Entri Populer

Rabu, 12 Desember 2012

USULAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH BARU DI DKI JAKARTA Oleh : Victor Simatupang



1. PENDAHULUAN
Pengolahan sampah di DKI saat ini masih memakai sistem/pola lama, dimana sampah dari sumber sampah seperti perumahan, pasar, pusat perdagangan, perkantoran, dll masih diangkut ke TPS atau trans depo lalu secara berkala dibuang ke TPA-Bantar Gebang Bekasi. Kenapa disebut sistem lama, karena pola-pola ini adalah pola konvensional, dimana akhir dari semua sampah kota seluruhnya diangkut ke pembuangan akhir untuk di tebar urug (sanitary landfill).
Mengacu pada UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan mengisyaratkan adanya perubahan pola pengelolaan sampah, yang tadinya TPA adalah pusat pengolahan sampah kota dirubah menjadi TPA hanya bagian/ porsi kecil yang untuk pengolahannya. Sementara sumber-sumber sampah diwajibkan meiliki pengolahan secara terintegrasi dengan TPS atau transfer depo; adapun sampah yang tidak dapat di daur ulang sesuai dengan konsep 3R dan memiliki nilai ekonomis yang rendah adalah yang di olah di TPA.
Sebagai perbandingan gambaran perubahan pola pengelolaan sampah dapat dilihat pada gambar piramida berikut ini.


 



POLA PENGELOLAAN PERSAMPAHAN LAMA (PIRAMIDA TEGAK)
POLA PENGELOLAAN PERSAMPAHAN BARU (PIRAMIDA TERBALIK)

Dari kedua gambar diatas jelas terlihat adanya perubahan secara nyata bahwa yang diharapkan oleh UU No. 18 tahun 2008  adalah lakukan pengelolaan di hulu (sumber sampah, TPS dan Trans Depo).
Selama 3 tahun kebelakang memang ada upaya Dinas KebersihanDKI  melakukan terobosan dengan bekerja sama dengan swasta untuk mengolah sampah di 3 wilayah yaitu Cakung, Marunda dan Sunter. Ketiga lahan tersebut adalah ex trans depo DKI, 2 (Marunda dan Cilincing) telah beroperasi dan 1 lagi gagal ditenderkan karena faktor teknis. Diharapkan dengan beroperasinya ketiga ITF  ini, timbulan sampah DKI sebesar 6.500 ton/hari akan berkurang menjadi 3.000 ton/hari.
Namun, dibalik pembangunan ketiga ITF (Integrated Treatment Facility) Pemda DKI harus mengeluarkan tipping fee sebesar 3.000 x RP. 400.000 = Rp 1.200.000.000 per hari, dan setara dengan  Rp. 36 M  per bulan dan dalam setahun sebesar  432 M  angka yang sangat fantastic. 
Dan yang lebih fantastic lagi, bahwa pengelolaan dilakukan oleh investor selama 30 tahun, artinya selama 30 tahun swasta yang akan menikmati uang tipping feenya. Setelah itu fasilitas akan dikembalikan ke PEMDA DKI, dalam kondisi ???
Terlepas dari hal ini semua, sebenarnya bila kembali ke pola yang diminta oleh UU No. 18 di atas, pengelolaan sampah dengan mengikut sertakan masyarakat di garis terdepan akan lebih memberikan banyak manfaat bagi Pemda DKI,  juga bagi warga/swasta dan aparat pemda di tingkat RT, RW dan kelurahan. Hal ini akan meningkatkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab bersama untuk mengatasi problem sampah dilingkungannya masing-masing.


2. PENGELOLAAN SAMPAH DI KECAMATAN /KELURAHAN
Sesuai dengan amanat dari UU no. 18 tahun 2008, pengelolaan sebaiknya dilakukan di sumbernya, yaitu di tingkat RT/RW atau Kelurahan/Kecamatan atau bisa dimulai bdi sekitar lingkungan pasar . Pertanyaannya adalah, bagaimana sitem atau teknologi yang diterapkan, butuh luas berapa dan tenaga kerja berapa banyak?
Teknologi yang akan diterapkan sangat simple didasarkan pada alam, yaitu menggunakan bakteri yang ada di alam serta bantuan tenaga mesin mekanis sebagai alat bantunya.  Sistem ini dapat dirakit di fabricator local dan mesin-mesin penggerak dapat ditemui di pasaran local. Lahan yang dibutuhkan adalah 150-200 m2 dalam satu bangunan dan tenaga kerja tidak banyak cukup 5-7 orang.

Adapun sistem pengolahan sampah yang akan diusulakan adalah sebagai berikut:


 


GBR:   USULAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH CAMPURAN DI KECAMATAN/KELURAHAN

Sistem seperti gambar di atas dapat mengolah 40-50 m3 sampah per harinya yang dapat menghasilkan 10 Ton/hari kompos granular. Bila ada 50 kecamatan yang ada di DKI dan setiap kecamatan dipasang 1 unit alat sejenis dan di pasar sebanyak 20 pasar maka jumlah sampah yang dapat diolah adalah :
70 x 50 m3/hari = 3.500 m3/4 = 875 Ton/hari.
Untuk mencapai pengolahan sampai tuntas dibutuhkan 4 unit di setiap kecamatan, sehingga hasil pengolahannya adalah sebagai berikut:
4 x 70 x 50 m3/hari =14.000 m3/hari/ 4 = 3.500 Ton/hari.
Dengan demikian jumlah yang sampah campuran yang diolah adalah sebagai berikut :
1. ITF 3 unit @ 1250 ton/hari                        = 3 x 1.250 Ton/hari = 3.750 Ton/hari;
2. Pengolahan di kecamatan/kelurahan  /Pasar                          = 3.500 Ton/hari
                                TOTAL PENGOLAHAN                                             = 7.250 Ton/hari.

3. PERBANDINGAN SISTEM BARU VERSUS LAMA DAN BIAYA PENGELUARAN
Untuk mengetahui perbandingan sistem yang ada saat ini dan pengelolaan sampah di hulu dapat digambarkan pada tabel berikut ini.

NO
ITEM PEMBANDING
SISTEM SAAT INI

SISTEM BARU
1
Pengolahan di Sumber
Relatif hanya pengumpulan
Pengolahan di sumber 90%
2
Alat transportasi
Hampir 2.000 rit per hari
Hanya 15-20% = 300-400 rit
3
Ketersediaan lahan TPS/Trans depo
Perlu untuk tempat pengumpulan sementara
Perlu tambahan lahan untuk pengolahan dan gudang produk
4
Kontribusi kemacetan
Sangat tinggi
Berkurang drastis
5
Biaya Pengelolaan
a. Biaya investasi, ngak ada
b. Biaya transportasi 2.000 rit
c. Tipping fee di TPA @ Rp. 150.000 = Rp. 300.000.000/hari
d. Tipping fee  3 ITF @ RP. 400.000/hari = 3.750x400.000 =Rp 1,5  M per hari
Total biaya per hari =Rp. 1,8 M

Total Biaya 1 tahun =657 M
a. Biaya investasi /tahun  Rp 315 M.
b. Biaya transportasi 300-400 rit
c. Tipping fee di TPA @Rp.150.000/hari  =400 x 150.000 = Rp. 60.000.000
Total biaya per hari =Rp. 60 Juta
Total biaya 1 tahun = 337 M

4. BIAYA KONSTRUKSI SISTEM BARU
Biaya yang dibutuhkan untuk melengkapi sistem ini antara lain adalah sebagai berikut :
a. Biaya bangunan 200 m2                                                                                            = Rp.      500.000.000,-
b. Biaya fabrikasi, pengadaan  dan pemasangan mesin2                                 = Rp.  4.000.000.000,-
TOTAL BIAYA 1 UNIT                                                                                                       = Rp. 4.500.000.000,-
Pengadaan untuk 1 tahun anggaran 70 unit = 70 x 4,5 M                                 = Rp.315.000.000.000,-

5. REKOMENDASI
Untuk mengetahui secara factual kondisi pengelolaan persampahan di seluruh wilayah DKI Jakarta, perlu dilakukan satu kajian ulang yang meliputi antara lain:
a. Sistem cakupan pelayanan di seluruh wilayah 5 walikota dan kabupaten Pulau Seribu;
b. Mengetahui secara detil kendala-kendala penyapuan jalan, pengumpulan dan moda angkutan dari setiap wilayah yang ada di DKI Jakarta;
c. Memetakan sistem pengolahan sampah di 2 wilayah lokasi ITF dan lokasi Sunter yang akan diusulkan menjadi ITF;
d. Memetakan sistem pengelolaan persampahan pada 29 kelurahan yang dikelola oleh Swastanisasi;
e. Memetakan sistem pengangkutan sampah dari lokasi pasar yang ada di DKI Jakarta.
f. Memetakan kemungkinan TPS/Trans depo  di setiap kelurahan/kecamatan di wilayah DKI Jakarta untuk digunakan sebagai tempat pengolahan sampah.

Bagi teman atau relasi yang berbagi silahkan hubungi : victory_stp@yahoo.com
Atau kunjungi website kami di: www.vessel-komposter.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar