1.
PENDAHULUAN
Pengolahan
sampah di DKI saat ini masih memakai sistem/pola lama, dimana sampah dari
sumber sampah seperti perumahan, pasar, pusat perdagangan, perkantoran, dll masih
diangkut ke TPS atau trans depo lalu secara berkala dibuang ke TPA-Bantar
Gebang Bekasi. Kenapa disebut sistem lama, karena pola-pola ini adalah pola
konvensional, dimana akhir dari semua sampah kota seluruhnya diangkut ke
pembuangan akhir untuk di tebar urug (sanitary landfill).
Mengacu pada UU
No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan mengisyaratkan adanya
perubahan pola pengelolaan sampah, yang tadinya TPA adalah pusat pengolahan
sampah kota dirubah menjadi TPA hanya bagian/ porsi kecil yang untuk
pengolahannya. Sementara sumber-sumber sampah diwajibkan meiliki pengolahan
secara terintegrasi dengan TPS atau transfer depo; adapun sampah yang tidak
dapat di daur ulang sesuai dengan konsep 3R dan memiliki nilai ekonomis yang
rendah adalah yang di olah di TPA.
Sebagai perbandingan gambaran perubahan
pola pengelolaan sampah dapat dilihat pada gambar piramida berikut ini.
POLA PENGELOLAAN PERSAMPAHAN LAMA (PIRAMIDA TEGAK)
POLA PENGELOLAAN PERSAMPAHAN BARU (PIRAMIDA TERBALIK)
Dari kedua gambar diatas jelas terlihat
adanya perubahan secara nyata bahwa yang diharapkan oleh UU No. 18 tahun 2008 adalah lakukan pengelolaan di hulu (sumber
sampah, TPS dan Trans Depo).
Selama 3 tahun
kebelakang memang ada upaya Dinas KebersihanDKI melakukan terobosan dengan bekerja sama dengan
swasta untuk mengolah sampah di 3 wilayah yaitu Cakung, Marunda dan Sunter.
Ketiga lahan tersebut adalah ex trans depo DKI, 2 (Marunda dan Cilincing) telah
beroperasi dan 1 lagi gagal ditenderkan karena faktor teknis. Diharapkan dengan
beroperasinya ketiga ITF ini, timbulan
sampah DKI sebesar 6.500 ton/hari akan berkurang menjadi 3.000 ton/hari.
Namun, dibalik
pembangunan ketiga ITF (Integrated Treatment Facility) Pemda DKI harus
mengeluarkan tipping fee sebesar 3.000 x RP. 400.000 = Rp 1.200.000.000 per
hari, dan setara dengan Rp. 36 M per bulan dan dalam setahun sebesar 432 M angka
yang sangat fantastic.
Dan yang lebih
fantastic lagi, bahwa pengelolaan dilakukan oleh investor selama 30 tahun,
artinya selama 30 tahun swasta yang akan menikmati uang tipping feenya. Setelah itu fasilitas akan dikembalikan ke PEMDA
DKI, dalam kondisi ???
Terlepas dari
hal ini semua, sebenarnya bila kembali ke pola yang diminta oleh UU No. 18 di
atas, pengelolaan sampah dengan mengikut sertakan masyarakat di garis terdepan
akan lebih memberikan banyak manfaat bagi Pemda DKI, juga bagi warga/swasta dan aparat pemda di tingkat RT, RW dan
kelurahan. Hal ini akan meningkatkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab
bersama untuk mengatasi problem sampah dilingkungannya masing-masing.
2.
PENGELOLAAN SAMPAH DI KECAMATAN /KELURAHAN
Sesuai dengan amanat dari UU no. 18 tahun
2008, pengelolaan sebaiknya dilakukan di sumbernya, yaitu di tingkat RT/RW atau Kelurahan/Kecamatan atau bisa dimulai bdi sekitar lingkungan pasar . Pertanyaannya
adalah, bagaimana sitem atau teknologi yang diterapkan, butuh luas berapa dan tenaga kerja berapa
banyak?
Teknologi yang akan diterapkan sangat
simple didasarkan pada alam, yaitu menggunakan bakteri yang ada di alam serta
bantuan tenaga mesin mekanis sebagai alat bantunya. Sistem ini dapat dirakit di fabricator local
dan mesin-mesin penggerak dapat ditemui di pasaran local. Lahan yang dibutuhkan adalah 150-200 m2 dalam
satu bangunan dan tenaga kerja tidak banyak cukup 5-7 orang.
GBR: USULAN
SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH CAMPURAN DI KECAMATAN/KELURAHAN
Sistem seperti gambar di atas dapat
mengolah 40-50 m3 sampah per harinya yang dapat menghasilkan 10 Ton/hari kompos
granular. Bila ada 50 kecamatan yang ada di DKI dan setiap kecamatan dipasang 1
unit alat sejenis dan di pasar sebanyak 20 pasar maka jumlah sampah yang dapat
diolah adalah :
70 x 50 m3/hari = 3.500 m3/4 = 875
Ton/hari.
Untuk mencapai pengolahan sampai tuntas
dibutuhkan 4 unit di setiap kecamatan, sehingga hasil pengolahannya adalah
sebagai berikut:
4 x 70 x 50 m3/hari =14.000 m3/hari/ 4 =
3.500 Ton/hari.
Dengan demikian jumlah yang sampah campuran
yang diolah adalah sebagai berikut :
1. ITF 3 unit @ 1250 ton/hari = 3 x 1.250 Ton/hari =
3.750 Ton/hari;
2. Pengolahan di kecamatan/kelurahan /Pasar = 3.500 Ton/hari
TOTAL
PENGOLAHAN = 7.250 Ton/hari.
3.
PERBANDINGAN SISTEM BARU VERSUS LAMA DAN BIAYA PENGELUARAN
Untuk mengetahui perbandingan sistem yang
ada saat ini dan pengelolaan sampah di hulu dapat digambarkan pada tabel
berikut ini.
NO
|
ITEM PEMBANDING
|
SISTEM
SAAT INI
|
SISTEM BARU
|
1
|
Pengolahan di Sumber
|
Relatif hanya pengumpulan
|
Pengolahan di sumber 90%
|
2
|
Alat transportasi
|
Hampir 2.000 rit per hari
|
Hanya 15-20% = 300-400 rit
|
3
|
Ketersediaan lahan TPS/Trans depo
|
Perlu untuk tempat pengumpulan sementara
|
Perlu tambahan lahan untuk pengolahan dan gudang
produk
|
4
|
Kontribusi kemacetan
|
Sangat tinggi
|
Berkurang drastis
|
5
|
Biaya Pengelolaan
|
a. Biaya investasi, ngak ada
b. Biaya transportasi 2.000 rit
c. Tipping fee di TPA @ Rp. 150.000 = Rp.
300.000.000/hari
d. Tipping fee
3 ITF @ RP. 400.000/hari = 3.750x400.000 =Rp 1,5 M per hari
Total biaya per hari =Rp. 1,8 M
Total Biaya 1
tahun =657 M
|
a. Biaya investasi /tahun Rp 315 M.
b. Biaya transportasi 300-400 rit
c. Tipping fee di TPA @Rp.150.000/hari =400 x 150.000 = Rp. 60.000.000
Total biaya per hari =Rp. 60 Juta
Total biaya 1
tahun = 337 M
|
4.
BIAYA KONSTRUKSI SISTEM BARU
Biaya yang dibutuhkan untuk melengkapi
sistem ini antara lain adalah sebagai berikut :
a. Biaya bangunan 200 m2 =
Rp. 500.000.000,-
b. Biaya fabrikasi, pengadaan dan pemasangan mesin2 = Rp. 4.000.000.000,-
TOTAL BIAYA 1 UNIT =
Rp. 4.500.000.000,-
Pengadaan untuk 1 tahun anggaran 70 unit =
70 x 4,5 M =
Rp.315.000.000.000,-
5.
REKOMENDASI
Untuk mengetahui secara factual kondisi
pengelolaan persampahan di seluruh wilayah DKI Jakarta, perlu dilakukan satu
kajian ulang yang meliputi antara lain:
a. Sistem cakupan pelayanan di seluruh
wilayah 5 walikota dan kabupaten Pulau Seribu;
b. Mengetahui secara detil kendala-kendala penyapuan
jalan, pengumpulan dan moda angkutan dari setiap wilayah yang ada di DKI
Jakarta;
c. Memetakan sistem pengolahan sampah di 2
wilayah lokasi ITF dan lokasi Sunter yang akan diusulkan menjadi ITF;
d. Memetakan sistem pengelolaan persampahan
pada 29 kelurahan yang dikelola oleh Swastanisasi;
e. Memetakan sistem pengangkutan sampah
dari lokasi pasar yang ada di DKI Jakarta.
f. Memetakan kemungkinan TPS/Trans depo di setiap kelurahan/kecamatan di wilayah DKI
Jakarta untuk digunakan sebagai tempat pengolahan sampah.
Bagi teman atau relasi
yang berbagi silahkan hubungi : victory_stp@yahoo.com
Atau kunjungi website
kami di: www.vessel-komposter.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar