Entri Populer

Minggu, 11 Desember 2011

DKI Siapkan Perda Persampahan, Buang Sampah Sembarangan Didenda Rp 2 Juta Oleh Bani Saksono | Jumat, 11 November 2011 | 8:09

JAKARTA – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sedang menyiapkan peraturan daerah (perda) tentang persampahan untuk menumbuhkan efek jera bagi warga yang suka membuang sampah sembarangan. Sebab, sanksinya cukup berat, denda Rp 2 juta dan atau kurungan enam hari. Saat ini, draf rancangan perda tersebut sudah selesai dan akan diajukan ke Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI pada masa persidangan 2012. Sanksi denda Rp 2 juta atau kurungan maksimal 60 hari akan diberlakukan bagi warga yang membuang sampah sembarangan di jalan, sungai, jalur hijau, atau di sarana umum lainnya. “Draft raperdanya sudah ada dan akan kita ajukan pada tahun depan. Isi raperda tersebut lebih difokuskan masyarakat dan pengembang harus diberdayakan dalam pengolahan sampah dalam kota dan penggunaan plastik daur ulang,” tutur Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna di Jakarta, Kamis (10/11). Dia menjelaskan, selama ini Pemprov DKI belum memiliki perda tentang pengolahan sampah secara khusus. Masalah sampah secara umum diatur dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. “Dalam perda ini, aturan soal sampah di DKI Jakarta diatur secara umum saja, tidak secara khusus,” kata Eko.

DKI Berikan Insentif dan Disinsentif Pengelolaan Sampah

Jum'at, 18/11/2011, 08:41 WIB Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah di kawasan pemukiman, Pemprov DKI Jakarta akan memberikan insentif dan disinsentif dalam pengelolaan sampah. Rencananya, hal itu akan diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengelolaan Sampah. Pemberian insentif dan disinsentif diberikan untuk meningkatkan upaya pengendalian sampah melalui pengolahan sampah. Lalu, memfasilitasi kegiatan pengolahan sampah yang dilakukan masyarakat dan meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan. Nantinya, insentif dan pengenaan disinsentif akan diberikan Gubernur DKI kepada masyarakat baik perorangan atau lembaga. “Nanti ada insentif dan disinsentif. Masyarakat yang mengolah sampahnya dengan baik akan diberi insentif oleh Pemprov DKI. Bentuk insentifnya belum tahu seperti apa, kami sedang rumuskan dalam Raperda. Apakah itu berbentuk fiskal dari anggaran pemerintah atau dari CSR produsen produk,” ujat Eko Bharuna, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, usai kegiatan Konsultasi Publik Penyusunan Raperda Tentang Pengelolaan Sampah di Jakarta, Kamis (17/11). Insentif yang akan diatur dalam Raperda Pengelolaan Sampah, dikatakan Eko, berupa insentif fiskal dan non fiskal. Insentif fiskal dapat berupa keringanan pajak daerah atau pengurangan retribusi. Sedangkan insentif non fiskal bisa berupa pemberian kompensasi subsidi silang, kemudahan perizinan, imbalan, penghargaan, publikasi atau promosi. “Raperda juga mengatur, insentif dapat juga diberikan kepada pemerintah daerah lain berupa pemberian kompensasi, publikasi atau promosi daerah. Pemberian insentif itu harus sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kesepakatan bersama antar pemerintah daerah yang bersangkutan,” katanya. Sementara itu, disinsentif yang diatur dalam raperda, lanjutnya, akan diarahkan pada kegiatan pengelolaan sampah yang berdampak negatif pada lingkungan atau tidak sesuai dengan persyaratan teknis yang ditetapkan. Disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Ada dua jenis disinsentif yang akan diberikan yaitu fiskal dan non fiskal. Untuk fiskal berupa pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah yang tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lalu non fiskal berupa kewajiban memberikan kompensasi, persyaratan khusus dalam perizinan, kewajiban memberi imbalan atau pembatasan penyediaan prasarana dan sarana,” kata Eko. Selain dikenakan disinsentif, Raperda tentang Pengelolaan Sampah yang merupakan turunan dari UU No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah juga diatur sanksi dan denda administratif bagi warga yang tidak mengelola sampah dan menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan. Sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, penutupan lokasi, pencabutan izin dan denda administrasi. Sedangkan denda administrasi diberikan kepada setiap orang yang sengaja dan terbukti membuang sampah, membakar sampah, dan mengais sampah di sembarang tempat. Besaran denda mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 50 juta. “Besaran sanksi mulai dari Rp 2 juta hingga Rp 50 juta ditujukan untuk industri kecil hingga besar yang membuang sampah atau limbahnya sembarangan. Kami juga sedang mengusulkan dimasukkannya sanksi sosial kepada masyarakat yang membuang sampah sembarangan,” tuturnya. Sanksi sosial itu berupa menjadi tukang sapu sampah di jalan selama beberapa hari, sehingga pelanggar peraturan merasakan beratnya tugas penyapu jalan yang berjuang untuk membersihkan jalan dari sampah-sampah yang berserakan. Anggota Komisi D DPRD DKI, M Sanusi, mendukung pengolahan sampah yang dilakukan dalam pemukiman masyarakat. Namun, dikatakannya, langkah itu bisa berhasil, jika Dinas Kebersihan DKI melakukan pembinaan untuk memberikan pemahaman mengenai sampah yang memiliki nilai dan sangat berharga. “Caranya bikin binaan pengelolaan sampah. Kemudian Pemprov membeli hasil olahan sampah masyarakat sebagai bentuk insentif pemerintah kepada warganya,” katanya.(bj)

TPST Bantargebang Langgar Kontrak Pengelolaan Sampah Rabu, 7 Desember 2011

JAKARTA (Suara Karya): Mengelola sampah warga DKI Jakarta saja sudah kewalahan, tetapi anehnya Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, kini diduga telah menampung sampah dari masyarakat Kota Tangerang Selatan (Tamgsel) dan Kota Bogor. Tak pelak, pengelola TPST Bantargebang, yakni PT Godang Tua Jaya, telah melanggar surat perjanjian kontrak dengan Dinas Kebersihan DKI. Dalam surat perjanjian kontrak No. 5028/1.799.21 Tahun 2008 disebutkan, area seluas kurang lebih 110 hektare itu hanya diperbolehkan untuk menampung sampah dari DKI. Lemahnya pengawasan dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Regional Dinas Kebersihan DKI terhadap dugaan "kongkalikong" menyebabkan pelanggaran itu terjadi. Praktik itu tentu berdampak buruk terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Independen Pemantau Aset (Inpas) Boris Korius Malau, yang pertama kali menemukan adanya pelanggaran itu, mengatakan bahwa pelanggaran itu diduga melibatkan oknum pengelola TPST Bantargebang. Terkait pelanggaran kontrak kerja sama itu, ia mendesak Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo untuk menindak tegas aparatnya yang bermain curang dan berpotensi merugikan keuangan negara yang mencapai miliaran rupiah. "Itu kesalahan besar dan merupakan kelalaian Dinas Kebersihan DKI sebagai dinas teknis yang mengelola sampah di Jakarta," kata Boris, Selasa (6/12). Kepala Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman Pemerintah Kota Tangerang Selatan Nur Slamet mengakui bahwa Pemkot Tangsel telah melakukan kerja sama dengan pengelola TPST Bantargebang. Pengakuan itu adalah salah satu bukti bahwa sampah Pemkot Tangsel banyak yang dibuang ke TPST Bantargebang. Hal yang sama juga diakui Direktur Operasional PT GTJ, Linggom Lumban Toruan, bahwa TPST Bantargebang telah menampung sampah dari Pemkot Tangsel dan Pemkot Bogor. Menurutnya, hal itu dilakukan dengan alasan sosial. Tindakan penampungan sampah dari luar wilayah DKI merupakan potret buruknya pengelolaan sampah di DKI dan menimbulkan sejumlah permasalahan serius. Perlu diketahui, untuk setiap satu ton sampah yang masuk ke TPST Bantargebang, DKI harus membayar tipping fee Rp 105 ribu. Dengan demikian, kalau ada sampah dari luar DKI masuk ke tempat tersebut, maka DKI harus turut menanggung akibatnya, yaitu membayar tipping fee. Kepala UPT Regional Dinas Kebersihan DKI Jakarta Zainuri mengatakan, kasus masuknya sampah dari Tangerang Selatan dan Bogor di luar pengetahuan pihaknya. (Yon Parjiyono)

Pembangunan ITF Tak Akan Bebankan APBD DKI

INILAH.COM, Jakarta - Pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter, Jakarta Utara yang akan dilakukan Dinas Kebersihan DKI Jakarta, dipastikan tidak akan membebankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI 2012. Hal tersebut karena biaya pembangunan ITF Sunter akan ditanggung sepenuhnya oleh investor. Pengurus Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia DKI Jakarta, Mohammad Zulfikar, mengatakan pembangunan ITF dalam Kota Jakarta merupakan terobosan berani yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi persoalan sampah di Ibukota. "Sudah saatnya, Pemprov DKI, melalui Dinas Kebersihan DKI melakukan terobosan untuk melakukan lelang investasi dalam peningkatan program pembangunan kota Jakarta. Setidak-tidaknya beban anggaran dalam APBD DKI untuk pengelolaan sampah bisa dicicil selama puluhan tahun," kata Zulfikar, Jakarta, Selasa (6/12/2011). Langkah melakukan lelang investasi, lanjutnya, lebih efektif dan efisien daripada melakukan pinjaman ke luar negeri, karena pengembalian dana tidak akan menambah alokasi anggaran dalam APBD DKI. Selain itu, dalam lelang ini akan melibatkan investor yang merupakan gabungan perusahaan lokal dan asing, dapat menambah tenaga kerja serta menguntungkan warga Jakarta. Ia melanjutkan,proses pengumuman lelang dan persiapan lelang, sudah sesuai dengan aturan hukum tentang lelang. Yaitu Perpres No. 56 tahun 2011 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Tidak hanya itu, sudah ada surat persetujuan dari Ketua DPRD DKI Jakarta yang menyatakan persetujuan pelaksanaan lelang dilakukan terlebih dahulu, baru akan dibentuk panitia khusus (Pansus) ITF Sunter.[bay]

Walhi Minta DKI Rampungkan Intermediate Treatment Fasility

OKEZONE-JAKARTA - Pembangunan tiga tempat pengolahan sampah terpadu atau Intermediate Treatment Fasility (ITF) mendapatkan dukungan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan termasuk Wahana Lingkngan Hidup (WALHI). Direktur Eksekutif WALHI DKI Jakarta, Ubaidillah mengatakan, sudah saatnya pengolahan sampah di Jakarta tidak lagi dilimpahkan ke daerah penyangga yang ada di sekitarnya. "Bagaimanapun juga, Pemprov DKI harus mengurus persoalan sampahnya sendiri. Perhitungan kami, dari efisiensi dan efektifitas, pengolahan sampah dalam kota lebih baik daripada membangun di luar kota Jakarta," ujar Ubaidillah dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (7/12/2011). Menurut Ubaidillah, sistem yang ada dalam ITF menggunakan pendekatan 3 R (recycle, reduce dan reuse) tersebut dapat meminimalisir pencemaran dan mengganggu kesehatan masyarakat. Pasalnya, dengan teknologi tsrebut seluruh sampah bisa diurai hingga tidak tersisa atau zero to waste. "Teknologi ini juga digunakan sejumlah negara maju yang mempunyai persoalan sama dengan Jakarta. Dengan Teknologi ini masyarakat akan diuntungkan karena tidak ada lagi sampah yang tidak bisa diuraikan. KMita ingin dalam melakukan pengolahan sampah Pemprov juga memperhatikan kesehatan masyarakat," ungkapnya. Sedangkan dari konsep pembangunan ITF Sunter, Ubaidillah menilai, teknologi incenarator yang digunakan sudah lebih baik dan mendukung teknologi ramah lingkungan. Lebih baik dari teknologi yang digunakan di TPST Bantargebang yaitu open dumping dan sanitary landfill. Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Eko Bharuna membenarkan, pihaknya telah menerima surat dukungan dari WALHI terhadap pembangunan ITF Cakung Cilincing, ITF Sunter dan ITF Marunda. Pembangunan ITF Marunda, lanjutnya, dilaksanakan berdasarkan Pergub DKI Jakarta No.77/2009 tentang Penetapan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) di KEK Marunda, dan Keputusan Gubernur No.1851/2009 tentang Pembentukan tim kerja program pembangunan ITF. Menurut Eko nantinya ITF Marunda akan dikelola oleh badan usaha milik daerah (BUMD) milik Pemprov DKI a bekerja sama dengan pihak investor selaku pemilik lahan dan penyedia teknologi. "Kedua pihak tersebut bersama-sama membangun fasilitas pengolahan sampah di atas lahan seluas 12 hektar pada tahun 2012. Pola pengelolaannya sama dengan ITF Cakung Cilincing yaitu pihak swasta bekerja sama dengan BUMD yang akan mengelola KEK Marunda," tandasnya.

DKI dinilai perlu dorong industri pengelola limbah Oleh Nurudin Abdullah September 27, 2011 18:30

BISNIS INDONESIA-JAKARTA: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu mendorong pengembangan industri jasa pengelola limbah bahan berbahaya dan beracun yang membutuhkan penanganan khusus karena sangat berbahaya jika menyebar ke lingkungan. Direktur Eksekutif The Indonesia Solid Waste Association Sri Bebassari mengatakan cukup besar jumlah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) padat mencapai 2% atau sekitar 130 ton per hari dari total sampah yang diproduksi Ibu Kota sebesar 6.500 ton per hari. “Kalau pemprov belum bisa sendiri mengelola limbah B3 padat, maka kami minta agar dapat memotivasi dan memfasilitasi siapa pun yang bersedia bergerak di bidang jasa pengolahan limbah tersebut,” katanya di Jakarta hari ini. Dia mengatakan hal itu seusai acara Penyerahan penghargaan pengelolaan lingkungan kategori baik dan sosialisasi program extended producer responsibility dalam pengendalian pencemaran limbah B3 yang digelar Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI. Menurut Bebasari kegiatan industri jasa pengelola limbah B3 seperti PT Arah Environmental Indonesia dan Pusat Pengolahan Limbah Industri B3, tidak hanya mengelola tetapi juga memberikan konsultasi tentang analisa mengenai dampak lingkungan. Dengan demikian, lanjutnya, keberadaan usaha jasa tersebut dapat membantu industri, farmasi dan gedung komersial dalam mengelola limbah yang bersifat berbahaya dan beracun yang diproduksi sehingga tidak membahakan lingkungan. “Sekarang pembakaran limbah B3 farmasi di lokasi klinik atau puskesmas masih ditolelir, tetapi harus benar-benar dikontrol, terutama emisi sisa pembakarannya. Lebih baik kalau diserahkan penanganannya kepada pihak yang lebih professional,” ujarnya. Sementara itu Business and Development Director PT Arah Environmental Indonesia Ahmad Liu mengatakan tengah mempersiapkan pengembangan usaha pengelolaan limbah B3 untuk memaksimal kapastias unit pengolahan sebesar 12 ton per hari yang kini baru terpakai 2 ton per hari. “Kapasitas unit pengolahan limbah B3 padat kami mencapai 12 ton per hari, tetapi sampai sekarang baru terpakai sekitar 2 ton per hari untuk limbah B3 farmasi dari 200 client kami di wilayah Jakarta dan daerah sekitar,” katanya. Ahmad mengatakan potensi bisnis jasa pengolahan limbah B3 padat di Ibu Kota cukup prospektif mengingat dari total produksi sampahnya 6.500 ton per hari sekitar 2% diantaranya mencapai 130 ton per hari merupakan limbah bersifat bahaya dan beracun tersebut. Apalagi, lanjutnya, di Jakarta masih banyak kegiatan usaha di Jakarta yang menghasilkan limbah B3 padat, yang menangani limbahnya sendiri dengan cara di bakar tanpa memperhatikan dampak emisi hasil pembakaran yang dapat mencemari lingkungan. “Seharunya pemerintah mendorong mereka agar tidak membakar sendiri limbahnya yang bersifat berbahaya dan beracun itu jika tidak mampu mengontrol tingkat pencemaran yang ditimbulkan oleh emisi hasil pembakaran itu,” katanya.(api)

Upaya Bandung lepas dari timbunan sampah Oleh Dinda Wulandari & Irvan Christianto October 01, 2011 09:19

RAKYAT MERDEKA ONLINE: Sampah menjadi masalah yang tak habis untuk dikupas bagi sebuah kota. Setiap hari kita, warga Kota Bandung menghasilkan sampah dari kegiatan yang kita jalani. Perjalanan sampah-sampah itu tentu saja tidak berakhir di tong sampah yang ada di tempat kerja atau rumahmu. Mereka akan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) yang letaknya jauh dari pusat kota. Setiap orang di Kota Bandung berkontribusi menghasilkan sampah sebanyak 3 liter per hari. Angka ini didapat dari hasil penelitian PD Kebersihan Kota Bandung dengan LIPPI tahun 1994. Jika dikalikan jumlah penduduk Kota Bandung yang saat ini berjumlah kurang lebih 2,5 juta jiwa. Maka, diprediksi setiap harinya penduduk kota kembang ini memiliki sampah sebesar 7.500 meter kubik per hari atau sekitar 1.800 ton. "Dari 6 kelompok sumber sampah yang paling banyak itu adalah rumah tinggal/pemukiman. Setiap hari volume sampahnya mencapai 4.951 meter kubik," kata Cece H Iskandar, Kepala PD Kebersihan Kota Bandung. Untuk mengangkut sampah di 30 kecamatan yang ada di Kota Bandung, PD Kebersihan mengerahkan 106 armada truk sampah setiap harinya. Namun, jumlah ini dinilai kurang maksimal untuk mengantar perjalanan sampah dari TPS (tempat pembuangan sementara) ke tempat terakhirnya. "Bayangkan saja, jarak tempuh dari Bandung ke TPA Sarimukti itu bisa mencapai 45 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 3-4 jam. Rata-rata,satu truk hanya melakukan satu kali perjalanan dalam sehari," ungkap Cece. Kota Bandung, sebenarnya, tidak memiliki lahan TPA. Sampai hari ini, pemerintah kota Bandung masih menumpang menimbun sampah di TPA Sarimukti yang lahannya dikelola Pemerintah Provinsi Jabar. Di lahan seluas sekitar 25 hektare itu, sampah asal kota Bandung harus berbagi tempat dengan sampah asal dua daerah lainnya, yaitu Kab. Bandung Barat dan Kab.Cimahi. "Dari 1.800 ton sampah asal Bandung per hari nya, paling Cuma 1.000-1.500 yang berakhir di TPA. Sisanya, bisa dibuang penduduk ke sungai, dibakar, atau mereka kelola sendiri," katanya. Selain terkendala jumlah armada pengangkutan sampah yang terbatas dan minimnya lahan TPA, pengelolaan sampah di kota ini masih menyimpan banyak lagi masalah. Cece mengaku besaran tarif yang dikenakan kepada masyarakat dan pengelola bangunan komersil masih terlalu rendah. Dia mencontohkan untuk kategori komersial, pelaku usaha hanya dikenakan Rp15.000 per meter kubik. "Idealnya biaya pengangkutan itu Rp40.000 per meter kubik. Pendapatan PD.Kebersihan dari jasa kebersihan ini hanya Rp14 miliar per tahun," ujarnya. Kesadaran masyarakat untuk memilah sampah ke dalam kategori organik dan anorganik pun dinilai masih rendah. Padahal, sikap ini sangat membantu proses pengolahan sampah di Kota Bandung agar lebih efektif dan efisien. Pengolahan sampah yang selalu menjadi masalah yang terus bergulir di Kota Bandung, bahkan ancamannya semakin nyata dengan produksi sampah yang terus meningkat. Sadar akan persoalan itu, pemda setempat menggagas pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage dengan nilai proyek sekitar Rp600 miliar. Namun permasalahan baru yang timbul adalah pembangunan hingga saat ini proyek pembangunan PLTSa Gedebage itu belum juga menemui titik terang sejak rencananya digulirkan pada 2007. Padahal diperkirakan, umur pakai TPA Sarimukti yang menjadi satu-satunya tempat terakhir sampah Kota Bandung, hanya bertahan sampai 2012. Pemrov Jabar rencananya akan membangun TPA Regional baru di Legok Nangka, Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung, dan TPA Leuwi Gajah. "Pemerintah sudah melakukan pembebasan lahan seluas 63 Ha. TPA ini juga akan dipakai bersama daerah lainnya, tidak hanya Bandung," katanya. Mengutip data dari Pemkot Bandung, nantinya jika PLTSa Gedebage sudah dirampungkan dan beroperasi akan mengolah sampah dengan beberapa mekanisme kerja a.l. pemilahan sampah, pembakaran sampah, pemanfaatan panas, dan pemanfaatan abu sisa pembakaran. (faa)

3 Proyek Olah Sampah Di DKI Perlu Diawasi Jika Gagal, Jakarta Terancam Banjir Besar Senin, 21 November 2011 , 08:55:00 WIB

Permasalahan sampah, merupakan salah satu persoalan yang masih melilit Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Banyak sungai yang berubah jadi tempat sampah raksasa. Kondisi ini makin diperparah dengan kebijakan pengadaan barang pengolahan sampah yang tidak transparan. Termasuk pada proses lelang kegiatan Jasa Pengolahan Sam­pah ITF Cakung Cilincing yang menelan biaya sebesar Rp 34 miliar. Anggaran ini, diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2011. Dana tersebut dialokasikan di Dinas Kebersihan Jakarta. Demikian penilaian yang diemukakan Ketua LSM Per­gerakan Transformasi (Patra), Prans Shaleh Gultom. Dia kha­watir, jika pe­ngelolaan sampah di Jakarta sudah bermasalah sejak dari awal. “Pelelangan yang dibuka Dinas Kebersihan DKI Jakarta jangan akal-akalan,” pinta Prans. Dia menyebut, aksi akal-akalan tender ini melanggar Undang Undang (UU) No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Seperti diketahui, Pemprov DKI mengembangkan program regionalisasi persampahan yang melibatkan daerah penyangga. Berkaitan hal ini, pemprov akan membangun pengolahan sampah dalam kota melalui tiga unit inter­mediate treatment facilities (ITF), atau tempat pengelolaan dalam kota. Yakni ITF Cakung Cilin­cing, ITF Marunda, dan ITF Sun­ter. Program ini amanat ren­cana pembangunan jangka me­nengah daerah (RPJMD) 2007-2012. Informasi yang diterima Rakyat Merdeka menyebutkan, ITF Cakung Cilincing diper­luas dari 4,5 hek­tare menjadi 7,5 hektar. Di­harapkan, ketika beroperasi pe­nuh pada 2012, ITF ini mampu me­ngolah sampah sebanyak 1.300 ton per hari. Sampah yang diolah menjadi kompos, bahan bakar pembangkit listrik berkapasitas 4,95 mega watt (MW) atau menghasilkan bahan bakar gas (BBG) sebesar 445.699 MMBTU. ITF Cakung Cilincing mene­rapkan teknologi mechanical biological treatment (MBT). Namun, proses pemba­ngunan­nya dilakukan secara bertahap. Per 1 Agustus 2011 sudah beroperasi mengolah sampah 450 ton per hari menjadi kompos. Per 1 Januari 2012 beroperasi me­ngolah sampah 600 ton per hari dengan teknologi MBT. Sampah tersebut diolah menjadi BBG per listrik, produk daur ulang dan kompos. Pada masa yang sama akan beroperasi pengolahan sampah 1.300 ton per hari dengan teknologi MBT. Sampah tersebut diolah menjadi BBG per listrik, produk daur ulang dan kompos. Sedangkan ITF Sunter yang berdiri di atas lahan 3,5 hektare, direncanakan mampu mengolah sampah sebanyak 1.200 ton per hari dengan teknologi waste to energy. Saat ini, ITF Sunter ber­operasi sebagai fasilitas pema­datan sampah stasiun peralihan antara Sunter (SPA Sunter). SPA Sunter berfungsi meng­efi­sienkan rotasi kendaraan angkut sampah, sehingga proses pengi­riman sampah ke Bantar Gebang, Bekasi tidak menambah macet jalanan Ibu Kota. Saat ini akan dilaksanakan tender yang lebih kurang me­makan waktu tiga bulan dengan skema Kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) dalam penga­daan infrastruktur. Pola kerja samanya adalah build, operate, and transfer (BOT). Penan­datanganan kontrak direncanakan pada awal Januari 2012. [Harian Rayat Merdeka]

Perda Sampah Dianggap Kedaluwarsa

Senin, 21 November 2011 , 08:30:00 WIB Demi mengatasi permasalahan sampah di ibukota, Dinas Ke­ber­­­sihan DKI Jakarta saat ini si­buk me­nyusunan rancangan pe­raturan daerah (Raperda) DKI Jakarta. Kepala Dinas Ke­ber­sihan DKI Jakarta, Eko Bharuna me­minta masya­ra­kat serta pakar per­sampahan tu­rut serta me­nyem­purnakan Ra­per­da ter­sebut. Terutama sebelum di­se­rahkan ke Badan Legislasi Daerah (Ba­legda) pada 2012. “Raperda juga mengatur mas­terplan pengelolaan sampah Ja­karta 2012-2032. Karena mas­terplan yang dimiliki Dinas Ke­bersihan sudah kedaluwarsa dan perlu disinkronkan dengan RTRW(Rencana Tata Ruang dan Wilayah) DKI Jakarta 2011-2030,” katanya. Dari data Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Perda tentang Pe­ngelolaan Sampah DKI Jakarta ter­sebut merupakan turunan dari Un­dang-Undang 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah dan Permedagri 33 tahun 2010 ten­tang pedoman pengelolaan sam­pah. Substansinya, merinci pera­turan yang hierarkinya lebih tinggi dengan menjabarkan lebih detail. Termasuk juga bab-bab da­lam UU 18/2008, yang akan men­jadi acuan Raperda penge­lolaan sampah. Perda ini juga akan menga­ko­modir ketentuan Permendagri 33 / 2010 BAB II Pasal 2 ayat (1), yang menyatakan, Pemerintah daerah menyusun rencana pe­ngu­rangan dan penanganan sampah yang dituangkan dalam rencana strategis (Renstra) dan rencana jangka (Renja) tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Lalu ayat (2) menyatakan, ren­cana pengurangan dan pena­nga­nan sampah, target pengu­rangan sam­pah meliputi target penye­diaan sarana dan prasarana. Mu­lai dari sampah hingga ke tempat pembuangan akhir (TPA). Aturan ini juga mengatur pola pengem­bangan kerja sama daerah, ke­mitraan par­tisipasi ma­syarakat, ke­butuhan penyediaan pem­biayaan yang ditanggung Pemda dan ma­syarakat. Termasuk pula, pe­ngem­bangan dan pe­man­faatan tek­­no­­logi yang ramah ling­kungan. [Harian Rayat Merdeka]