1. PENDAHULUAN
Pengolahan sampah di Makassar
saat ini masih memakai sistem/pola lama, dimana sampah dari sumber sampah
seperti perumahan, pasar, pusat perdagangan, perkantoran, dll masih diangkut ke
TPS atau trans depo lalu secara berkala dibuang ke TPA-Antang. Jumlah timbulan
sampah kota Makassar setiap harinya sebanyak 80.000 m3/hari atau setara dengan
berat 450-500 Ton per hari, oleh kurang lebih 140 armada truk yang ikut
kontribusi menambah kemacetan kota Makassar dengan rata-rata ritasi 3-4 rit per
harinya, dengan kontribusi kemacetan sebanyak 2.500 rit/hari.
Kenapa disebut sistem lama,
karena pola-pola ini adalah pola konvensional, dimana akhir dari semua sampah
kota seluruhnya diangkut ke pembuangan akhir untuk di tebar urug (controlled
landfill).
Mengacu pada UU No. 18 tahun 2008
tentang Pengelolaan Persampahan mengisyaratkan adanya perubahan pola
pengelolaan sampah, yang tadinya TPA adalah pusat pengolahan sampah kota
dirubah menjadi TPA hanya bagian/ porsi kecil yang untuk pengolahannya.
Sementara sumber-sumber sampah diwajibkan meiliki pengolahan secara
terintegrasi dengan TPS atau transfer depo; adapun sampah yang tidak dapat di daur
ulang sesuai dengan konsep 3R (re-used, re-cycled, re-fused) dan memiliki nilai
ekonomis yang rendah adalah yang di olah di TPA.
Sebagai perbandingan gambaran perubahan pola pengelolaan
sampah dapat dilihat pada gambar piramida berikut ini.
POLA PENGELOLAAN PERSAMPAHAN LAMA (PIRAMIDA TEGAK)
POLA PENGELOLAAN PERSAMPAHAN BARU (PIRAMIDA TERBALIK)
Dari kedua gambar diatas jelas terlihat adanya perubahan
secara nyata bahwa yang diharapkan oleh UU No. 18 tahun 2008 adalah lakukan pengelolaan di hulu (sumber
sampah, TPS dan Trans Depo).
Selama 3 tahun kebelakang memang
ada upaya Dinas Kebersihan dan Pertamanan
kota Makassar melakukan terobosan dengan bekerja sama dengan swasta dan
masyarakat untuk mengolah sampah,
dengan konversi sampah organik menjadi bio gas.
Investor swasta yang berminat
mengelola sampah terbilang masih minim. Saat ini hanya ada satu investor yang merealisasi
kerjasamanya dengan memanfaatkan sampah di TPA Tamangapa, Antang yakni PT
Gikoko. Hanya saja, perusahaan asal Jepang tersebut tidak mengelola sampah,
melainkan hanya memanfaatkan gas metan untuk pembangkit listrik dengan kapasitas
120 kva. Parahnya,gas metan dari sampah hanya digunakan menunjang penelitian
terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Hasil penelitian tersebut yang kemudian
dijual kepada negara-negara maju,seperti Belanda, untuk mendapatkan dana hibah
dari donor pemberi bantuan proyek CDM (Carbon Deduction Management). Posisi PT Gikoko saat ini dinilai tidak
memberikan efek positif terhadap upaya pengelolaan sampah dalam bentuk daur
ulang, karena hanya memanfaatkan jenis sampah organic untuk dikonversi menjadi
gas dan menggerakkan energy listrik 120 KVA.
Tahun 2012 lalu, Vanitelli
Nexus Environmental Solution Ltd, perusahaan yang berpusat di Singapura,
akan berinvestasi senilai US$ 450 juta untuk pembangunan pabrik pengolahan
sampah di Makassar.
Sebelum pabrik dibangun, Vanitelli lebih dulu melakukan penandatangan MoU dengan Pemkot Makassar.
Penandatanganan MoU ini dilakukan Wali Kota Ilham Arif Sirajuddin dengan Presiden Direktur Venitelli Enviromental Ivan Pereira de Araujo, namun realisasinya sampai saat ini tidak kelihatan.
Sebelum pabrik dibangun, Vanitelli lebih dulu melakukan penandatangan MoU dengan Pemkot Makassar.
Penandatanganan MoU ini dilakukan Wali Kota Ilham Arif Sirajuddin dengan Presiden Direktur Venitelli Enviromental Ivan Pereira de Araujo, namun realisasinya sampai saat ini tidak kelihatan.
Menilik pada jumlah sampah yang dimiliki oleh kota Tangerang saat ini yaitu
sebanyak 80.000 m3/hari atau setara dengan 500 Ton per
hari, dimana jumlah yang diangkut
baru mencapai 75 % dari timbulan sampah yang ada.
Artinya dengan 75% yang terangkut ke TPA -Antang setara dengan 60.000 m3/hari yang terangkut ke TPA, sisanya
sebanyak 20.000 m3/hari dikelola oleh masyarakat dengan cara menimbun, membakar
atau mengolahnya menjadi pupuk organik. Bila daya angkut truk rata-rata adalah 8 m3/truk dan ritasi dari truk adalah 3 rit, maka jumlah rit per hari adalah sebanyak 60.000/(8 x3) = 2.500 rit per hari.
Keterbatasan jumlah armada dan kondisi armada yang terus menurun dengan
pengaruh umur pakai mengakibatkan terjadinya penumpukan jumlah sampah yang
tidak terangkut secara fluktuasi akan bertambah.
Ada potensi dari sampah yang ada bila mengacu pada komposisi dari sampah
campuran yang ada di kota Makassar, dimana sebanyak 80-85%
merupakan sampah organik yang dapat dikonversi menjadi kompos. Dan sebanyak 5-10% ada potensi untuk daur ulang, seperti
sisa kayu, besi, plastic, kaca, sehingga
perlu ditemukan upaya yang terbaik untuk mengurangi jumlah sampah yang dibawa
ke TPA dan sekaligus mengurangi kontribusi kemacetan di jalan raya.
Terlepas dari hal ini semua, sebenarnya
bila kembali ke pola yang diminta oleh UU No. 18 di atas, pengelolaan sampah
dengan mengikut sertakan masyarakat di garis terdepan akan lebih memberikan
banyak manfaat bagi Pemerintah Kota, juga bagi warga/swasta dan aparat pemda di tingkat
RT, RW dan kelurahan. Hal ini akan meningkatkan rasa kebersamaan dan tanggung
jawab bersama untuk mengatasi problem sampah dilingkungannya masing-masing.
2. PENGELOLAAN SAMPAH
DI KECAMATAN /KELURAHAN
Sesuai dengan amanat dari UU no. 18 tahun 2008, pengelolaan
sebaiknya dilakukan di sumbernya, yaitu di tingkat RT/RW atau Kelurahan/Kecamatan atau bisa dimulai di sekitar lingkungan
pasar . Pertanyaannya adalah, bagaimana sitem atau teknologi yang
diterapkan, butuh luas berapa dan
tenaga kerja berapa banyak?
Teknologi yang akan diterapkan sangat simple didasarkan pada
alam, yaitu menggunakan bakteri yang ada di alam serta bantuan tenaga mesin
mekanis sebagai alat bantunya. Sistem
ini dapat dirakit di fabricator local dan mesin-mesin penggerak dapat ditemui
di pasaran local. Lahan yang
dibutuhkan adalah 200-300 m2 dalam satu bangunan dan tenaga kerja tidak banyak
cukup 5-7 orang.
Adapun sistem pengolahan sampah yang akan diusulakan adalah sebagai berikut: |
GBR: USULAN SISTEM PENGOLAHAN
SAMPAH CAMPURAN DI PASAR, KECAMATAN/KELURAHAN
Untuk limbah
plastik, akan diolah dengan mesin pengolah khusus yang hasil akhirnya adalah
plastik curah dan plastik granulator. Adapun skema proses adalah sebagai
berikut:
|
GBR: USULAN SISTEM PENGOLAHAN
SAMPAH PLASTIK DI PASAR, KECAMATAN/KELURAHAN
3. PERBANDINGAN
SISTEM BARU VERSUS LAMA DAN BIAYA PENGELUARAN
Untuk mengetahui perbandingan sistem yang ada saat ini dan
pengelolaan sampah di hulu dapat digambarkan pada tabel berikut ini.
NO
|
ITEM PEMBANDING
|
SISTEM SAAT
INI
|
SISTEM BARU
|
1
|
Pengolahan di Sumber
|
Relatif hanya pengumpulan
|
Pengolahan di sumber 85-90%
|
2
|
Alat transportasi
|
Hampir 2.500 rit per hari
|
Hanya 15-20% = 375 -500 rit
|
3
|
Ketersediaan lahan TPS/Trans depo
|
Perlu untuk tempat pengumpulan sementara
|
Perlu tambahan lahan untuk pengolahan dan gudang produk
|
4
|
Kontribusi kemacetan
|
Relatif tinggi
|
Berkurang drastis
|
5
|
Biaya Pengolahan sampah
|
a. Biaya investasi, ngak ada
Biaya Operasional:
b. Biaya transportasi 2.500 rit
|
a. Biaya
investasi Rp 3,5 M /Kecamatan/Pasar.
b.
Biaya Operasional:
b. Biaya transportasi 375-500 rit
|
4. BIAYA INVESTASI
SISTEM BARU
Biaya yang dibutuhkan untuk melengkapi sistem ini antara
lain adalah sebagai berikut :
a. Biaya bangunan 300 m2 =
Rp. 500.000.000,-
b. Biaya fabrikasi, pengadaan dan pemasangan mesin2 = Rp. 3.000.000.000,-
TOTAL BIAYA 1 UNIT =
Rp. 3.500.000.000,-
Pengadaan untuk 30 unit (14 Kecamatan + 16 Pasar)= 30 x 3,5 M = Rp. 105,5 M
5. REKOMENDASI
Untuk mengetahui secara factual kondisi pengelolaan
persampahan di seluruh wilayah kota Makassar , perlu dilakukan satu kajian ulang yang meliputi antara lain:
a. Sistem cakupan pelayanan di seluruh wilayah Kota Makassar;
b. Mengetahui secara detil kendala-kendala penyapuan jalan,
pengumpulan dan moda angkutan dari setiap wilayah yang ada;
c. Memetakan sistem pengolahan sampah di 14 Kecamatan dan kelurahannya;
d. Memetakan sistem
pengelolaan di TPS di setiap kelurahan;
e. Memetakan sistem pengangkutan sampah dari lokasi pasar (16
pasar) yang ada.
f. Memetakan kemungkinan TPS/Trans depo atau
lahan lainnya di setiap kelurahan/kecamatan di untuk digunakan sebagai
tempat pengolahan sampah dengan
menggunakan mesin komposter.
g. Membangun 2 unit percontohan pengolahan sampah dengan
system baru (de sentralisasi), 1 unit di pasar
induk dan 1 unit di wilayah pemukiman terpadu.
h. Melanjutkan pembangunan unit pengolahan di pasar-pasar
dan lokasi pemukiman dengan pembagian melayani 1 atau 2 kecamatan.