Semua orang mahfum bahwa mengelola sampah perkotaan dengan volume ribuan meter kubik perhari dan karakteristiknya yang beragam bukanlah hal yang mudah. Terbukti sampai saat ini, berbagai masalah yang diakibatkan oleh sampah susul-menyusul tiada henti, seperti kasus tempat pembuangan akhir sampah (TPA) yang terbakar, pencemaran bau dan lindi, kasus TPST Bojong, dan bencana sampah longsor di TPA Leuwigajah, Bandung.
Salah satu dari penyebab munculnya masalah-masalah tersebut di berbagai kota metropolitan atau kota-kota besar di Indonesia adalah karena strategi pengolahan dan pembuangan sampah yang aman terhadap lingkungan belum dilaksanakan secara terintegrasi, dimana saat ini sampah umumnya hanya dikumpulkan di tempat penampungan sampah sementara, kemudian diangkut dengan truk, dan dibuang di TPA ala kadarnya.
Berbicara tentang strategi pengelolaan sampah kota metropolitan, sebagai pembanding, ada baiknya kita intip strategi negara jiran terdekat kita yakni Singapura dalam menakhlukkan sampah hingga negeri itu berhasil mendudukkan dirinya sebagai salah satu kota yang hijau dan terbersih di dunia cocok dengan semboyannya: Singapore, clean and green!
Menurut data dari Kementrian Lingkungan Hidup Singapura, Singapura, negeri dengan wilayah daratan seluas DKI Jakarta atau sekitar 650 km2 dan berpenduduk lebih dari 4,6 juta jiwa, menghasilkan sampah sekitar 7600 ton perharinya. Untuk menangani sampah sebanyak itu, yang notabene 1000 ton lebih banyak dari produksi sampah Jakarta, Pemerintah Singapura memilih strategi pengelolaan sampah berupa penerapan teknologi insinerator yang dapat mengubah sampah menjadi energi listrik (waste to energy) dan pembangunan TPA sanitary landfill di lepas pantai.
Pemilihan teknologi insinerasi didasarkan karena teknologi tersebut mampu mereduksi volume sampah harian hingga 90 persen sehingga masa pakai TPA menjadi semakin panjang. Umur TPA menjadi sangat penting di sana karena sebagai kota metropolitan dan industri, Singapura tidak lagi menyisakan daratannya untuk usaha non-produktif seperti TPA sehingga pembangunan TPA-nyapun mau tidak mau memanfaatkan wilayah lepas pantai dengan persyaratan teknis yang sangat ketat. Selain karena keterbatasan lahan, pemilihan teknologi tersebut, yang cukup mahal, rumit, dan hightech, juga didasarkan pada sudah matangnya kesiapan finansial, perangkat hukum, institusi pengelola, dan sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah.
Dengan strategi tersebut, sistem pengelolaan sampah di Singapura jelas tidak sekedar menerapkan prinsip kumpul, angkut, dan buang seperti yang banyak dipraktekkan di kota-kota besar di Indonesia, tetapi prinsipnya adalah sampah dikumpulkan, kemudian dipadatkan (di transfer station) untuk kemudian diangkut dan dibakar (di insinerator), dan terakhir dibuang (di sanitary landfill di lepas pantai).
Sebelum bulan April 1999, tempat pembuangan sampah Singapura sebenarnya terletak di TPA Lorong Halus yang letaknya di kawasan pantai berawa bagian timur laut Singapura. Namun karena TPA tersebut sudah penuh dan tidak tersisa lagi daratan Singapura untuk TPA, maka dibuatlah TPA sanitary landfill lepas pantai di selatan Singapura yang sekarang dikenal sebagai TPA Semakau.
Salah satu dari penyebab munculnya masalah-masalah tersebut di berbagai kota metropolitan atau kota-kota besar di Indonesia adalah karena strategi pengolahan dan pembuangan sampah yang aman terhadap lingkungan belum dilaksanakan secara terintegrasi, dimana saat ini sampah umumnya hanya dikumpulkan di tempat penampungan sampah sementara, kemudian diangkut dengan truk, dan dibuang di TPA ala kadarnya.
Berbicara tentang strategi pengelolaan sampah kota metropolitan, sebagai pembanding, ada baiknya kita intip strategi negara jiran terdekat kita yakni Singapura dalam menakhlukkan sampah hingga negeri itu berhasil mendudukkan dirinya sebagai salah satu kota yang hijau dan terbersih di dunia cocok dengan semboyannya: Singapore, clean and green!
Menurut data dari Kementrian Lingkungan Hidup Singapura, Singapura, negeri dengan wilayah daratan seluas DKI Jakarta atau sekitar 650 km2 dan berpenduduk lebih dari 4,6 juta jiwa, menghasilkan sampah sekitar 7600 ton perharinya. Untuk menangani sampah sebanyak itu, yang notabene 1000 ton lebih banyak dari produksi sampah Jakarta, Pemerintah Singapura memilih strategi pengelolaan sampah berupa penerapan teknologi insinerator yang dapat mengubah sampah menjadi energi listrik (waste to energy) dan pembangunan TPA sanitary landfill di lepas pantai.
Pemilihan teknologi insinerasi didasarkan karena teknologi tersebut mampu mereduksi volume sampah harian hingga 90 persen sehingga masa pakai TPA menjadi semakin panjang. Umur TPA menjadi sangat penting di sana karena sebagai kota metropolitan dan industri, Singapura tidak lagi menyisakan daratannya untuk usaha non-produktif seperti TPA sehingga pembangunan TPA-nyapun mau tidak mau memanfaatkan wilayah lepas pantai dengan persyaratan teknis yang sangat ketat. Selain karena keterbatasan lahan, pemilihan teknologi tersebut, yang cukup mahal, rumit, dan hightech, juga didasarkan pada sudah matangnya kesiapan finansial, perangkat hukum, institusi pengelola, dan sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah.
Dengan strategi tersebut, sistem pengelolaan sampah di Singapura jelas tidak sekedar menerapkan prinsip kumpul, angkut, dan buang seperti yang banyak dipraktekkan di kota-kota besar di Indonesia, tetapi prinsipnya adalah sampah dikumpulkan, kemudian dipadatkan (di transfer station) untuk kemudian diangkut dan dibakar (di insinerator), dan terakhir dibuang (di sanitary landfill di lepas pantai).
Sebelum bulan April 1999, tempat pembuangan sampah Singapura sebenarnya terletak di TPA Lorong Halus yang letaknya di kawasan pantai berawa bagian timur laut Singapura. Namun karena TPA tersebut sudah penuh dan tidak tersisa lagi daratan Singapura untuk TPA, maka dibuatlah TPA sanitary landfill lepas pantai di selatan Singapura yang sekarang dikenal sebagai TPA Semakau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar