Kita selalu membayangkan, petani Amerika Serikat dengan revolusi
hijaunya itu hanya mengandalkan pupuk kimia untuk memproduksi gandum,
kacang tanah, kedelai dan kapas. Sebuah anggapan yang keliru. Sebab
petani A.S. juga selalu menggunakan pupuk organik (kompos) untuk
mengejar target produksi mereka. Di Indonesia, produktifitas lahan sawah
kita, rata-rata hanya 4 ton Gabah Kering Panen (GKP) per hektar per
musim tanam. Sementara petani Thailand sudah bisa mencapai rata-rata 6
ton GKP per hektar per musim tanam. Rahasianya ada di kualitas benih dan
pemupukan. Untuk mencapai hasil rata-rata 6 ton GKP, diperlukan
aplikasi pemupukan organik minimal 3 ton per hektar per musim tanam.
Untuk kondisi tanah sawah di Jawa yang telah terlanjur rusak karena
keracunan nitrogen akibat pemupukan urea dosis tinggi, diperlukan
aplikasi kompos minimal 5 ton per hektar per musim tanam. Baru pada
musim-musim tanam berikutnya, dosis kompos itu pelan-pelan diturunkan
hingga menjadi 3 ton per hektar per musim tanam.
Perhitungan
kasarnya, untuk menghasilkan satu satuan volume produk panen, diperlukan
pupuk organik separo dari angka hasil panen tersebut. Jagung hibrida
yang hasilnya 8 ton jagung pipilan kering misalnya, memerlukan pupuk
kompos sebanyak 4 ton per hektar per musim tanam. Jadi kalau produksi
gabah nasional kita sekitar 50 juta ton dan jagungnya 10 juta ton per
tahun, maka total jumlah kompos atau pupuk organik lain yang diperlukan
untuk padi dan jagung tersebut akan mencapai 30 juta ton per tahun.
Penggunaan pupuk organik ini akan bisa menurunkan kebutuhan pupuk kimia
tanpa memperkecil hasil panen. Selain itu, kompos juga dapat
meningkatkan volume produksi sekitar 20% dari hasil optimal sebelum
pupuk organik digunakan. Kalau nilai kompos untuk jagung dan padi tadi
Rp 100.000,- per ton, maka omset dari industri kompos untuk padi dan
jagung saja, akan mencapai Rp 3 trilyun per tahun. Pupuk kimia yang bisa
dihemat sekitar 2.000.000 ton. Dengan harga pupuk kimia Rp 1.000.000
per ton, maka penghematan pupuk kimia akan mencapai Rp 2 trilyun per
tahun. Sementara peningkatan hasil panen akan mencapai 20% dari 60 juta
ton = 12 juta ton. Dengan harga Rp 1.000.000,- per ton maka nilai
peningkatan hasil panen padi dan jagung akan mencapai Rp 12 trilyun per
tahun.
Angka tersebut baru mengacu pada asumsi aplikasi kompos
untuk padi dan jagung. Belum memperhitungkan komoditas-komoditas lain
seperti singkong, kedelai, kacang tanah dan produk hortikultura,
terutama sayuran dan buah-buahan. Jadi tampak betapa strategisnya
industri kompos bagi sebuah negara agraris seperti Indonesia. Meskipun
sangat strategis, mengapa selama pemerintahan Orde Baru tidak pernah
kedengaran adanya program atau proyek industri kompos nasional? Karena
untuk ukuran nasional, dibandingkan dengan proyek pembangunan pabrik
pupuk kimia, nilai proyek kompos itu relatif kecil. Selain itu juga
banyak repotnya dan justru akan mengurangi konsumsi pupuk kimia.
Pembangunan industri kompos ini tidak bisa dilakukan secara
besar-besaran seperti kalau membangun pabrik pupuk urea atau ZA.
Industri kompos akan berskala kecil dengan volume produksi sekitar
5.000 ton per pabrik per tahun. Nilai investasi pabrik tersebut juga
hanya sekitar Rp 100.000.000,- Omset per tahunnya kurang-lebih Rp
500.000.000,- Tetapi untuk komoditas padi dan jagung di seluruh
Indonesia, diperlukan sekitar 6.000 pabrik kompos skala 5.000 ton
tersebut.
Pada prinsipnya, semua selulosa limbah pertanian bisa
dijadikan bahan kompos. Petani tradisional membuat kompos dengan cara
menumpuk rumput sisa-sisa pakan ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing
dan domba) di dalam kandang. Selang 3 bulan dilakukan pembalikan dan
dalam waktu 6 bulan kompos pun siap digunakan. Urine dan faces ternak
tersebut menjadi starter bagi terjadinya proses pengomposan oleh
bakteri. Di alam terbuka, proses pengomposan terjadi secara alamiah.
Pembuatan kompos sederhana bisa kita lakukan dengan menumpuk bahan
organik, misalnya jerami padi dan batang jagung, kemudian diberi starter
urea, pupuk kandang dan tanah serta kapur. Dengan penumpukan 3 m.
panjang, 1,5 m. lebar dan 1 m. tinggi, dengan penyiraman cukup, bahan
organik ini akan menjadi kompos dalam waktu sekitar 6 bulan. Kalau
sebelumnya dilakukan pencacahan dengan chooper, maka proses pengomposan
akan dipersingkat menjadi 3 bulan. Apabila ke dalam cacahan bahan
organik tersebut dimasukkan starter bakteri aerobik, misalnya EM 4, maka
proses pengomposannya akan menjadi lebih singkat lagi. Jadi sebenarnya
proses pengomposan itu sangat sederhana.
Di A.S. proses industri
kompos dilakukan secara lebih modern. Bermacam-macam bahan organik
dengan komposisi yang pas, digiling sampai halus. Selanjutnya material
tersebut dimasukkan ke dalam tangki raksasa bersamaan dengan air,
oksigen, bahan starter (misalnya gula, dedak atau bahan lainnya) dan
biang bakteri. Suhu dalam tangki tersebut lalu diatur sesuai dengan
tuntutan hidup bakteri. Dengan cara demikian proses pengomposan bisa
dipersingkat hanya dalam waktu 3 sampai 4 hari. Industri kompos bokhasi
yang berbahan baku abu sekam, sebenarnya tidak pas untuk diterapkan bagi
komoditas pangan secara massal. Sebab abu sekam tersebut energinya
sudah lenyap ketika dibakar. Teknologi bokhasi lebih pas apabila
digunakan untuk memproduksi kompos dengan bahan baku jerami yang dicacah
menggunakan chooper. Penggunaan bahan baku jerami atau batang jagung,
hijauan kacang tanah atau kedelai akan sangat efisien sebab menghemat
ongkos angkut. Industri kompos itu bisa dibangun di pinggir-pinggir
sawah, hingga suplai bahan bakunya terjamin murah dan hasilnya juga
dipakai di sawah-sawah tadi.
Kalau kita kebetulan berkendaraan
darat dari Jakarta ke arah Cirebon atau sebaliknya, di sepanjang jalur
pantura itu akan tampak hamparan sawah nan luas. Sehabis panen, jerami
padi itu dibakar sia-sia. Energi dari matahari yang sudah dengan susah
payah dikumpulkan tanaman dan disimpan dalam jerami, disia-siakan hingga
menjadi api dan abu. Padahal dari satu hektar sawah, minimal dihasilkan
10 ton jerami padi. Kalau jerami ini dicacah dan dikomposkan, minimal
akan menjadi 5 ton kompos siap pakai. Biaya pengomposannya Rp 90,- per
kg atau Rp 450.000,- untuk volume 5 ton. Meskipun petani harus
mengeluarkan biaya Rp 450.000,- dia bisa menghemat pupuk urea dari 3 kw
menjadi cukup 1 kw. Penghematan yang bisa didapatnya Rp 200.000,-
Peningkatan hasil yang diharapkan bisa mencapai 1 ton gabah dengan nilai
Rp 1.000,- per kg atau Rp 1.000.000,- Jadi kalau dihitung-hitung, meski
tiap hektarnya petani keluar biaya tambahan Rp 450.000,- dia akan
memperoleh keuntungan Rp 750.000,- per hektar per musim tanam.
Akan
lebih menguntungkan lagi kalau 10 ton jerami segar itu digunakan untuk
pakan sapi. Dengan jatah selulosa 40 kg per hari, tiap hektar sawah
dengan hasil 10 ton jerami, akan bisa mencukupi kebutuhan pakan untuk 2
ekor sapi dewasa sampai panen berikutnya. Hasilnya, petani akan
mendapatkan 2 ton pupuk kandang yang mutunya lebih bagus dari kompos,
dengan nilai Rp 200.000,- Selain itu petani juga akan mendapatkan
tambahan dari nilai jual sapi. Dengan pertambahan berat badan 0,5 kg per
hari, selama 100 hari pemeliharan akan diperoleh tambahan berat badan
50 kg. Dengan harga Rp 10.000 per kg, maka nilai tambah yang diperoleh
petani adalah Rp 1.000.000,- untuk dua ekor sapi yang dipeliharanya.
Nilai investasi dua ekor sapi bakalan tersebut Rp 6.000.000,- Tetapi
budaya ternak sapi tidak bisa kita jumpai di Pantura. Yang punya budaya
ternak sapi justru masyarakat Gunung Kidul dan Wonogiri yang kawasannya
kering kerontang tidak ada jerami padi. Di sana, masyarakat telah
terbiasa memanfaatkan selulosa apa pun sebagai pakan sapi.
Pemanfaatan
seluruh jerami yang ada untuk pakan sapi, juga dimungkinkan. Hanya
saja akan diperlukan investasi bibit sapi bakalan dengan nilai lebih
dari duakali lipat investasi untuk industri kompos. Satu unit
pengomposan dengan kapasitas 5.000 ton per tahun, tiap musim panen akan
menyerap jerami segar 3.200 ton. Kalau keperluan pakan per ekor sapi per
hari 40 kg, maka jerami tersebut akan bisa dimanfaatkan sebagai pakan
bagi 80 ekor sapi. Kalau harga seekor sapi bakalan Rp 3.000.000,- maka
diperlukan investasi bibit sapi bakalan Rp 280.000.000,- Belum investasi
untuk kandangnya. Kalau kita membangun satu unit industri kompos,
investasinya hanya sekitar Rp 100.000.000,- Namun keuntungan kotor dari
sapi tadi akan mencapai Rp 500.000,- kali 80 atau Rp 40.000.000,- per
musim panen. Masih ditambah pupuk kandang sebanyak 160 ton dengan nilai
Rp 16.000.000,- Sementara kalau industri kompos dengan nilai investasi
Rp 100.000.000,- pendapatan kotornya 1.600 ton X Rp 100.000,- = Rp
160.000.000,-.
Mungkin kita memang harus memilih, apakah akan
mendirikan pabrik kompos dengan teknologi modern dengan investasi Rp
100.000.000,- atau akan investasi sekitar 80 ekor sapi dengan nilai
sekitar 280.000.000,- Investasi sapi memang lebih ideal sebab kualitas
pupuk kandang, lebih-lebih kalau urinenya ditampung, jauh lebih bagus
dibanding kompos yang dibuat secara mekanis. Namum apa pun yang akan
dilakukan, industri kompos merupakan keharusan untuk memperbaiki
struktur tanah di negeri ini yang sudah sangat menurun kualitasnya.
Peluang ini idealnya tidak lagi menjadi "proyek nasional" melainkan
cukup dikerjakan oleh masing-masing pemda kabupaten. Kabupaten-kabupaten
di Pantura bisa menjadi perintisnya. Mulai dari Karawang, Purwakarta,
Subang, Indramayu sampai ke Majalengka, Cirebon, Kuningan dan terus ke
Jateng/Jatim. Yang jelas nilai tambah yang akan didapat dari kompos
tidaklah kecil. Bukan sekadar dari nilai kompos itu sendiri, melainkan
terutama dari peningkatan kuantitas dan juga kualitas padi yang diberi
pupuk kompos. (FR) + + +
Sistem mekanis pengomposan adalah pengolahan mekanis dalam tabung komposter dan dapat memperoleh kompos setiap hari dan tidak butuh lahan yang luas (100-150 m2). Mesin ini berkapasitas 2-3 ton/hari dapat mengolah sampah organik sebanyak 8-10 m3 perhari, kapasitas sedang dan kecil juga dapat dilayani dengan dibawah 1 ton/hari sampai 100 kg/hari. Kami tawarkan kerjasama [engelolaan atau dengan sistem beli putus bila tertarik, hub kami 081384588749 atau WA: 081218234570
Entri Populer
-
Feldspar dengan bahan kimia: Aluminium Silikat dengan rumus kimia kompleks (Na, K, Ca) AlSi3Og; SiO2 dengan kandungan 90-94% feldspar dan 6...
-
BEKASI (Pos Kota) – Warga Kota Bekasi, Jawa Barat siap-siap daerahnya menjadi lautan sampah selama setahun ke depan. Ini bakal terjadi apabi...
-
Di dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah, dikenal istila...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar