Sistem mekanis pengomposan adalah pengolahan mekanis dalam tabung komposter dan dapat memperoleh kompos setiap hari dan tidak butuh lahan yang luas (100-150 m2). Mesin ini berkapasitas 2-3 ton/hari dapat mengolah sampah organik sebanyak 8-10 m3 perhari, kapasitas sedang dan kecil juga dapat dilayani dengan dibawah 1 ton/hari sampai 100 kg/hari. Kami tawarkan kerjasama [engelolaan atau dengan sistem beli putus bila tertarik, hub kami 081384588749 atau WA: 081218234570
Entri Populer
-
Menurut UU-18/2008 tentang Pengelolaan Sampah , terdapat 2 kelompok utama pengelolaan sampah, yaitu: Pengurangan sampah (waste minimizatio...
-
JAKARTA (Suara Karya): Mengelola sampah warga DKI Jakarta saja sudah kewalahan, tetapi anehnya Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Banta...
-
MENTERI Pertanian Suswono mengatakan, dengan kebijakan tersebut, diharapkan, penggunaan pupuk anorganik atau kimia oleh petani yang saat in...
-
GAMBIR (Pos Kota) – Pemprov DKI Jakarta mengajak Pemkot Tangerang dan Pemkot Tangsel bekerjasama mengolah sampah di tempat Pembuangan ...
-
Kebun Karinda 12 Desember 2010, pukul 9 pagi datang barisan sepeda motor dikendarai 40 karyawan “gardener” dari Mulia Group Property. Mereka...
-
Defenisi Kompos H asil penguraian dari campuran bahan-bahan organik oleh berbagai macam mikroba dengan kondisi lingkungan (temperatur ,...
-
FRANS AGUNG Sapi dimanfatkan betul kotorannya untuk pembuatan kompos organik, di daerah Desa Giri Mekar Kecamatan Cilengkrang, Bandung Jabar...
-
Tim peneliti dari University of Georgia berhasil mengembangkan cara baru memanfaatkan karbon dioksida di atmosfer dan mengubahnya me...
-
BUKU PANDUAN PROSEDUR PEMASANGAN, PENGOPERASIAN DAN PEMELIHARAAN MESIN KOMPOSTER RC-200 . ...
-
JAKARTA (KOMPAS) - Ribuan ton limbah plastik menggunung di Tempat Pembuangan Akhir Kota Madiun, Jawa Timur. Di tangan Tri Handoko, limbah p...
Jumat, 06 Mei 2011
Hijau Itu Indah OPINI | 06 May 2011-by Ridha Fitria
Dan jika pohon-pohon terus lenyap dari hutan Indonesia, maka tidak mustahil negeri ini mengalami kesengsaraan sebagaimana Nigeria yang berarti “satu sungai besar di antara banyak sungai besar” pada tahun 1985 lebih dari separo wilayahnya ( 1.266.991 km persegi ) telah berubah menjadi gurun tandus. Dalam bukunya Totto-chan’s Children, Tetsuko Kuroyanagi menulis: Aku membaca di sebuah buku bahwa panjang sungai Nigeria adalah 4.179 km - sungai ketiga terpanjang di Afrika. Lebarnya 0,8 km. Karena kekeringan berkepanjangan, 97,5 persen sumber air Nigeria yang sangat besar kini kering sama sekali. Sekarang hanya 2,5 persen sumber air yang tersisa.
Di buku yang sama, percakapan antara gubernur Zinder - kota terbesar kedua di Nigeria - dengan Totto-chan dewasa yang menjadi duta kemanusiaan Unicef sejak tahun 1984, menjelaskan pada kita betapa buruknya kondisi suatu negara ketika pohon-pohon mulai menghilang. Ketiba tiba di Tanout - rumah makanan berlimpah - tadinya, sebelum wilayah tersebut disentuh sahara, Sang Gubernur berkata: “Miss Kuroyanagi, bisakah anda percaya bahwa empat tahun lalu di sini ada anak-anak dan rumah-rumah? Ada ladang di sini. Inilah yang terjadi jika hujan tidak turun.”
Dan kenapa hujan tidak bisa turun? Karena tidak cukup pohon. Pohon-pohon ditebangi secara menggila, lalu terjadilah kekeringan. Hutan berubah menjadi padang ilalang, dan saat iklim meningkat terlalu panas, padang ilalang berubah menjadi sahara. Dan sahara mirip penyakit menular, ia menjalar, menjamah wilayah-wilayah yang tadinya teduh dan tumbuhan berkembang biak dengan baik. Dan tanpa pohon tidak mungkin ada hujan.
Hujan turun ke atas pohon dan rumput, tulis Totto-chan dewasa di halaman 63. Diserap oleh tanah, menguap, dan akhirnya menjadi awan. Kemudian turun lagi sebagai hujan. Dan karena yang terjadi di Nigeria pada tahun 1985 adalah kekeringan parah setelah menghilangnya pohon-pohon, telah berhasil membunuh ribuan manusia dan ternak karena udara panas dan kelaparan. Sebuah ironi karena ulah manusia sendiri.
Dan Indonesia, bencana alam jenis apa yang tidak kita alami semenjak pohon-pohon dijarah penuh kerakusan dari hutan-hutan lindung? Di tempat saya, sebuah danau bernama Ranu Klakah yang menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar hanya tersisa 3 atau 4 mata air dari puluhan sumbernya di masa lalu. Dan tak butuh waktu lama untuk menunjukkan debit airnya yang menurun drastis. Dampak sosialnya jelas terasa, termasuk perseteruan masyarakat dengan PDAM yang akan merampas mata air yang tersisa untuk dialirkan ke desa-desa lain yang kekurangan air. Hampir saja ulah perusahaan air ini memecah belah persatuan antar masyarakat desa. Modus lama sebenarnya. Sementara, tatkala masyarakat adat di sekitar Ranu Klakah berusaha mengembalikan mata air yang mati dengan menanam pohon kembali, perusahaan jenis x atau siapapun yang harusnya bertanggung jawab, tidak mau ikut bersusah payah.
So, tatkala negara tidak hadir untuk melindungi rakyatnya dari masalah ‘hilangnya pohon-pohon’ yang berdampak sosial dan lingkungan. Dalam kasus kami di Ranu Lemongan ( gunung dan danau-danau ) maka mau tak mau kami harus membuat gerakan menanam kembali. Bersama masyarakat pinggir hutan yang penuh semangat. Sehingga dari enam ribu hektar lahan hutan yang kritis itu sampai hari ini sudah berhasil ditanami seluas empat ratus hektar. Bersyukur pada Tuhan Yang Maha Penyayang karena kami melakukan aktivitas konservasi ini secara mandiri, yang pada waktu memulainya dipenuhi cemoohan orang-orang maupun kelompok-kelompok sok tahu dan berkuasa namun menolak berbuat nyata. Hikmah dari perjuangan ini, bahwa tak ada gunanya memiliki harta berlimpah dan jabatan bergaji besar jika tak berkontribusi dalam kehidupan sehingga kelak dikenang anak cucunya dengan bangga.
Berbuat hal kecil namun bermanfaat dan terus menerus adalah awal bagi sebuah pergerakan yang menyatukan energi di seluas bumi, sejauh kakimu melangkah. Maka mengembaralah…..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar