Universitas California, Berkeley, ahli kimia telah menemukan bukti bahwa peningkatan penggunaan pupuk lebih dari 50 tahun yang lalu bertanggung jawab terhadap kenaikan signifikan kandungan nitro oksida di atmosfer, yang merupakan gas utama yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Ilmuwan iklim telah berasumsi bahwa
penyebab peningkatan nitro oksida adalah nitrogen yang terkandung dalam
pupuk, yang menstimulasi mikroba di tanah untuk mengkonversi nitrogen ke
nitro oksida lebih cepat dari biasanya.
Penelitian terbaru dilaporkan pada isu April dalam Journal Nature Geo-science,
menggunakan data isotop nitrogen untuk mengidentifikasi sidik jari yang
jelas mengenai penggunaan pupuk dalam contoh udara dari Antartika dan
Tasmania.
“Penelitian ini merupakan yang pertama
yang menunjukkan secara empiris dari data yang ada bahwa rasio isotop
nitrogen di atmosfer dan bagaimana hal tersebut sudah berubah dari
waktu-waktu merupakan sidik jari penggunaan pupuk,” kata ketua penilitian Kristie Boering, Profesor Chemistry and of Earth and Planetary Science di Universitas Kalifornia Berkeley.
Menurutnya, hal tersebut bukan
menjelek-jelekkan pupuk. Manusia tidak akan bisa menghentikan penggunaan
pupuk. Namun, pihaknya berharap penelitian ini akan berkontribusi dalam
perubahan penggunaan pupuk dan praktik pertanian yang akan membantu
memitigasi pelepasan nitro oksida ke atmosfer.
Sejak tahun 1750, tingkat nitro oksida
di udara telah meningkat hingga 20%, dari di bawah 270 ppb menjadi lebih
dari 320 ppb. Setelah karbon dioksida, metana, nitro oksida (N2O)
merupakan potensi gas rumah kaca (GRK), menjebak panas, dan
berkontribusi terhadap pemanasan global. Hal tersebut juga merusak ozon
stratosfer, yang menjaga planet dari sinar ultraviolet yang berbahaya.
Mencari tahu asal nitro oksida di
atmofermer lebih sulit karena molekul dari lahan pertanian sepertinya
sangat identik dari satu yang berasal dari hutan alam atau samudra jika
mengukur konsentrasi total. Namun, perlakuan metabolisme mikroba
mempengaruhi rasio isotop nitrogen mikroba N2O menghasilkan tanda sidik jari yang dapat dideteksi dengen tehnik sensitif.
Sidik jari sumber nitrogen dapat dilacak
karena bakteri dalam lingkungan yang kaya akan nitrogen, seperti lahan
yang telah dipupuk lebih memilih menggunakan nitrogen-14 (14N), isotop yang paling umum dibanding nitrogen-15 (15N).
Mikroba mampu mendiskrimisasikan nitrogen-15, sehingga sidik jari sumber N2O dari lahan yang telah dipupuk lebih besar proporsinya untuk nitrogen-14.
Dengan mengukur rasio isotop nitrogen
keseluruhan, rasio isotop pada atom pusat nitrogen, dan membandingkan
atom pusat nitrogen dengan rasio isotop oksigen-18/oksigen-16, yang
tidak berubah lebih dari 65 tahun, hal tersebut mampu menggambarkan
gambar arahan yang konsisten pada pupuk dalam sumber utama peningkatan
kandungan N2O di atmosfer.
Rasio-rasio isotop tersebut juga
menunjukkan bahwa penggunaan pupuk telah menyebabkan perubahan jalan
mikroba tanah menghasilkan N2O. Output relatif bakteri penghasil N2O adalah peningkatan nitrifikasi dari 13 ke 23 di seluruh dunia, sementara output relatif bakteri yang menghasilkan N2O dengan denitrifikasi (biasanya tanpa ada oksigen) turun menjadi 87 ke 77%.
Membatasi emisi nitro oksida dapat
menjadi langkah utama mengurangi semua gas rumah kaca dan mengurangi
pemanasan global. Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah waktu
penggunaan pupuk tidak pada saat hujan, karena tanah yang basah,
mikroba dapat menghasilkan nitro oksida yang cukup banyak secara
tiba-tiba. Perubahan pada lahan yang digarap misalnya, penggunaan pupuk
pada lahan dapat mengurangi produksi nitro oksida.
Penelitian yang melibatkan analisa sidik
jari isotop nitro oksida dari beberapa sumber, dapat membantu para
petani menentukan strategi yang paling efektif. Hal tersebut juga
membantu potensi pengaruh negatif pertumbuhan produk pertanian untuk biofuel, karena beberapa bahan baku membutuhkan pupuk yang menghasilkan N2O.
Penelitian ini menunjukan pada kita agar
kita bisa memprediksi lebih baik perubahannya, serta efeknya terhadap
iklim dan penipisan lapisan stratosfer.
Sumber: sciencedaily.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar