkat ketergantungan fase pengumpulan dengan fase pengangkutan
  • Pos pengendalian tingkat kebersihan wilayah yang bersangkutan.
Subsistem pengangkutan terdiri atas tiga jenis, yaitu:
  • Pengangkutan dari satu lokasi pemindahan ke TPA
  • Pengangkutan dari kelompok pemindahan menuju ke TPA
  • Pengangkutan dengan pola door-to-door.
Aspek pengangkutan sampah kadang dilupakan dan akan menjadi permasalahan besar apabila sampah harus diangkut ke luar dari sumber asalnya guna diproses lebih jauh. Hal ini terutama menyangkut pengamanan selama perjalanannya.

Pengelolaan Sampah Terpadu

Secara historis, pengelolaan limbah berangkat dari fungsi kerekayasaan. Hal ini terkait dengan evolusi masyarakat teknologi, yang memanfaatkan kemampuan berproduksi secara massal. Aliran bahan baku, enersi dan fluida dalam masyarakat modern dan produk ikutannya yang berupa limbah ditunjukkan dalam Gambar 2 berikut ini.
http://jujubandung.files.wordpress.com/2012/05/picture76.jpg

Gambar 2. Aliran bahan baku dan limbah dalam masyarakat industri
Pengelolaan sampah pada masyarakat modern bertambah lama bertambah kompleks sejalan dengan kekomplekan masyarakat itu sendiri. Pengelolaan sampah pada masyarakat modern membutuhkan keterlibatan beragam teknologi dan beragam disiplin ilmu. Termasuk di dalamnya teknologi-teknologi yang terkait dengan bagaimana mengontrol timbulan (generation), pengumpulan (collection), pemindahan (transfer), pengangkutan (transportation), pemerosesan (processing), pembuangan akhir (final disposal) sampah yang dihasilkan pada masyarakat tersebut. Pendekatannya tidak lagi sesederhana menghadapi masyarakat non-industri, seperti di perdesaan. Seluruh proses tersebut hendaknya diselesaikan dalam rangka bagaimana melindungi kesehatan masyarakat, pelesta rian lingkungan hidup, namun secara estetika dan juga secara ekonomi dapat diterima.

Beragam pertimbangan perlu dimasukkan, seperti aspek adminsitratif, finansial, legal, arsitektural, planning, kerekayasaan. Semua disiplin ini diharapkan saling berkomunikasi dan berinteraksi satu dengan yang lain dalam hubungan interdipliner yang positif agar sebuah pengelolaan persampahan yang terintegrasi dapat tercapai secara baik.

Pengelolaan sampah terpadu dapat didefinisikan sebagai pemilihan dan penerapan teknik-teknik, teknologi, dan program-program manajemen yang sesuai, untuk mencapai sasaran dan tujuan yang spesifik dari pengelolaan sampah. USEPA di Amerika Serikat mengidentifikasi 4 (empat) dasar pilihan manajemen strategi, yaitu:
  • Reduksi sampah di sumber
  • Recycling dan pengomposan
  • Transfer ke enersi (waste-to-energy)
  • Landfilling
Negara Bagian Kalifornia mengartikan konsep integrasi tersebut dengan menerapkan secara hierarkhi pilihan teknologi tersebut, yaitu :
  • Reduksi sampah di sumber
  • Recycling dan pengomposan
  • Transformasi limbah
  • Landfilling
yang artinya transformasi sampah baru dipertimbangkan bila telah dilakukan upaya-upaya recycling atau pengomposan sebelumnya, guna mengurangi secara kuantitatif sampah. Gambar 3 merupakan konsep pengelolaan sampah permukiman secara terintegrasi.

 http://jujubandung.files.wordpress.com/2012/05/picture84.jpg

Gambar 3. Pengelolaan sampah permukiman secara terintegrasi
Telah dibahas sebelumnya, bahwa penanganan sampah yang terintegrasi bertujuan untuk meminimalkan atau mengurangi sampah yang terangkut menuju pemerosesan akhir. Pengelolaan sampah yang hanya mengandalkan proses kumpul -angkut -buang menyisakan banyak permasalahan dan kendala, antara lain ketersediaan lahan untuk pembuangan akhirnya. Daur ulang sampah sudah menjadi dasar yang diamanatkan oleh UU-18/2008.

Masing-masing kota diperkirakan pada tahun-tahun mendatang akan mengalami penambahan penduduk yang cukup besar sehingga pembuangan sampah akan mengalami peningkatan yang pesat pula, terutama sampah organik yang merupakan jumlah sampah terbanyak. Data yang tercatat ternyata persentase pemanfaatan kembali sampah di Indonesia diperkirakan belum mencapai 10%. Data ini menunjukkan bahwa persentase pemanfaatan kembali sampah oleh masyarakat masih jauh dari jumlah sampah yang dihasilkan, sehingga volume sampah yang belum tertanggulangi masih banyak. Untuk mendukung upaya pemerintah dalam strategi pengurangan sampah tentunya pemanfaatan kembali sampah merupakan hal yang sangat penting dan sangat diajurkan.

Selain dapat mengurangi timbulan sampah yang berasal dari sumbernya sendiri, kegiatan pemanfaatan kembali khususnya sampah organik ini banyak sekali manfaatnya bagi warga, seperti diperolehnya usaha sampingan, pembukaan lapangan pekerjaan baru, memperkuat kepedulian terhadap lingkungan, juga memperkuat peranserta masyarakat. Manfaat lain yang mungkin dirasakan oleh pemerintah adalah mengurangi subsidi untuk penanganan sampah. Sampai saat ini timbulan sampah yang dapat ditangani oleh pemerintah daerah belum mencapai 100%. Hal ini berarti masih terdapat sampah yang tertinggal atau tidak tertangani oleh pemerintah daerah disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana yang ada. 

Upaya pemanfaatan kembali, pengolahan dan kampa nye pengurangan sampah terutama sampah non-organik merupakan alternatif yang sangat positif sebagai kerangka untuk menjawab permasalahan persampahan tersebut. Sektor informal yang berkecimpung dalam masalah pendaurulangan barang-barang bekas atau sampah memiliki potensi dalam pengurangan sampah khususnya sampah non-organik yang ada di perkotaan.

Sektor informal yang selama ini telah aktif dalam upaya daur-ulang sampah kota yaitu pemulung, bos lapak dan bandar perlu diintegrasikan dalam sistem pengelolaan sampah kota yang berpusat pada sarana pengelolaan sampah tersebut. Program daur-ulang pada dasarnya tidak hanya dilakukan di sumber-sumber timbulan sampah, akan tetapi juga diterapkan di tempat transit sampah (TPS) yang dapat disebut sebagai pengolahan skala kawasan, atau dalam lokasi pengolahan/pembuangan akhir. Penerapan program daur-ulang dan proses pengolahannya di tempat pengolahan/pembuangan akhir, dikenal dengan konsep Pengolahan Sampah Terpadu. Konsep ini prinsipnya menyatukan secara terpadu kegiatan pembuangan akhir dengan kegiatan proses pemilahan, daur ulang, dan komposting, dan upaya lainnya agar sampah yang akan diurug menjadi lebih sedikit. PPT dan PPLH ITB pada tahun 1980-an telah memperkenalkan dan menguji-coba konsep ini sebagai Kawasan Industri Sampah (KIS).

Salah satu skenario kegiatan dan proses dari pengolahan sampah terpadu ini dapat dilihat pada Gambar 4 berikut. Dengan pengembangan sistem pengolahan sampah terpadu ini, fungsi dari tempat pembuangan akhir sampah pada beberapa tahun mendatang dapat menjadi tidak dominan karena kapasitas sampah yang akan diurug lebih kecil daripada sampah yang dapat diolah atau dimanfaatkan lagi, hal ini seiring dengan tahap pengembangan pengelolaan persampahan yang semakin meningkat.
 


Gambar 4. Flow chart pengolahan sampah terpadu

Pengelolaan Sampah Regional

Dengan terbatasnya lahan untuk pemerosesan, serta makin banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh sebuah kota, maka idea pengelolaan sampah bersama dari daerah yang saling berdekatan atau beskala regional, makin banyak mendapat perhatian di Indonesia. Konsep pertama yang muncul adalah berasal dari Denpasar dan sekitarnya, dengan konsep pengelolaan sampah bersama antara Kota DenpaSAR, Kabupaten BAdung, Kabupaten GIanyar dan Kabupaten TAbanan atau SARBAGITA.

Berdasarkan Peraturan Bersama antara Pemerintah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan, nomor 660.2/2868/Sekret; nomor 840.B tahun 2000; nomor 658.1/3367/Ek; nomor 390.B tahun 2000 tanggal 24 Juli 2000, tentang Pokok-Pokok Kerjasama Pemerintahan, Pembangunan, dan Kemasyarakatan dalam Pengelolaan Sampah antara Pemerintah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan, ditetapkan 4 (empat) program pokok atau disebut program strategis yang mencakup:
  • Penetapan Tempat Pemerosesan Akhir (TPA) sampah lintas kabupaten/kota.
  • Pembentukkan wadah kerjasama dalam suatu badan pengelola kebersihan Bali Bagian Selatan
  • Pembentukan wadah pengawasan independen
  • Pembentukan Peraturan Pemerintah (Perda) yang mendukung pengelolaan sampah, seperti tarif, organisasi, pengawasan, perencanaan, dan lain-lain.
Untuk meningkatkan kondisi lingkungan hidup daerah dan perkotaan di Propinsi Bali, khususnya di Bali Selatan yang mengalami pertumbuhan urbanisasi yang sangat pesat, Pemerintah Pusat mendapat bantuan dari Bank Dunia (IBRD) melalui Program Bali Urban Infrastructure Project (BUIP)- P3 KT , yang di dalam pelaksanaannya khusus menyangkut persampahan ditangani oleh Proyek Pengelolaan Sampah di Bali (Solid Waste Menagement in Bali) mulai Tahun Anggaran 1997/1998 sampai dengan 2001/2002. Restrukturisasi pembentukan institusi pengelolaan persampahan di Bali Selatan, yang kemudian disebut Sarbagita, telah disepakati melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tanggal 16 April 2001 di antara keempat Pemerintah Daerah/Kota Sarbagita. Institusi atau badan yang telah disepakati untuk dibentuk adalah : Badan Pengatur dan Pengendalian Kebersihan Sarbagita (BPPKS), Badan Pengelola Kebersihan Sarbagita (BPKS), dan Badan Pengawas Pengelolaan Kebersihan Sarbagita (BP2KS). Institusi atau badan tersebut mempunyai fungsi dan tugas pokok masing-masing yang sudah ditetapkan melalui Keputusan Bersama Pemerintah Daerah/Kota.

Konsep yang sama dicoba dikembangkan di Jakarta dan sekitarnya, yaitu pengelolaan sampah bersama, khususnya dalam pengadaan TPA, bagi kotaJAkarta, BOgor, DEpok, TAngerang dan BEKas, atau JABODETABEK. Namun upaya yang mendapat dukungan dari Pemerintah pusat tersebut, sampai saat ini belum terlihat realisasinya. Terdapat perbedaan persepsi dan kepentingan diantara kota dan kabupaten yang terlibat di dalamnya. Konsep sejenis berjalan cukup baik di Yoyakarta, yaitu antara Daerah Istimewa YogyaKARTA, Kabupaten SleMAN dan dan Kabuoaten BanTUL, atau KARTAMANTUL. Hal yang sama dirintis di tempat lain, seperti di metropolitan Makassar, Gorontalo dsb. Sedang Bandung Raya menampilkan idea pengelolaan sampah bersama antara Garut, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Kota Cimahi yang telah dirintis sejak tahun 2004.

Sumber: Diktat Pengelolaan Sampah TL-3104 (2008)
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB