Entri Populer

Kamis, 02 Mei 2013

MEMBANGUN INDUSTRI KOMPOS KOMERSIAL OLEH FORUM KERJASAMA AGRIBISNIS

Kita selalu membayangkan, petani Amerika Serikat dengan revolusi hijaunya itu hanya mengandalkan pupuk kimia untuk memproduksi gandum, kacang tanah, kedelai dan kapas. Sebuah anggapan yang keliru. Sebab petani A.S. juga selalu menggunakan pupuk organik (kompos) untuk mengejar target produksi mereka. Di Indonesia, produktifitas lahan sawah kita, rata-rata hanya 4 ton Gabah Kering Panen (GKP) per hektar per musim tanam. Sementara petani Thailand sudah bisa mencapai rata-rata 6 ton GKP per hektar per musim tanam. Rahasianya ada di kualitas benih dan pemupukan. Untuk mencapai hasil rata-rata 6 ton GKP, diperlukan aplikasi pemupukan organik minimal 3 ton per hektar per musim tanam. Untuk kondisi tanah sawah di Jawa yang telah terlanjur rusak karena keracunan nitrogen akibat pemupukan urea dosis tinggi, diperlukan aplikasi kompos minimal 5 ton per hektar per musim tanam. Baru pada musim-musim tanam berikutnya, dosis kompos itu pelan-pelan diturunkan hingga menjadi 3 ton per hektar per musim tanam.

Perhitungan kasarnya, untuk menghasilkan satu satuan volume produk panen, diperlukan pupuk organik separo dari angka hasil panen tersebut.   Jagung hibrida yang hasilnya 8 ton jagung pipilan kering misalnya, memerlukan pupuk kompos sebanyak 4 ton per hektar per musim tanam. Jadi kalau produksi gabah nasional kita sekitar 50 juta ton dan jagungnya 10 juta ton per tahun, maka total jumlah kompos atau pupuk organik lain yang diperlukan untuk padi dan jagung tersebut akan mencapai 30 juta ton per tahun. Penggunaan pupuk organik ini akan bisa menurunkan kebutuhan pupuk kimia tanpa memperkecil hasil panen. Selain itu, kompos juga dapat meningkatkan volume produksi sekitar 20% dari hasil optimal sebelum pupuk organik digunakan. Kalau nilai kompos untuk jagung dan padi tadi Rp 100.000,- per ton, maka omset dari industri kompos untuk padi dan jagung saja, akan mencapai Rp 3 trilyun per tahun. Pupuk kimia yang bisa dihemat sekitar 2.000.000 ton. Dengan harga pupuk kimia Rp 1.000.000 per ton, maka penghematan pupuk kimia akan mencapai Rp 2 trilyun per tahun. Sementara peningkatan hasil panen akan mencapai 20% dari 60 juta ton = 12 juta ton. Dengan harga Rp 1.000.000,- per ton maka nilai peningkatan hasil panen padi dan jagung akan mencapai Rp 12 trilyun per tahun.

Angka tersebut baru mengacu pada asumsi aplikasi kompos untuk padi dan jagung. Belum memperhitungkan komoditas-komoditas lain seperti singkong, kedelai, kacang tanah dan produk hortikultura, terutama sayuran dan buah-buahan. Jadi tampak betapa strategisnya industri kompos bagi sebuah negara agraris seperti Indonesia. Meskipun sangat strategis, mengapa selama pemerintahan Orde Baru tidak pernah kedengaran adanya program atau proyek industri kompos nasional? Karena untuk ukuran nasional, dibandingkan dengan proyek pembangunan pabrik pupuk kimia, nilai proyek kompos itu relatif kecil. Selain itu juga banyak repotnya dan justru akan mengurangi konsumsi pupuk kimia. Pembangunan industri kompos ini tidak bisa dilakukan secara besar-besaran seperti kalau membangun pabrik pupuk urea atau ZA. Industri kompos  akan berskala kecil dengan volume produksi sekitar 5.000 ton per pabrik per tahun. Nilai investasi pabrik tersebut juga hanya sekitar Rp 100.000.000,- Omset per tahunnya kurang-lebih Rp 500.000.000,- Tetapi untuk komoditas padi dan jagung di seluruh Indonesia, diperlukan sekitar 6.000 pabrik kompos skala 5.000 ton tersebut.

Pada prinsipnya, semua selulosa limbah pertanian bisa dijadikan bahan kompos. Petani tradisional membuat kompos dengan cara menumpuk rumput sisa-sisa pakan ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba) di dalam kandang. Selang 3 bulan dilakukan pembalikan dan dalam waktu 6 bulan kompos pun siap digunakan. Urine dan faces ternak tersebut menjadi starter bagi terjadinya proses pengomposan oleh bakteri. Di alam terbuka, proses pengomposan terjadi secara alamiah.

Pembuatan kompos sederhana bisa kita lakukan dengan menumpuk bahan organik, misalnya jerami padi dan batang jagung, kemudian diberi starter urea, pupuk kandang dan tanah serta kapur. Dengan penumpukan 3 m. panjang, 1,5 m. lebar dan 1 m. tinggi, dengan penyiraman cukup, bahan organik ini akan menjadi kompos dalam waktu sekitar 6 bulan. Kalau sebelumnya dilakukan pencacahan dengan chooper, maka proses pengomposan akan dipersingkat menjadi 3 bulan. Apabila ke dalam cacahan bahan organik tersebut dimasukkan starter bakteri aerobik, misalnya EM 4, maka proses pengomposannya akan menjadi lebih singkat lagi. Jadi sebenarnya proses pengomposan itu sangat sederhana.

Di A.S. proses industri kompos dilakukan secara lebih modern. Bermacam-macam  bahan organik dengan komposisi yang pas, digiling sampai  halus. Selanjutnya material tersebut dimasukkan ke dalam tangki raksasa bersamaan dengan air, oksigen, bahan starter (misalnya gula, dedak atau bahan lainnya) dan biang bakteri. Suhu dalam tangki tersebut lalu diatur sesuai dengan tuntutan hidup bakteri.  Dengan cara demikian proses pengomposan bisa dipersingkat hanya dalam waktu 3 sampai 4 hari. Industri kompos bokhasi yang berbahan baku abu sekam, sebenarnya tidak pas untuk diterapkan bagi komoditas pangan secara massal. Sebab abu sekam tersebut energinya sudah lenyap ketika dibakar. Teknologi bokhasi lebih pas apabila digunakan untuk memproduksi kompos dengan bahan baku jerami yang dicacah menggunakan chooper. Penggunaan bahan baku jerami atau batang jagung, hijauan kacang tanah atau kedelai akan sangat efisien sebab menghemat ongkos angkut. Industri kompos itu bisa dibangun di pinggir-pinggir sawah, hingga suplai bahan bakunya terjamin murah dan hasilnya juga dipakai di sawah-sawah tadi.

Kalau kita kebetulan berkendaraan darat dari Jakarta ke arah Cirebon atau sebaliknya, di sepanjang jalur pantura itu akan tampak hamparan sawah nan luas. Sehabis panen, jerami padi itu dibakar sia-sia. Energi dari matahari yang sudah dengan susah payah dikumpulkan tanaman dan disimpan dalam jerami, disia-siakan hingga menjadi api dan abu. Padahal dari satu hektar sawah, minimal dihasilkan 10 ton jerami padi. Kalau jerami ini dicacah  dan dikomposkan, minimal akan menjadi 5 ton kompos siap pakai. Biaya pengomposannya Rp 90,- per kg atau Rp 450.000,- untuk volume 5 ton. Meskipun petani harus mengeluarkan biaya Rp 450.000,- dia bisa menghemat pupuk urea dari 3 kw menjadi cukup 1 kw. Penghematan yang bisa didapatnya Rp 200.000,- Peningkatan hasil yang diharapkan bisa mencapai 1 ton gabah dengan nilai Rp 1.000,- per kg atau Rp 1.000.000,- Jadi kalau dihitung-hitung, meski tiap hektarnya petani keluar biaya tambahan Rp 450.000,- dia akan memperoleh keuntungan Rp 750.000,- per hektar per musim tanam.

Akan lebih menguntungkan lagi kalau 10 ton jerami segar itu digunakan untuk pakan sapi. Dengan jatah selulosa 40 kg per hari, tiap hektar sawah dengan hasil 10 ton jerami, akan bisa  mencukupi kebutuhan pakan untuk 2 ekor sapi dewasa sampai panen berikutnya. Hasilnya, petani akan mendapatkan  2 ton pupuk kandang yang mutunya lebih bagus dari kompos, dengan nilai Rp 200.000,- Selain itu petani juga akan mendapatkan tambahan dari nilai jual sapi. Dengan pertambahan berat badan 0,5 kg per hari, selama 100 hari pemeliharan akan diperoleh tambahan berat badan 50 kg. Dengan harga Rp 10.000 per kg, maka nilai tambah yang diperoleh petani adalah Rp 1.000.000,- untuk dua ekor sapi yang dipeliharanya. Nilai investasi dua ekor sapi bakalan tersebut Rp 6.000.000,- Tetapi budaya ternak sapi tidak bisa kita jumpai di Pantura. Yang punya budaya ternak sapi justru masyarakat Gunung Kidul dan Wonogiri yang kawasannya kering kerontang tidak ada jerami padi. Di sana, masyarakat telah terbiasa memanfaatkan selulosa apa pun sebagai pakan sapi.
Pemanfaatan seluruh jerami yang ada untuk pakan sapi, juga  dimungkinkan. Hanya saja  akan diperlukan investasi bibit sapi bakalan dengan nilai lebih dari duakali lipat investasi untuk industri kompos. Satu unit pengomposan dengan kapasitas 5.000 ton per tahun, tiap musim panen akan menyerap jerami segar 3.200 ton. Kalau keperluan pakan per ekor sapi per hari 40 kg, maka jerami tersebut akan bisa dimanfaatkan sebagai pakan bagi 80 ekor sapi. Kalau harga seekor sapi bakalan Rp 3.000.000,- maka diperlukan investasi bibit sapi bakalan Rp 280.000.000,- Belum investasi untuk kandangnya. Kalau kita membangun satu unit industri kompos, investasinya hanya sekitar Rp 100.000.000,- Namun keuntungan kotor dari sapi tadi akan mencapai Rp 500.000,- kali 80 atau Rp 40.000.000,- per musim panen. Masih ditambah pupuk kandang sebanyak 160 ton dengan nilai Rp 16.000.000,- Sementara kalau industri kompos dengan nilai investasi Rp 100.000.000,- pendapatan kotornya 1.600 ton X Rp 100.000,- = Rp 160.000.000,-.

Mungkin kita memang harus memilih, apakah akan mendirikan pabrik kompos dengan teknologi modern dengan investasi Rp 100.000.000,- atau akan investasi sekitar 80 ekor sapi dengan nilai sekitar 280.000.000,- Investasi sapi memang lebih ideal sebab kualitas pupuk kandang, lebih-lebih kalau urinenya ditampung, jauh lebih bagus dibanding kompos yang dibuat secara mekanis. Namum apa pun yang akan dilakukan, industri kompos merupakan keharusan untuk memperbaiki struktur tanah di negeri ini yang sudah sangat menurun kualitasnya. Peluang ini idealnya tidak lagi menjadi "proyek nasional" melainkan cukup dikerjakan oleh masing-masing pemda kabupaten. Kabupaten-kabupaten di Pantura bisa menjadi perintisnya. Mulai dari Karawang, Purwakarta, Subang, Indramayu sampai ke Majalengka, Cirebon, Kuningan dan terus ke Jateng/Jatim. Yang jelas nilai tambah yang akan didapat dari kompos tidaklah kecil. Bukan sekadar dari nilai kompos itu sendiri, melainkan terutama dari peningkatan kuantitas dan juga kualitas padi yang diberi pupuk kompos. (FR) + + +

Tidak ada komentar:

Posting Komentar