KOMPAS.com - Niat untuk berkurban itu terpatri di
benak Yati (64) sejak lama. Pemulung yang tinggal di gubuk di kawasan
Tebet, Jakarta, itu akhirnya bisa mewujudkan keinginannya. Pada Idul
Adha kali ini, dia tidak lagi berebut dan dorong-mendorong demi
mendapatkan 1 kilogram daging, tetapi justru memberikan dua ekor kambing
sebagai kurban.
Kambing itu dikurbankan Yati di tengah segala
keterbatasannya. Dia dan Maman, suaminya, sepakat menunda keinginan
membeli rumah meskipun sadar bahwa tempat tinggal mereka berada di
lokasi ilegal. Mereka juga rela tidak makan
daging kurban pada Lebaran kali ini. Hewan kurban yang disalurkan lewat
Masjid Raya Al Ittihaad, Tebet, dibagikan kepada yang membutuhkan,
termasuk petugas pemerintahan dan aparat keamanan yang meminta daging
kurban ke masjid itu.
"Sekarang saya sudah plong. Rasanya seperti naik ke surga," ujar Yati sambil tersenyum.
Dorongan
untuk berkurban mulai terasa kuat beberapa pekan lalu. Tiga kali Yati
menanyakan ke Maman, apakah mereka mampu membeli kambing. Maman semula
ragu dan tidak terlalu menghiraukan istrinya. Namun, dia akhirnya
menyilakan sang istri menggunakan uang tabungan untuk membeli kambing.
Dua
pekan silam, Yati menanyakan harga kambing kepada Pak Warno, tetangga
mereka yang juga penjual kambing. Dia menunjuk dua kambing berwarna
coklat. Satu kambing seharga Rp 2 juta dan yang lain Rp 1 juta. Tanpa
pikir panjang dan tanpa menawar, Yati langsung mengambil kalung emas
yang dibeli dari tabungannya. Dia menjual kalung itu dan mendapatkan
uang Rp 3,8 juta. Uang ditukarkan dengan kambing dan sisanya dibelikan
kalung emas yang lebih kecil.
Pak Warno mengusulkan agar Yati
menitipkan kambing di tempatnya hingga mendekati saat pemotongan hewan
kurban. Yati menurut, tetapi karena tidak sabar ia menuntun kambing ke
masjid pada Selasa malam. Saat itu belum ada orang yang menaruh hewan
kurban di masjid. Yati juga setia memberi pakan kambingnya setiap hari
hingga waktu pemotongan hewan kurban, Sabtu pagi.
H Suhendra,
panitia kurban Masjid Raya Al Ittihaad, mengaku terkejut dengan niat
Yati. "Selama ini, dia tidak pernah absen mendapatkan daging kurban.
Tetapi, kali ini dia justru menyumbangkan dua kambing. Selama 27 tahun
di masjid ini, belum pernah saya menemui pemulung yang mau menyumbangkan
kambing," ujarnya.
Jemaah haji di Tanah Suci Mekkah yang menyaksikan kisah Yati di Kompas TV, Sabtu sore, bahkan sempat terharu dan tergugah.
Yati
meninggalkan kampung halamannya di Gunung Sari, Surabaya, Jawa Timur,
sejak 1965. Yati menumpang kereta ke Stasiun Beos. Bermodalkan
kenekatan, dia memulai hidup di Jakarta. Pekerjaan sebagai pemulung
barang bekas dilakoni sejak saat itu. Tempat tinggalnya tidak menetap.
Kadang, gerobak yang menampung barang bekas juga dijadikan tempat tidur.
"Kalau nemu pohon rindang dan saya mengantuk, langsung saja saya tidur di gerobak," ucapnya ringan.
Dua
tahun terakhir, Yati dan suaminya memilih membangun gubuk di jalur
hijau Tebet. Dua kali dalam sehari, mereka berkeliling memungut plastik
atau kardus bekas di Manggarai, Jatinegara, Cawang, hingga Kampung
Melayu. Tidak jarang Yati diperkenankan masuk Masjid Raya Al Ittihaad
bila ada acara di situ. Selain mengambili barang bekas, pengurus masjid
juga kerap memberi makanan atau uang ke Yati.
Pendapatan keluarga
ini tidak menentu. Selain bergantung jumlah plastik dan kardus yang
terkumpul setiap hari, pemulung seperti Yati juga harus berhadapan
dengan harga beli barang bekas yang naik-turun. Bila sedang sial, 1
kilogram barang bekas hanya dihargai Rp 300. Ada kalanya juga harga
menyentuh Rp 1.000. Dalam 1,5 bulan, Yati dan Maman mengumpulkan uang
sekitar Rp 200.000.
Utang ke warung tidak terhindarkan lagi bila
barang yang terkumpul belum cukup. Utang makan, minum, dan rokok ini
baru tertutupi setelah dia menerima uang hasil penjualan barang. Kalau
ada sisa, uang dipakai untuk hidup sehari-hari bersama anak angkatnya.
Selebihnya, uang yang masih ada digunakan untuk membeli perhiasan
sedapatnya.
Dengan niat berkurban di hari raya, Yati bisa membeli
dua kambing dan menutup seluruh utangnya. "Kita tidak tahu sampai kapan
kita hidup. Selama bisa berbuat baik, ya, kita jalankan saja." (Agnes Rita Sulistyawaty)
Sistem mekanis pengomposan adalah pengolahan mekanis dalam tabung komposter dan dapat memperoleh kompos setiap hari dan tidak butuh lahan yang luas (100-150 m2). Mesin ini berkapasitas 2-3 ton/hari dapat mengolah sampah organik sebanyak 8-10 m3 perhari, kapasitas sedang dan kecil juga dapat dilayani dengan dibawah 1 ton/hari sampai 100 kg/hari. Kami tawarkan kerjasama [engelolaan atau dengan sistem beli putus bila tertarik, hub kami 081384588749 atau WA: 081218234570
Entri Populer
-
Feldspar dengan bahan kimia: Aluminium Silikat dengan rumus kimia kompleks (Na, K, Ca) AlSi3Og; SiO2 dengan kandungan 90-94% feldspar dan 6...
-
BEKASI (Pos Kota) – Warga Kota Bekasi, Jawa Barat siap-siap daerahnya menjadi lautan sampah selama setahun ke depan. Ini bakal terjadi apabi...
-
Di dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah, dikenal istila...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar