Entri Populer

Minggu, 29 Mei 2011

INVESSEL COMPOSTER

Defenisi Kompos

Hasil penguraian dari campuran bahan-bahan organik oleh berbagai macam mikroba dengan kondisi lingkungan   (temperatur, kelembaban, kadar air) oleh bakteri aerobik  atau anaerobik
 (Modifikasi dari J.H. Crawford)

Manfaat Kompos
·         Aspek Ekonomi :
- Menghemat biaya karena lebih murah dari pupuk urea/kimia;
- Mengurangi volume/ukuran limbah
dan memiliki nilai ekonomis;
- Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya
·          
AAspek Lingkungan :
- Mengurangi polusi udara karena pembakaran atau penimbunan limbah organik;
- Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan
di TPA;
  -   - Menekan perkembang biakan organisme   penyebar kuman.
·          
Kegunaan Bagi Tanah
1.       Meningkatkan kesuburan tanah
2.       Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah
3.       Meningkatkan kapasitas jerap air tanah
4.       Meningkatkan aktivitas mikroba tanah
5.       Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen)
6.       Menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman
7.       Menekan pertumbuhan/serangan penyakit tanaman
8.       Meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah


Pengolahan kompos dengan cara konvensional:
  1. Windrows: Dengan cara membuat jalur dari tanah atau pasangan bambu bentuk segitiga;
  2. Biopori: Dengan cara menggali lubang di belakang rumah dan menimbun sampah organik sampai terbentuk kompos;

KONDISI MANAJEMEN SAMPAH DI PERKOTAAN INDONESIA
·       
Sebagian besar sampah yang ada dari perkotaan, hampir 80% adalah sampah organik;
Sampah pasar hampir 90% adalah organik (sisa buah, sayuran, dll);
Pengolahan sampah organik kebanyakan dengan cara di timbun di TPA;
Hanya sebagian kecil yang diolah menjadi pupuk organik (kompos) dengan cara konvensional.


    KOMPOS KONVENSIONAL

    • Waktu yang relatif lama (1-1.5 bulan);
    • Butuh lahan yang luas;
    • Tidak dapat menghasilkan kompos setiap hari (sistem batch);
    • Membutuhkan operator/TK cukup banyak;
    • Lokasi sulit dikontrol dari bau dan perkembangan serangga penyebar kuman penyakit;
    • Sampah makanan umumnya dihindari dan kebanyakan sisa potongan daunan.

    INVESSEL COMPOSTER
    ·         Bahan baku sampah organik yang akan diolah adalah sebanyak  8-10 m3 /hari
    ·         Produksi kompos setiap hari  2-3Ton /hari
    ·         Sampah makanan sekalipun dapat diolah menjadi kompos;
    ·         Bahan baku relatif variatif, asal masuk kategori organik;
    ·         Lebih bersih dan mudah dikontrol dan dikendalikan;
    ·          Lebih bersih dan bau relatif tidak ada karena proses fermentasi dalam tabung mendatar.
    ·         Tabung berbentuk silinder mendatar yang di dalamnya dilapisi dengan bahan anti karat;
    ·         Terdiri dari batang pengaduk yang di lengkapi dengan cabang besi pengaduk dan pendorong bahan;
    ·         Perputaran pengaduk tidak kontinyu  untuk menjaga metabolisme bakteri aerob dan non aerob 
    -        Monitoring temperatur dilakukan dalam 6 segment untuk monitoring keberadaan bakteri.

    Mesin Komposter terdiri dari:
    • Mesin Pencacah (Grinding machine)
    • Meja Pemilahan (sorting table);
    • Alat pengumpan bahan (feeding);
    • Tabung Proses (In Vessel);
    • Pompa Vakum (exhaust pump);
    • Injeksi Udara (Air Compressor);
    • Discharge Auger (Pengeluaran Produk).

      Prospek Bisnis Sampah Kertas, July 2010

      Permasalahan sampah kertas tidak terlepas dari permasalahan sampah secara keseluruhan. Permasalahan tersebut meliputi aspek teknis-operasional, hukum, pendanaan, sosial, dan institusi atau manajemen. Contoh paling populer dari permasalahan tersebut antara lain semakin sulitnya mencari lahan untuk tempat pembuangan akhir (TPA) di daerah perkotaan dan mahalnya biaya transportasi sampah. Sementara itu, biaya operasional dan pemeliharaan untuk transportasi sampah menjadi beban yang berat karena faktor volume sampah yang mesti diangkut dan jauhnya jarak dari sumber sampah ke TPA.

      Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan sampah antara lain dengan mendorong usaha untuk mengurangi volume sampah. Usaha pengurangan atau minimalisasi volume sampah yang diangkut ke TPA antara lain dengan melakukan daur ulang sampah, termasuk di dalamnya daur ulang sampah kertas.

      Dengan usaha daur ulang akan didapatkan manfaat berupa berdirinya industri daur ulang sampah dan pemberdayaan masyarakat. Sampah kertas sebagai salah satu bahan baku industri daur ulang saat ini belum terkelola dengan baik. Contoh dari hal tersebut adalah tidak adanya sistem pemilahan yang menyebabkan sebagian sampah kertas menjadi tercampur dengan sampah lainnya sehingga menjadi kotor dan hancur, akibatnya menjadi sulit untuk didaurulang. Hanya sekitar 70% sampah kertas yang dapat dikumpulkan oleh pemulung untuk dijual ke lapak. Padahal jumlah timbulan sampah kertas bisa mencapai sekitar 10% dari jumlah keseluruhan sampah.

      Jumlah Timbulan Sampah Kertas

      Jumlah timbulan sampah kertas relatif banyak. Sebagai contoh, kota Jakarta pada tahun 1997/1998 diperkirakan menghasilkan sampah kertas sejumlah 2.989 m3/hari, atau 10,11% dari jumlah sampah keseluruhan (29.568 m3/hari) (BPS, 1998). Sementara itu dari keseluruhan sampah kertas, sebanyak 71,2% (2.126 m3/hari) diambil oleh pemulung (BPPT, 1996).

      Dalam lingkup nasional, (dengan asumsi jumlah penduduk 180 juta jiwa, laju produksi sampah 2 liter/orang/hari, dan komposisi 6,17%) jumlah timbulan sampah kertas di Indonesia dapat mencapai 1.599.000 ton/tahun. Sementara itu, sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktivitas penduduk, jumlah timbulan sampah kertas akan terus meningkat bersamaan dengan meningkatnya jumlah sampah jenis lainnya.

      Sampah kertas jenisnya bermacam-macam, misalnya kertas HVS (kertas komputer dan kertas tulis), kertas kraft, karton, kertas berlapis plastik, dsb. Biasanya aktivitas yang berbeda menghasilkan jenis-jenis sampah kertas yang berbeda pula. Sebagai contoh, pabrik dan pertokoan lebih banyak menghasilkan sampah kertas jenis karton, sedangkan perkantoran dan sekolah lebih banyak menghasilkan kertas tulis bekas.

      Masing-masing jenis kertas juga memiliki karakteristik tersendiri sehingga kemampuannya untuk didaurulang dan produknya juga berbeda-beda. Sementara itu sebagian besar kertas pembungkus makanan tidak didaurulang, begitu juga dengan kertas tissue. Kertas pembungkus makanan sulit didaurulang karena adanya lapisan plastik, sedangkan kertas tissue karena sifatnya yang mudah hancur.

      Prospek Bisnis Kertas Bekas

      Prospek pemasaran kertas bekas di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Sayangnya, sampah kertas yang dikonsumsi saat ini tidak bisa sepenuhnya dipenuhi oleh sampah kertas dari dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan industri kertas Indonesia masih mengimpor kertas bekas.

      Pada tahun 1997, misalnya, tingkat kapasitas konsumsi kertas sebanyak 3.119.970 ton sedangkan sampah kertas yang kembali sebagai bahan baku kertas hanya mencapai 980.000 ton atau baru mencapai 31%. Padahal produksi sampah kertas skala nasional diprediksikan dapat mencapai 1.599.000 ton pertahunnya. Jadi prospek pemasaran kertas bekas masih terbuka lebar. Dari tabel tersebut dapat dihitung bahwa rata-rata peningkatan kebutuhan sampah kertas (asal Indonesia) mencapai 11,22% setiap tahunnya.

      Pemasaran sampah kertas saat ini dilaksanakan lintas wilayah, misalnya dari Jakarta ke Surabaya atau sebaliknya. Pada umumnya prosedur pengiriman sudah berdasarkan saling ketergantungan dan sifatnya mengikat, seperti misalnya, para pemasok biasanya telah mengadakan ikatan kontrak dengan para bandar untuk mendapatkan pasokan secara rutin.

      Sebagian besar sampah kertas diserap oleh industri besar, sedangkan yang diserap oleh industri art paper relatif sedikit. Saat ini harga jual kertas bekas sekitar Rp. 700 - 1000/kg.

      Jalur Perdagangan Sampah Kertas

      Saat ini pemanfaatan sampah kertas melibatkan sektor formal dan informal seperti industri kertas, pemulung, lapak, bandar, dsb. Jalur pemanfaatan sampah kertas, dapat dilihat pada gambar. Menurut survei , masyarakat sebagai penghasil kertas masih jarang yang memanfaatkan langsung kertasnya.

      Saat ini sebagian besar sampah kertas dijual oleh pemulung ke lapak, sedangkan sebagian kecil lainnya dijual langsung ke industri kecil daur ulang kertas. Dari lapak, sampah kertas atau kertas bekas dijual ke bandar, selanjutnya ke supplier atau pemasok. Oleh supplier sampah kertas dijual kepada industri kecil daur ulang kertas atau industri kertas.

      Pemulung adalah orang yang mengumpulkan bahan baku daurulang dari tempat sampah dan menjualnya kepada lapak. Pemulung rata-rata memperoleh barang bekas sebanyak 10 – 35 kg/orang/hari dan menjualnya dengan keuntungan Rp. 3.000 – Rp. 6.000/orang/hari. Kehidupannya sangat tergantung dari lapak sebagai induk semangnya dan harga jual barang bekas.

      Lapak berperan dalam menyortir barang bekas berdasarkan permintaan produsen daur ulang sesuai dengan harga yang disepakati. Lapak umumnya mempunyai lahan yang cukup luas untuk pengumpulan barang bekas dan tempat tinggal para pemulung. Selain itu lapak juga menyiapkan aspek pembiayaan bagi para pemulung. Penghasilan lapak dapat mencapai Rp. 15.000 – Rp. 800.000 perhari.

      Bandar mengumpulkan barang pulungan dari para lapak. Sistem kerjanya seperti lapak, tetapi tidak berhubungan langsung dengan para pemulung. Supplier atau pemasok umumnya merupakan organisasi resmi yang digunakan oleh para lapak atau bandar berhubungan dengan pabrik untuk melakukan perjanjian kontrak.

      Industri merupakan penerima sampah kertas sebagai bahan baku daur ulang. Industri penerima ada dua macam yaitu industri kecil dan industri besar. Industri kecil biasanya menerima sampah kertas sebagai bahan paper art seperti bok artistik, kartu ucapan, souvenir, dsb. Sedangkan industri besar mempergunakan sampah kertas untuk didaurulang menjadi pulp (bahan baku kertas).

      Komposting Tandan Kosong Kelapa Sawit, July 2010

      Pada dekade terakhir beberapa peneliti di bidang pengelolaan limbah padat telah mengadakan penelitian tentang komposting Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), diantaranya adalah Dr. Didi Hajar Gunadi, M.Sc, Ir Sri Wahyono, M.Sc dkk. ( dari BPPT), dan Dr. Schuchardt (dari Jerman). Peneliti pertama mencoba mengkomposkan TKKS dengan sistem Beckary dengan menggunakan aktivator, sedangkan peneliti lainnya menggunakan sistem windrow dengan atau tanpa aktivator.

      Riset Komposting Tandan Kosong Didi Hajar Gunadi

      Gunadi menggunakan aktivator OrgaDec yang mengandung microorganisma terutama fungi jenis Trichoderma sp. Peralatan dan bahan yang diperlukan untuk pembuatan kompos terdiri atas mesin pencacah, wheel loader, TKKS, dan OrgaDec. Sebelum difermentasikan TKKS dicacah dengan mesin pencacah. Cacahan TKKS setiap tonnya dicampur dengan 5 kg OrgaDec dengan menggunakan wheel loader.

      Proses komposting dilakukan secara bertahap. Tahap pertama, sekitar 1,8 ton cacahan TKKS yang telah bercampur dengan OrgaDec dengan memakai wheel loader dimasukan ke dalam alat pencetak sambil diratakan dan diinjak kemudian disiram dengan air sebanyak 50 liter guna memperoleh kelembaban yang cukup. Tahap kedua, penahan cetakan dinaikan satu tingkat setinggi 30 cm. Tahapan selanjutnya merupakan pengulangan tahap sebelumnya sehingga tumpukan mencapai ketinggian 150 cm. Setelah itu papan penahan cetakan ditarik sehingga yang tinggal hanya tumpukan ukuran 600 X 200 X 150 cm. Tumpukan tersebut kemudian ditutup dengan plastik. Parameter yang diamati selama proses komposting adalah temperatur, penyusutan, warna, bau dan kelembaban. Analisis produk fermentasi setelah 14 hari pemrosesan menunjukan bahwa rasio C/N mencapai 16, kadar N yaitu 1,9%, P2O5 0,8%, K2O 5,5%, MgO 0,9%, CaO 1,4% dan Mn 133 ppm (--, 1999).

      Riset Komposting Tandan Kosong Frank Schuchardt dkk

      Pembuatan kompos skala pilot dengan sistem windrow yang dilaksanakan oleh Schuchardt bersama Pusat Penelitian Kelapa Sawit dilakukan di Pabrik Kelapa Sawit Mini di Aek Pancur - Medan.TKKS sebelum dikomposkan dicacah lebih dahulu dengan menggunakan mesin pencacah yang dirancang khusus oleh PPKS. Ukuran cacahan berkisar 40 – 60 mm.

      Menurut Schuchardt, proses pembuatan komposnya adalah sebagai berikut. TKKS yang telah dicacah disusun menjadi dua buah tumpukan (heap) dengan ukuran masing-masing panjang 10 m, lebar 2,5 m dan tinggi 1,1 m (8 ton TKS pertumpukan) dan diaduk dengan mesin pembalik kompos Komposmat 1.27 D Backhus sebanyak 2 – 5 kali seminggu. Untuk mempertahankan aktivitas mikroorganisma, selama 8 – 9 minggu pertama waktu komposting ditambahkan air sejumlah 3,2 (optimum) hingga 5,4 (maksimum) m3 perton TKKS. Pada tumpukan TKKS juga tidak memerlukan atap, meskipun curah hujan mencapai lebih dari 2000 mm pertahun. Massa dan volume TKKS dapat berkurang hingga 50% dalam waktu beberapa minggu (Scuchardt et.al., 2001).

      Komposting Tandan Kosong Sawit Menggunakan Berbagai Jenis Aktivator

      Sementara itu Sri Wahyono, dkk. mencoba peneliti komposting TKKS dengan tujuan untuk mengetahui proses pembuatan TKKS menjadi pupuk organik kompos secara optimal dengan melihat pengaruh penggunaan aktivator komersial dalam proses komposting TKKS sistem windrow (Wahyono, S. et.al., 2002).

      Aktivator berasal dari bahasa inggris yang artinya pemicu proses. Aktivator biasa juga disebut inoculant. Aktivator komposting yang diperdagangkan di Indonesia dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis. Aktivator dapat berbentuk padat maupun cair. Aktivator merupakan kumpulan dari mikroorganisma yang diharapkan dapat berfungsi untuk mempercepat proses komposting dan memperkaya keanekaragaman mikroba. Aktivator yang diperdagangkan dapat berupa kultur murni (pure culture) dan kultur campuran (mixed culture). Aktivator kultur murni hanya berisi satu jenis mikroba, sedangkan aktivator kultur campuran terdiri dari berbagai macam jenis mikroba, misalnya bakteri pendegradasi lignin, selulosa, protein, lemak, dsb. Saat ini di Indonesia beredar berbagai merek aktivator baik produksi lokal maupun luar negeri. Dalam penelitian ini dicoba aktivator mixed culture dengan merk OrgaDec, Starbio, dan EM4.

      OrgaDec (kependekan dari organic decomposer) merupakan aktivator komposting aerobik yang mengandung fungi Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. Menurut hasil percobaan mereka, TKKS yang dicacah hingga berukuran 2,5 cm dapat dikomposkan dalam waktu 14 hari. Secara alami TKKS utuh akan melapuk secara alami setelah 12 – 18 bulan.

      Starbio atau stardec merupakan aktivator komposting berbentuk serbuk yang mengandung berbagai kelompok mikroba seperti mikroba lignolitik, selulolitik, proteolitik, lipolitik, aminolitik dan mikroba fiksasi nitrogen non-simbiotik. Activator tersebut diisolasi dari tanah hutan, akar rumput-rumputan dan kolon sapi. Dikatakan bahwa komposting dengan menggunakan aktivator tersebut hanya membutuhkan 5 minggu.

      Larutan (EM4) ditemukan oleh Prof. Teruo Higa dari Jepang. Larutan EM4 mengandung lima golongan mikroba yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp., Streptomyces sp., ragi dan actinomycetes. Disebutkan proses komposting dengan EM4 hanya berlangsung 4 sampai 7 hari. Kompos yang dihasilkan melalui fermentasi tersebut disebut bokashi.

      Bahan baku penelitian berupa TKKS sebanyak 9,56 m3 atau 2 ton yang berasal dari Pabrik Sawit Kertajaya – Pandeglang. Secara garis besar tahapan proses penelitian pemanfaatan TKK menjadi kompos dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. TKKS yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Kertajaya – Pandeglang dengan jumlah sekitar 9,56 m3 atau 2 ton. TKKS diambil dari PKS Kertajaya, kemudian dibawa dengan truk ke lokasi daur ulang sampah plastik di Bekasi – Jawa Barat untuk dicacah. Pencacahan tersebut dilakukan dangan satu unit mesin pencacah yang biasa digunakan untuk mencacah plastik. TKKS dicacah menjadi serpihan-serpihan berserat dengan panjang antara 5 sampai 15 cm. Cacahan TKKS kemudian dimasukan ke dalam karung dan kemudian dibawa ke Laboratorium Lapangan Penelitian Daur Ulang Limbah Padat di Rawasari – Jakarta Pusat.

      Di Laboratorium Lapangan tersebut, selanjutnya diadakan penelitian pemanfaatan TKKS menjadi produk kompos. Proses komposting yang dipakai adalah sistem open windrow. Dalam sistem tersebut TKKS yang telah dicacah ditumpuk dengan bentuk trapesium memanjang dengan ukuran lebar 120 – 200 cm, tinggi 80 – 85 cm, panjang 120 – 200 cm. Dalam penelitian ini dibuat empat tumpukan, satu tumpukan tidak menggunakan aktivator dan tiga lainnya menggunakan aktivator. Banyaknya penambahan aktivator disesuaikan dengan dosis pemakaian yang dianjurkan oleh masing-masing produk.

      Penambahan aktivator dilakukan secara berlapis-lapis setiap ketebalan tumpukan 30 cm. Secara reguler yaitu seminggu sekali tumpukan TKKS dibalik dan disiram dengan air seperlunya. Setiap dua minggu sekali dari keempat tumpukan yang berbeda tersebut diambil sampelnya untuk dianalisis karakter fisik dan kimianya, yakni pH, kadar air, kandungan N, NH3, NO3, P2O5, K2O, dan C organiknya. Proses komposting dipantau terus sampai menjadi kompos matang. Parameter yang dipantau antara lain suhu, penurunan volume dan berat, kandungan kimianya dan kebutuhan air. Temperatur proses komposting dipantau setiap hari, sedangkan penurunan berat dan volume tumpukan diukur seminggu sekali. Setelah jadi kompos matang kemudian diayak dan dihitung prosentase kehalusan fisik kompos.

      Kesimpulan dari penelitian tersebut antara lain adalah bahwa (i) ditinjau dari parameter kematangan kompos seperti rasio C/N, profil temperatur, penyusutan volume dan penampilan fisik kompos, kecepatan proses komposting TKKS dengan penambahan aktivator (OrgaDec, Biostar dan EM4) dan komposting tanpa aktivator relatif sama yaitu sekitar 13 minggu, (ii) kebutuhan air untuk proses komposting TKKS berkisar antara 1,7 sampai 2,3 m3, (iii) kandungan unsur hara kompos sekitar 0,4 % (N), 0,029 sampai 0,05 % (P2O5), 0,15 sampai 0,2 % (K2O).

      Singapura Memanfatkan Sampah untuk Energi, July 2010

      Hampir 90 persen sampah yang diproduksi oleh penduduk negeri berlambang Merlion itu dibakar menjadi abu di insinerator dan energi panas yang dihasilkannya digunakan sebagai sumber pembangkit listrik. Saat ini, Singapura memiliki empat insinerator berkapasitas besar dan modern. Insinerator pertama dioperasikan sejak tahun 1979 di Ulu Pandan dangan kapasitas 1.100 ton perhari, insinerator kedua di Tuas dan dioperasikan sejak tahun 1986 dengan kapasitas 1.700 ton perhari, lantas insinerator ketiga berada di Senoko dan beroperasi sejak tahun 1992 dengan kapasitas 2.400 ton perhari. Sedangkan insinerator yang paling gress, lengkap dan modern, dioperasikan sejak tahun 2000, adalah Insinerator Tuas Selatan dengan kapasitas paling besar di dunia yakni 3000 ton perhari.

      Menurut Vincent Teo, Manajer Umum Pelayanan Teknis Insinerator Tuas Selatan, ketika bertemu dengan penulis di plant Insinerator Tuas Selatan tiga tahun yang lalu, dikatakan bahwa keempat insinerator tersebut pada tahun 2001 telah berhasil membakar 2,55 juta ton sampah atau sekitar 91 persen dari total sampah yang dihasilkan oleh Singapura. Dari pembakaran sampah tersebut dihasilkan listrik hingga 1.158 juta kWh atau sekitar 2 sampai 3 persen dari total listrik yang dihasilkan oleh Singapura. Suatu jumlah energi listrik dari bahan bakar sampah yang cukup fantastik, memang.

      Sedangkan scrap metal (barang-barang logam yang tidak terbakar) yang berhasil dikumpulkan adalah sebanyak 24 ribu ton yang kemudian dijual kepada industri daur ulang. Dari hasil penjualan listrik, barang-barang logam, dan disposal fee (tarif pembuangan limbah padat) serta subsidi pemerintah, beban biaya operasional dan pemeliharaan keempat insinerator tersebut dapat tercukupi.

      Pelabuhan Sampah di Singapura

      Oleh karena TPA Semakau terletak di lepas pantai, maka diperlukan fasilitas perantara pembuangan abu dari plant insinerator ke TPA yaitu pelabuhan sampah dan alat transportasi pelayarannya. Adalah Tuas Marine Transfer Station (TMTS) merupakan pelabuhan transit sampah yang dilengkapi dengan tempat untuk menambatkan kapal tongkang pengangkut sampah dan fasilitas bongkar-muat sampah. Biaya diperlukan untuk konstruksi TMTS sebesar 80,9 juta dolar Singapura, sedangkan untuk pembelian tongkang dan kapal penariknya memakan dana sebanyak 37 juta dolar Singapura.

      TMTS, yang terletak bersebelahan dengan Insinerator Tuas Selatan menghadap laut, memiliki area seluas 7 hektar, dengan di dalamnya terdapat area tempat menambatkan kapal tongkang. Dua kapal tongkang dengan kapasitas 3500 meter kubik sampah dapat ditambatkan dalam waktu yang bersamaan. Salah satu sisi tempat penambatan kapal tongkang dibuat lebih tinggi dari permukaan kapal dan menjorok ke tengah sehingga sampah yang dibongkar dari dump truck pengangkut abu atau puing bangunan dapat langsung jatuh ke bagian tengah kapal tongkang. Area tempat pembongkaran sampah dapat memuat 20 truk secara berjejer sekaligus. Sedangkan di sisi lainnya terdapat ekskavator yang digunakan untuk meratakan muatan tongkang.

      Tongkang yang telah penuh dengan muatan sampah kemudian ditarik dengan tuboat (kapal penarik) menuju TPA Semakau yang berjarak sekitar 25 km dari TMTS. Pelayaran dilakukan pada malam hari untuk menghindari lalu lintas kapal yang padat.

      Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa jenis-jenis teknologi yang digunakan dalam pengelolaan sampah Singapura, seperti teknologi insinerator, pelabuhan sampah, dan TPA sanitary landfill lepas pantai, adalah hightech dan padat modal. Namun berbekal kemampuan finansial, sumber daya manusia, dan political will yang kuat, saat ini Singapura berhasil mengoperasikan dan memelihara fasilitas-fasilitas tersebut sebaik-baiknya sehingga secara tuntas masalah sampah di sana tertangani.

      Maka, jadilah Singapura sebagai salah satu kota metropolitan yang paling bersih di dunia. Seandainya kita berandai-andai, mampukah Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia mengikuti jejak Singapura menggunakan insinerator modern di mana biaya kontruksi, operasi dan pemeliharaannya sangat mahal? Melihat uraian di atas, sesungguhnya tanpa didukung oleh ketersediaan dana, organisasi yang profesional, dan tenaga ahli dengan komitmen yang tinggi, serta kemauan politik dari pemerintah rasanya mustahil untuk mengaplikasikan teknologi tersebut secara berkesinambungan karena insinerator di sini tidak ubahnya merupakan sistem pembangkit listrik (tenaga sampah) dengan sistem pengendalian yang rumit dan ketat.

      TPA Singapura Berada di Tengah Laut, July 2010

      Untuk menciptakan area pembuangan sampah, sebuah lingkaran tanggul sepanjang 7 km dibangun untuk menutup bagian timur Pulau Semakau dan Pulau Sekang. Tanggul tersebut dibuat dari jutaan meter kubik batuan dan pasir yang, tentu saja berasal dari kepulauan Riau, melingkupi areal seluas 350 hektar (tiga kali lebih luas dari TPA Bantargebang). Areal tersebut seperti lakyaknya sebuah laguna raksasa, di mana sebagian areanya sudah diisi dengan timbunan sampah, dan sebagian besar lainnya masih berisi air laut.

      Untuk mencegah infiltrasi air leachate (lindi) ke perairan laut di sekitarnya, pada bagian dasar tanggul dan dasar TPA dilapisi dengan membran impermeable (kedap air) dan lapisan clay (lempung), sehingga pencemaran lingkungan dapat dicegah. Selanjutnya, lindi yang berasal dari TPA tersebut dipompa dan ditampung di unit pengolahan limbah cair yang terletak di dalam area TPA itu sendiri.

      TPA Semakau pada dasarnya merupakan duplikasi dari TPA lepas pantai yang berada di Tokyo, Jepang, yaitu TPA lepas pantai Outer Central Breakwater dan New Sea Surface yang berkapasitas 120 juta meter kubik sampah. TPA Semakau sendiri memiliki kapasitas tampung sebesar 63 juta meter kubik sampah sehingga diperkirakan dapat menampung sampah Singapura sampai 40 tahun mendatang. Bila penuh nanti, TPA Semakau merupakan pulau baru seluas ratusan hektar yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti taman wisata, daerah industri, dsb.

      Oleh karena letaknya di lepas pantai, di TPA Semakau juga dibangun pelabuhan sampah yang berfungsi sebagai tempat pembongkaran sampah dari barge (kapal tongkang) pengangkut sampah yang berlayar ke TPA tersebut. Limbah padat dari kapal tongkang dibongkar dengan ekskavator dan dimasukan ke dalam truk berkapasitas 35 ton untuk dibawa ke area pembuangan. Di area tersebut sampah dibongkar, kemudian diratakan, dan dipadatkan dengan buldozer. Untuk membangun TPA Semakau dan fasilitas pendukungnya, Pemerintah Singapura menghabiskan biaya sebesar 610 juta dolar Singapura. Biaya tersebut lebih mahal dari yang dibutuhkan untuk membangun TPA sanitary landfill di daratan.

      TPA Semakau tidak seperti TPA di Indonesia, material sampahnya tidak menimbulkan emisi gas yang berbau dan relatif stabil karena sampah yang masuk berupa material inert seperti abu sampah yang berasal dari insinerator dan bongkaran bangunan.

      Strategi Singapura Takhlukan Sampah, July 2010

      Semua orang mahfum bahwa mengelola sampah perkotaan dengan volume ribuan meter kubik perhari dan karakteristiknya yang beragam bukanlah hal yang mudah. Terbukti sampai saat ini, berbagai masalah yang diakibatkan oleh sampah susul-menyusul tiada henti, seperti kasus tempat pembuangan akhir sampah (TPA) yang terbakar, pencemaran bau dan lindi, kasus TPST Bojong, dan bencana sampah longsor di TPA Leuwigajah, Bandung.

      Salah satu dari penyebab munculnya masalah-masalah tersebut di berbagai kota metropolitan atau kota-kota besar di Indonesia adalah karena strategi pengolahan dan pembuangan sampah yang aman terhadap lingkungan belum dilaksanakan secara terintegrasi, dimana saat ini sampah umumnya hanya dikumpulkan di tempat penampungan sampah sementara, kemudian diangkut dengan truk, dan dibuang di TPA ala kadarnya.

      Berbicara tentang strategi pengelolaan sampah kota metropolitan, sebagai pembanding, ada baiknya kita intip strategi negara jiran terdekat kita yakni Singapura dalam menakhlukkan sampah hingga negeri itu berhasil mendudukkan dirinya sebagai salah satu kota yang hijau dan terbersih di dunia cocok dengan semboyannya: Singapore, clean and green!

      Menurut data dari Kementrian Lingkungan Hidup Singapura, Singapura, negeri dengan wilayah daratan seluas DKI Jakarta atau sekitar 650 km2 dan berpenduduk lebih dari 4,6 juta jiwa, menghasilkan sampah sekitar 7600 ton perharinya. Untuk menangani sampah sebanyak itu, yang notabene 1000 ton lebih banyak dari produksi sampah Jakarta, Pemerintah Singapura memilih strategi pengelolaan sampah berupa penerapan teknologi insinerator yang dapat mengubah sampah menjadi energi listrik (waste to energy) dan pembangunan TPA sanitary landfill di lepas pantai.

      Pemilihan teknologi insinerasi didasarkan karena teknologi tersebut mampu mereduksi volume sampah harian hingga 90 persen sehingga masa pakai TPA menjadi semakin panjang. Umur TPA menjadi sangat penting di sana karena sebagai kota metropolitan dan industri, Singapura tidak lagi menyisakan daratannya untuk usaha non-produktif seperti TPA sehingga pembangunan TPA-nyapun mau tidak mau memanfaatkan wilayah lepas pantai dengan persyaratan teknis yang sangat ketat. Selain karena keterbatasan lahan, pemilihan teknologi tersebut, yang cukup mahal, rumit, dan hightech, juga didasarkan pada sudah matangnya kesiapan finansial, perangkat hukum, institusi pengelola, dan sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah.

      Dengan strategi tersebut, sistem pengelolaan sampah di Singapura jelas tidak sekedar menerapkan prinsip kumpul, angkut, dan buang seperti yang banyak dipraktekkan di kota-kota besar di Indonesia, tetapi prinsipnya adalah sampah dikumpulkan, kemudian dipadatkan (di transfer station) untuk kemudian diangkut dan dibakar (di insinerator), dan terakhir dibuang (di sanitary landfill di lepas pantai).

      Sebelum bulan April 1999, tempat pembuangan sampah Singapura sebenarnya terletak di TPA Lorong Halus yang letaknya di kawasan pantai berawa bagian timur laut Singapura. Namun karena TPA tersebut sudah penuh dan tidak tersisa lagi daratan Singapura untuk TPA, maka dibuatlah TPA sanitary landfill lepas pantai di selatan Singapura yang sekarang dikenal sebagai TPA Semakau.

      HASIL PANEN VERMIKOMPOSTING

      Kascing

      Dibandingkan dengan pupuk organik kompos, secara khusus, casting strukturnya lebih halus dan memiliki kandungan fitohormon yang diperlukan bagi tanaman. Namun secara umum manfaatnya tidak berbeda dengan kompos lainnya yakni sebagai soil conditioner. Kascing mengandung berbagai unsur hara dan mineral penting yang dibutuhkan oleh tanaman. Kascing juga memperbaiki struktur dan tekstur lahan kritis dan tanah pertanian. Kascing meningkatkan porositas, aerasi dan komposisi keanekaragaman mikroorganisma tanah. Selain itu, kascing juga meningkatkan daya ikat tanah terhadap air dan kompos dapat meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk kimia.

      Biomassa Cacing

      Sedangkan biomassa cacing dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani, dan bahan baku obat dan kosmetik, bahan makanan dan minuman, serta sebagai pakan ternak. Kandungan protein hewani cacing antara 60% – 72% (PEC, 1982). Kandungan asam amino pergramnya lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ikan dan daging. Cacing tanah sering digunakan sebagai obat penurun panas, darah tinggi, rematik dan tifus. Untuk kosmetik, tepung cacing dimanfaatkan sebagai bahan lipstik dan pelembab. Di beberapa negara cacing tanah bukan hanya untuk pakan ternak tetapi digunakan sebagai makanan seperti verne de tere (Perancis), perkedel lumbricus (Filipina), vermiburger dan vermijuice.

      TATA CARA VERMICOMPOSTING

      Terdapat tiga fase dalam tata laksana vermicomposting, yaitu fase persiapan, pelaksanaan, dan perawatan. Fase persiapan meliputi penentuan lokasi, pemilihan sistem, pembuatan bangunan, dan pengadaan alat. Fase pelaksanaan meliputi pembuatan media, pengadaan bibit, dan penanaman. Sedangkan fase perawatan meliputi pemberian pakan, pembalikan, penggantian media, pemanenan media, pengontrolan media, dan pengontrolan hama.

      1. Fase Persiapan
      1.1. Penentuan Lokasi.


      Lokasi vermicomposting sebaiknya sedekat mungkin dengan sumber sampah yang akan ditangani sehingga akan menghemat ongkos angkut sampah. Di sana diperlukan pula sumber air untuk keperluan penyiraman pada saat pembuatan media cacing. Untuk itu dibutuhkan pula penerangan.

      1.2. Pemilihan Sistem.


      Sistem vermicomposting meliputi sistem rak bertingkat, sistem larikan dan sistem bak atau lubang. Pada sistem rak, cacing tanah dipelihara dalam wadah yang diletakan pada rak. Wadah dapat berupa bak plastik, kayu, bambu, dsb. Sistem larikan dilakukan dengan menempatkan media pemeliharaan cacing dalam suatu larikan memanjang di atas lahan tanpa pembatas pada bagian pinggirnya. Sedangkan pada sistem bak atau lubang cacing ditempatkan di dalam bak atau lubang. Ketiga sistem tersebut disesuaikan dengan kemudahan para pekerja dalam penanganan, perawatan, pengontrolan dan pendugaan produksi cacing dan casting.

      Kelebihan sistem rak dibandingkan dengan sistem larikan atau bak/lubang antara lain adalah lebih hemat lahan, pengontorolan lebih mudah, produksi cacing lebih mudah diatur, serangan hama mudah dicegah, kokon yang dihasilkan tidak banyak terbuang. Sedangkan kekurangannya adalah modal yang diperlukan relatif tinggi karena perlu dibangun sistem rak. Kebutuhan tenaga kerja juga tinggi.

      Sedangkan kelebihan sistem larikan atau bak/lubang dibandingkan dengan sistem rak bertingkat adalah produksi kascing lebih besar, modal rendah, tenaga kerja lebih sedikit, dan pemanenan lebih mudah. Sedangkan kekurangannya adalah butuh lahan yang banyak dan kokon banyak terbuang.

      1.3. Pembuatan Bangunan.

      Pada prinsipnya vermicomposting itu sebaiknya tidak terkena sinar matahari dan air hujan secara langsung. Untuk usaha skala kecil, vermicomposting dapat dilakukan di emperan rumah atau di bawah naungan pohon. Sedangkan untuk usaha skala lebih besar diperlukan bangunan los terbuka beratap. Bangunan sebaiknya dipagar untuk menghindari hewan pengganggu. Lantai sebaiknya bersemen dan ada sistem drainase agar terlihat rapi dan bersih.

      1.4. Pengadaan alat.

      Beberapa alat bantu yang diperlukan dalam vermicomposting antara lain cangkul biasa, cangkul garpu, golok, timbangan, plastik terpal, sarung tangan, ember, karung dan gerobak dorong. Sedang alat analisa yang diperlukan antara lain termometer, soil tester dan pH meter.

      2. Fase Pelaksanaan
      2.1. Pembuatan media.


      Media dapat dibuat dari “sampah basah” seperti sampah pasar, sampah kebun, sampah rumah tangga, dll. Bahan baku media tersebut akan lebih baik apabila dicampur dengan kotoran ternak. Bahan tersebut kemudian dibuat sebagai media melalui cara pengkomposan selama 15 – 21 hari. Sebelumnya bahan-bahan tersebut dicacah 2 – 3 cm. Setelah dikomposkan setengah matang, media tersebut diangin-anginkan selama 2 hari. Media yang baik warnanya tidak terlalu gelap, baunya tidak menyengat, kandungan airnya 60 persen, pH 6,8 – 7,2, temperatur 26 – 32oC, berongga dan mengandung zat pakan yang cukup (Maskana, 1990).

      2.2. Pembuatan pakan.

      Pakan dapat berasal dari sampah organik, kotoran ternak atau gabungan keduanya. Untuk sampah organik perlu diblender terlebih dahulu kemudian diperam selama sehari-semalam. Untuk kotoran ternak, kotoran tersebut didiamkan dahulu selama 3 hari, kemudian di tambahkan air menjadi bubur.

      2.3. Pengadaan bibit.

      Bibit cacing yang baik berumur sekitar 3 bulan. Biasanya klitelumnya sudah terlihat, warnanya cerah, gerakannya aktif dan gesit, peka terhadap sentuhan, bentuk tubuh berisi dan tidak cacat.

      2.4. Penanaman.

      Cacing tanah ditabur sedikit demi sedikit secara merata di atas media. 20 liter media membutuhkan cacing sekitar 1 kg (Maskana, 1990). Setelah dilakukan penanaman media harus ditutup agar suasananya gelap bagi cacing. Jika medianya cocok cacing akan betah di dalamnya. Sedangkan kalau tidak cocok, cacing akan muncul ke permukaan dan mengumpul. Hal itu dapat disebabkan antara lain karena media masih terlalu panas, kandungan airnya terlalu tinggi atau media tersebut mengandung minyak, pestisida atau sabun.

      3. Fase Perawatan
      3.1. Pemberian pakan.


      Banyaknya pakan yang diperlukan cacing secara teoritis adalah seberat badannya. Pakan ditaruh di atas media secara merata. Pemberian pakan dapat dilakukan sehari sekali atau dua hari sekali.

      3.2. Pembalikan.

      Di dalam perawatan cacing tanah media harus dibalik agar tetap porous. Pembalikan sebaiknya dilakukan dengan tangan secara langsung seminggu sekali apabila sudah terlihat memadat.

      3.3. Pengontrolan Media.

      Media perlu dikontrol apabila terjadi hal-hal yang tidak wajar terhadap cacing, misalnya cacing tidak betah di media itu. Biasanya faktor yang harus dikontrol adalah kadar keasaman (pH), kelembaban dan suhu. pH yang cocok untuk cacing tanah yaitu sekitar 6,8 – 7,2, kelembaban 28 – 42% atau kandungan kadar air 60% dan suhu 26o – 32oC. Pemeriksaan kelembaban dan suhu dilakukan setiap hari, sedangkan ph cukup 7 – 15 hari sekali (Maskana, 1990).

      3.4. Pengontrolan hama.

      Hama cacing bermacam-macam. Ada yang memakannya ada pula yang memanfaatkan media menjadi sarangnya. Di antara mereka adalah unggas ( ayam, burung, bebek, dll.), tikus, katak, kadal, tupai, semut, kecoa, dan lipan. Untuk mengontrol hama pemangsa, alternatif terbaiknya adalah dengan membuat pagar atau penghalang yang dapat mencegah masuknya hama tersebut. Sedangkan untuk hama pengganggu dilakukan dengan cara mengontrol media agar tidak terlalu kering dan teknik perawatan lainnya serta menjaga kebersihan kandang (Soenanto, 2000 dan Listyawan et.al. 1998).

      3.5. Pemanenan.


      Penggantian media atau pemanenan biasanya dilakukan setelah 30 hari penanaman di mana kondisi media sudah seperti tanah. Pemanenan kascing dapat dilakukan dengan berbagai cara. Untuk vermicomposting yang dilakukan di dalam wadah cara yang mudah adalah dengan sistem piramid. Sedangkan untuk skala besar dilakukan dengan sistem blok (horisontal), sistem tangga (vertikal) dan sistem pancingan (Maskana, 1990; Listyawan et.al. 1998).

      Sistem piramid dilakukan dengan cara menggembur-gemburkan media dan membentuknya menjadi seperti piramid dan secara alamiah cacing akan berkumpul di bagian bawah piramid sehingga bagian atas piramid tersebut dapat dipanen.

      Sistem horisontal dilaksanakan dengan cara menggeser media lama sehingga terdapat ruangan kosong. Kemudian ruangan kosong tersebut diisi dengan media baru. Cacing sedikit demi sedikit akan berpindah ke media baru, meninggalkan media lama sehingga media lama yang sudah menjadi casting dapat dengan mudah dipanen.

      Sistem vertikal prinsipnya seperti sistem horisontal, hanya saja media baru diletakan di bawah media lama. Cacing akan berpindah ke media baru, sehingga media lama yang berada di atas akan ditinggalkan cacing. Sistem pancing dilakukan dengan meletakan pakan di atas media. Cacing akan berkumpul menyantap pakan yang berada di permukaan media. Pada saat ini cacing dapat dipisahkan dengan media.

      3.6. Pembibitan Cacing

      Setelah berumur dua tahun produktivitas cacing tanah sudah menurun sehingga perlu diganti dengan cacing yang masih produktif. Untuk itu aspek pembibitan cacing menjadi penting untuk dilaksanakan. Untuk pembibitan, cacing dewasa ditanam di media baru untuk menghasilkan kokon (telur) selama 3 sampai 4 minggu. Setelah terdapat banyak kokon, cacing induk dikeluarkan dan kokon tersebut dibiarkan menetas selama sekitar 6 minggu. Setelah itu setiap 2 minggu sekali media diganti dengan media baru sampai anakan cacing berumur 1 – 3 bulan.
       

      Cara Mudah Membuat Komposter, Apr 2010

      Membuat komposter sendiri di rumah dapat menggunakan berbagai wadah yang terdapat di rumah kita seperti ember, gentong, tong plastik, drum dan sebagainya. Cara membuatnya mudah. Kalau komposter dibuat sendiri, biayanya menjadi lebih murah. 
       
      Berikut ini akan disampaikan tata cara pembuatan salah satu bentuk komposter yang sudah teruji aplikasinya. Bahannya terbuat dari tong plastik dari jenis HDPE sehingga cukup kuat dan awet. Jenis komposter ini kalau dibeli harganya dapat mencapai Rp. 150 ribu lebih. Hanya saja pembuatan komposter lebih cocok dilakukan oleh bapak-bapak di rumah, bukan oleh ibu, karena membutuhkan keterampilan dan ‘kerja’ kaum lelaki.  
       
      Komposter tersebut didisain untuk dapat digunakan secara mudah bagi ibu-ibu rumah tangga oleh Pusat Teknologi Lingkungan (BPPT) dan telah diujicoba oleh proyek JBIC (Japan Bank for International Cooperation) pada tahun 2007 dengan hasil yang baik di wilayah RW 01 Kelurahan Cempaka Putih Timur (Jakarta Pusat). Pada tahun 2008 masyarakat di wilayah tersebut bahkan telah mereplikasi sekitar 100 komposter dalam rangka untuk produksi kompos yang bersifat komersial untuk meningkatkan penghasilan keluarga. 
       
      Pada tahun 2009, komposter tersebut juga diaplikasikan di RW 03 Kelurahan Rawajati dengan jumlah sekitar 110 komposter dalam rangka produksi kompos untuk media tanam jahe merah. Bahan • Tong plastik dan tutupnya • Styrofoam (gabus) bekas packaging • Net (jaring) • Karpet • Kompos Peralatan • Bor listrik/solder/paku • Spidol • Gunting/Cutter  
       
      Cara Membuat Komposter  
      Kunci utama proses komposting adalah adanya aerasi yang baik. Oleh karena itu pada komposter sebaiknya terdapat lubang-lubang ventilasi. Lubang ventilasi dapat dibuat dengan cara mengebornya atau melubanginya dengan solder listrik atau paku yang dipanaskan. 
       
      Caranya adalah sebagai berikut: 
      • Buatlah pola lubang dengan spidol di bagian dasar dan dinding komposter. Pola lubang pada dasar komposter dibuat melingkar dengan jarak antar lubang sekitar 4 cm. 
      • Sedangkan pola lubang pada dinding komposter adalah sebagai berikut: 
      • Dengan solder atau bor (dengan mata bor berdiameter 0,5 – 1 cm), lubangilah pola-pola tersebut secara hati-hati dan rapi. 
       
      Cara Membuat Bantalan  Bantalan komposter dibuat dari bahan styrofoam bekas, dengan cara sebagai berikut: 
      • Potong-potonglah styrofoam bekas berukuran 2 cm secukupnya. 
      • Potongan-potongan styrofoam tersebut kemudian dimasukkan ke dalam jaring agar tidak tercerai-berai. Ukuran jaring berisi potongan styrofoam disesuaikan dengan diameter komposter. 
      • Bantalan yang sudah jadi tersebut kemudian diletakkan di dasar komposter. 
       
      Catatan :
      • Kalau tidak ada jaring, dapat pula digunakan karung bawang putih atau shading net (jaring peneduh). 
      • Untuk bahan bantalannya, kalau tidak ada styrofoam, dapat pula digunakan ijuk, sabut kelapa, atau kulit padi. Gunakan material yang mudah di dapat di sekitar rumah.
       
      Cara Membuat Pelapis Bantalan dan Selimut Atas  
      • Buatlah pola melingkar pada lembaran karpet dengan bantuan tutup tong plastik dan spidol.
      • Guntinglah karpet menurut polanya. • Buatlah dua buah. 
      • Salah satunya dilubangi secara merata sebagai pelapis di atas bantalan. Yang satunya tidak perlu dilubangi, digunakan sebagai selimut penutup sampah yang sedang dikomposkan.  
       
      Penyusunan Bagian-bagian Komposter 
      • Bantalan styrofoam diletakan di bagian dasar 
      • Di atasnya ditaruh karpet pembatas yang berlubang-lubang 
      • Di atas karpet, ditaruh kompos 
      • Karpet selimut ditaruh paling atas (diatas sampah yang sedang dikomposkan).  
       
      Peralatan Pendukung Peralatan komposting sampah rumah tangga, selain komposter, adalah :
      • Gunting atau golok (digunakan untuk mencacah sampah).
      • Cetok (digunakan untuk membolik-balik kompos.
      • Tatakan (untuk wadah sampah yang sudah tercacah sebelum dimasukkan ke komposter).

      Membuat Kompos dengan Komposter Aerobik, May 2010

      Berikut ini adalah tahap-tahap komposting sampah rumah tangga dengan menggunakan komposter aerobik.  
       
      Tahap 1 • Pisahkan sampah organik dari sampah plastik, kaleng, kertas, kaca, dan sebagainya. • Pisahkan pula sampah organik tersebut dari sampah anorganik yang tidak dikehendaki kehadirannya atau tidak baik dikomposkan seperti tulang, ranting, kayu, dan sebagainya.
       
      Tahap 2 • Sampah organik berupa sisa makanan, kulit buah, dan sisa sayuran dan daun-daunan bila ukurannya terlalu besar dicacah dengan golok/pisau/gunting hingga berukuran 0,5 - 1 cm.  
       
      Tahap 3 • Masukkan sampah yang telah dicacah tersebut ke dalam komposter.  
       
      Tahap 4 • Sampah yang telah dimasukan ke dalam komposter tersebut diaduk-aduk dengan cetok sehingga bercampur merata dengan kompos yang telah berada di dalam komposter. • Usahakan sampah tersebut tercampur merata dan masuk dalam tumpukan kompos.  
       
      Tahap 5 • Setelah tercampur merata, selimutilah bagian permukaannya dengan karpet yang telah tersedia. • Tutuplah komposter dengan penutupnya agar terhindar dari gangguan lalat, kucing dan anjing.  
       
      Tahap 6 • Pada hari berikutnya lakukanlah hal yang sama dari tahap 1 sampai 5. • Campuran sampah yang baru dimasukkan ke dalam komposter dan diaduk-aduk dengan material yang telah ada sebelumnya.  
       
      Tahap 7 • Jika komposter pertama telah penuh, isilah komposter yang kedua dengan sampah seperti tahap 1, 2, 3, 4, 5 dan 6
       
      Tahap 8 • Sejalan dengan waktu, setelah 2 sampai 3 bulan, komposter yang kedua akan penuh juga. • Pada saat 2 sampai 4 minggu setelah pengisian komposter kedua, sampah yang berada di komposter pertama biasanya telah menjadi kompos sehingga dapat dipanen komposnya. • Dengan pemanenan tersebut berarti komposter yang pertama dikosongkan sehingga dapat dipakai lagi untuk pengomposan siklus berikutnya, setelah komposter kedua penuh.  
       
      Tahap 9 • Kompos yang telah dipanen sebaiknya diayak sebelum digunakan atau dikemas agar seragam dan homogen ukurannya. Kompos kasar yang tidak lolos ayakan dicampurkan lagi dalam pengomposan.  
       
      Catatan : Ciri-ciri kompos matang adalah sebagai berikut:  Baunya seperti tanah  Warna coklat kehitaman  Bentuknya sudah hancur  Tidak menyerupai bahan awalnya  Suhunya tidak panas lagi (suhu ruangan)  
       
      Tahap 10 • Kompos halus hasil pengayakan apabila belum dipakai dapat dikemas atau disimpan dalam ember dan diletakan di tempat yang tidak lembap dan terhindar dari gangguan tikus.
       

      TPST Rawasari, May 2010

      Tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Rawasari pertama kali dibangun pada tahun 2000 dengan dana APBD Pemda DKI Jakarta dalam Kegiatan Pengelolaan Sampah Kota secara Terpadu Menuju Zero Waste. Kegiatan tersebut dimaksudkan sebagai penyediaan sarana pengelolaan sampah skala kawasan di Jakarta. Pengelolaan TPST Rawasari dilaksanakan secara bersama antara Pusat Teknologi Lingkungan – BPPT (sebagai lembaga riset teknologi) dan Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Pada tahun 2005, TPST Rawasari dikembangkan oleh BPPT dengan memperluas bangunan pengomposan dan peningkatan kegiatan operasionalnya. Selanjutnya pada tahun 2007, di-install mesin-mesin daur ulang sampah sehingga performansi TPST Rawasari semakin lengkap.  
       
      Saat ini pengembangan TPST Rawasari juga diintegrasikan dengan pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dilakukan oleh RW 01 dan RW 02 Kelurahan Cempaka Putih Timur- Jakarta Pusat. Di dalam kompleks Rawasari terdapat beberapa fasilitas pengelolaan sampah yaitu composting hall, pelbagai mesin daur ulang sampah anorganik, TPS Indoor, dan incinerator kecil. 
       
      Saat ini, sebagian besar sampah yang tidak diolah sendiri oleh warga RW 01 dan 02 dibawa ke kompleks TPST Rawasari. Di TPST, sebagian sampah dikomposkan dan didaur ulang, dan sebagian lainnya dimasukkan ke TPS indoor untuk dipres dan diangkut ke TPA Bantargebang. Sebagian kecil residu sampah dibakar di dalam incinerator kecil. Dengan adanya integrasi pengolahan sampah di tingkat masyarakat dan di TPST Rawasari, volume sampah yang diangkut ke TPA menjadi berkurang sehingga mengurangi ongkos pengangkutan sampah dan memperpanjang umur TPA. 
       
      Selain itu, didapatkan pula produk samping yang bermanfaat seperti pupuk kompos, produk daur ulang plastik, kertas, dsb. Model pengelolaan sampah tersebut dapat direplikasi di tempat lainnya sesuai dengan kondisi daerahnya.

      Gerakan 3R di Jakata Pusat, May 2011

      Dalam rangka mendukung pengelolaan sampah berbasis masyarakat di DKI Jakarta, telah dilakukan pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah di RW 01 dan RW 02 Kelurahan Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat. Kader lingkungan yang terbentuk berjumlah lebih dari 42 orang yang terdiri atas kader yang bermukim di RW 01 dan RW 02 dan yang bermukim di luar kedua RW tersebut. Dengan adanya pengembangan tersebut, jumlah total kader lingkungan di wilayah RW 01 dan RW 02 Kelurahan Cempaka Putih Timur menjadi 77 orang yang pada mulanya hanya 53 orang. Komposisi kader lingkungan didominasi oleh para ibu (70%), sisanya pria (30%).  

      Para kader lingkungan memiliki tanggung jawab untuk mengajak para tetangganya menjaga kualitas lingkungan hidup di sekitar rumah masing-masing terutama masalah kebersihan dan daur ulang sampah. Para kader lingkungan juga mempunyai kewajiban untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan pengolahan sampahnya kepada yang membutuhkan. Untuk melihat aktivitas nyata para kader lingkungan, setelah pelatihan, dilakukan monitoring secara reguler. Pelaksanaan monitoring juga dilakukan sekaligus untuk pendampingan dan pembinaan kepada para kader lingkungan sehingga apabila menemui kesulitan dalam melakukan aktivitasnya dapat segera diatasi. 

      Monitoring kegiatan dilakukan dengan cara (i) wawancara secara langsung dengan para kader lingkungan, (ii) penyebaran kuesioner, dan (ii) kunjungan monitoring secara reguler 3 – 4 minggu sekali ke para kader lingkungan. Selain itu dilakukan juga berkoordinasi dengan para stakeholders yang terkait, misalnya Suku Dinas Kebersihan Jakarta Pusat, Pusat Teknlogi Lingkungan – BPPT, Yayasan Uli Peduli, dan Pemerintah Kelurahan Cempaka Putih Timur. 

      SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH TERINTEGRASI RW 01 dan RW 02 Kelurahan Cempaka Putih Timur merupakan daerah permukiman padat penduduk dengan jumlah KK 1.265 atau sekitar 5.060 jiwa. Diperkirakan jumlah sampah yang diproduksi perharinya 15 m3. Sampah warga didominasi oleh sampah organik, 65,55%. Sedangkan sampah lainnya adalah sampah anorganik yang didominasi oleh sampah kertas (10,57%) dan plastik (13,25%). Oleh sebagian warga dan para kader lingkungan sampah yang dihasilkannya dipilah-pilah untuk kemudian dikomposkan dan dimanfaatkan menjadi kerajinan tangan. 

      Residu sampahnya kemudian dibuang ke temat sampah. Tempat sampah yang digunakan oleh warga cukup beragam seperti tong plastik, drum seng, bak yang disemen, ember plastik, dan kantong plastik. Namun, Sebagian besar wadah sampah yang dipakai berupa drum dan tong plastik karena gampang dipindah-pindah dan tidak permanen sesuai dengan lingkungan jalan yang sebagian besar berupa gang yang tidak terlalu lebar dan tanpa trotoar. Wadah sampah dan komposter diletakan di depan rumah atau di pinggir-pinggir jalan masuk. 

      Sampah dari rumah tangga yang tidak diolah menjadi kompos kemudian dikumpulkan ke dalam gerobak sampah setiap 2 – 3 hari sekali dan diangkut ke kompleks Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Rawasari yang dikelola oleh Dinas kebersihan DKI Jakarta bekerjasama dengan BPPT. Di TPST tersebut, sebagian besar sampah dikomposkan dan didaur ulang, dan sebagian lainnya dimasukkan ke TPS indoor untuk dipres dan diangkut ke TPA Bantargebang. Sebagian kecil residu sampah dibakar di dalam incinerator.

      PENGELOLAAN SAMPAH MANDIRI Salah satu RT yang paling menonjol dalam pengelolaan sampahnya adalah RT 04 dan RT 08 RW 01. Kegiatan penghijauan lingkungan di RT tersebut telah dimulai sejak tahun 2004 oleh ibu-ibu yang tergabung dalam dasa wisma. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada tahun 2005 menjadi juara 2 Lomba Penghijauan tingkat DKI Jakarta. Selanjutnya pada tahun 2006, kegiatan penghijauan dan pengelolaan kebersihan mendapatkan perhargaan dalam lomba “Green and Clean 2006” yang diadakan oleh Yayasan Uli Peduli. Dari hasil studi diketahui bahwa sebanyak 53% kader lingkungan telah melakukan pemilahan sampah dan pengomposan sampah setiap hari, sedangkan sebagian lainnya melakukannya 2 – 3 hari sekali. Sebanyak 89% kader lingkungan yang tidak mengomposkan setiap hari beralasan karena jumlah sampah organiknya sedikit. Sedangkan lainnya beralasan sibuk. 

      Sampah organik yang dikomposkan antara lain berupa daun-daun pohon, sampah tanaman hias, kulit buah, sisa potongan sayur sebelum dimasak, dan sisa makanan. Jenis sampah yang dominan dikomposkan berupa sampah daun, kulit buah dan potongan sayuran. Jika dilihat dari jumlah sampah yang dikomposkan, maka jumlah jumlah sampah yang dikomposkan di RW 01 juga semakin meningkat. Pada saat sebelum pilot project berjalan, sampah yang dikomposkan diperkirakan hanya 624 liter per bulan, tetapi setelah pilot project berjalan sampah yang dikomposkan menjadi 984 liter per bulan. 

      Sejalan dengan peningkatan jumlah pengomposan, jumlah produk kompos juga diperkirakan meningkat dari 156 liter menjadi 246 liter perbulannya. Pengelolaan sampah anorganik juga tidak kalah pentingnya dengan pengomposan. Sebanyak 42% kader lingkungan menyatakan telah memanfaatkannya kembali sampah plastik antara lain untuk pot dan kerajinan tangan. Sedangkan sebanyak 21% mengumpulkan dan memberikannya kepada pemulung. Namun ternyata masih ada kader lingkungan (sebanyak 10%) yang belum memanfaatkannya dan sampah anorganiknya langsung dibuang ke tempat sampah sebagaimana residu sampah lainnya. 

      Sampah plastik yang dijadikan pot umumnya adalah botol/gelas air mineral dan kaleng plastik cat. Sedangkan sampah plastik yang biasanya dibuat kerajinan adalah plastik-plastik kemasan yang tebal dan berpenampilan bagus. Salah seorang kader lingkungan, Bapak Hendrik (RT 08/RW 02), telah memanfaatkan secara khusus kaleng plastik cat untuk bahan baku komposter yang dipesan oleh Yayasan Uli Peduli untuk disebarkan di berbagai tempat di Jakarta. Kaleng cat tersebut didesain sedemikian rupa dan dicat warna-warni sehingga penampilannya menarik. Sementara itu, kader lingkungan Ibu Tri Darmayanti (RT 08/RW 02), telah mendapatkan pelatihan khusus pembuatan kerajinan tangan berbahan baku plastik kemasan dari Yayasan Uli Peduli. Produk kerajinan tersebut berupa tas, dompet, tempat tissue, taplak meja, karpet, dsb. Ibu Tri mendapatkan pula bantuan mesin jahit dari Yayasan Uli Peduli. 

      Produk-produk kerajinan tersebut dijual di beberapa pusat-pusat pertokoan di Jakarta. Seperti halnya di Banjarsari (Jakarta Selatan), di lokasi tersebut juga memiliki motivator pengelolaan sampah seperti halnya Ibu Bambang Wahono. Beliau adalah Ibu Warso. Usianya pun hampir sama yakni 70-an, tetapi semangatnya masih menyala-nyala. Saat ini beliau juga sebagai tenaga pengelola TPST Rawasari. PESAN GUBERNUR DKI JAKARTA Untuk mensosialisasikan pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Jakarta, diadakanlah sebuah acara yang dihadiri oleh Gubernur DKI Jakarta pada awal tahun 2008. Pada acara tersebut, Gubernur mencanangkan “Gerakan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat”. 

      Rangkaian acara tersebut meliputi kunjungan Gubernur DKI Jakarta beserta stafnya ke RW 01. Setelah itu, Gubernur berjalan kaki menuju kompleks TPST Rawasari yang berjarak sekitar 200 meter. Di TPST tersebut Gubernur meninjau kegiatan pengomposan dan daur ulang sampah skala kawasan dan ke TPS Indoor. Acara kunjungan ke berbagai tempat tersebut dilanjutkan dengan dialog dengan warga Jakarta tentang permasalahan lingkungan yang dihadapi. Gubernur Fauzi Bowo dalam sambutannya mengatakan bahwa melibatkan peran serta kader lingkungan dan warga masyarakat sangatlah efektif dalam mereduksi sampah sehingga biaya trasportasi sampah semakin efisien dan umur TPA Bantargebang semakin panjang. Disamping itu, melibatkan masyarakat untuk mengolah sampah memberikan manfaat bagi masyarakat itu sendiri. Gubernur mengakui butuh waktu yang panjang untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mengolah sampahnya secara mandiri. Oleh karena itu diperlukan pimpinan komunitas dan kader-kader lingkungan yang tekun untuk menumbuhkan kesadaran warga mengolah sampahnya sendiri. ***

      Standar Pupuk Organik Granul Perlu Direvisi

      Di dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah, dikenal istilah Pupuk Organik Granul. Pupuk organik didefinisikan sebagai pupuk yang berasal dari sisa tanaman dan/atau kotoran hewan yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair dan dapat diperkaya dengan bahan mineral alami dan/atau mikroba yang bermanfaat memperkaya hara, bahan organik tanah, dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

      Permentan No. 28/Permentan/SR.130/5/2009 lahir dalam rangka mendukung program subsidi pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah kepada petani yang diberikan melalui Departemen Pertanian. Para produsen pupuk organik granul harus memperhatikan Permentan tersebut. Namun sayangnya, di dalam persyaratan teknisnya pada beberapa hal masih terdapat informasi yang mengundang banyak pertanyaan sehingga perlu direvisi.

      Berdasarkan Permentan No. 28/Permentan/SR.130/5/2009, beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam POG antara lain adalah rasio C/N, kandungan bahan ikutan, kandungan unsur mikro, kandungan organisme patogen, kandungan organik, dan kadar air.

      Dalam Permentan tersebut, pupuk organik granul dibagi menjadi dua kelompok yaitu pupuk organik granul biasa (tanpa tambahan mikroba fungsional) dan pupuk organik granul dengan tambahan mikroba fungsional (seperti mikroba penambat N2 bebas, mikroba pelarut P, mikroba penyedia K dan sebagainya). Perbedaan kedua kelompok tersebut dalam persyaratan teknisnya hanya pada kriteria kandungan mikroba fungsional dan kadar air.

      Kadar Air

      Kadar air yang diperbolehkan dalam pupuk organik granul murni adalah antara 4-15%, sedangkan untuk pupuk organik granul yang diperkaya mikroba adalah 10-20%.

      Batasan kadar air serendah itu untuk proses produksi pupuk organik granul dari kompos perlu dikritisi karena dalam proses pembuatannya boros energi dan mematikan kandungan beraneka ragam mikroba positif bawaan (native microbe) kompos yang digranulkan. Mengapa boros energi dan mematikan aneka mikroba?

      Hal itu disebabkan karena untuk mengejar persyaratan tersebut, para produsen pupuk organik granul biasanya menggunakan mesin pengering dengan suhu hingga 100-200oC sehingga memerlukan pasokan energi yang cukup tinggi. Pasokan energi yang tinggi berarti pasokan biaya yang tinggi pula.

      Sementara itu, dengan ekspos suhu di atas 100oC selama beberapa detik atau menit di mesin pengering, aneka ragam mikroba positif yang terdapat di dalam pupuk organik granul akan mati. Padahal mikroba-mikroba yang terdapat dalam kompos sangat bermanfaat dalam peningkatan kesuburan tanah.

      Dengan demikian, implikasi dari persyaratan kadar air tersebut telah membawa pada konsekuensi logis pada pemborosan energi dan matinya aneka mikroba positif. Oleh karena itu hendaknya persyaratan kadar air dalam Permentan tersebut tidak serendah itu, tetapi ditingkatkan menjadi lebih tinggi lagi misalnya 20-30% (baik bagi pupuk organik granul murni maupun pupuk organik granul yang diperkaya mikroba).

      Penentuan kadar air serendah itu mungkin cocok bagi industri pupuk kimia granul, bukan pupuk organik granul, yang memang bebas dari mikroba dan memerlukan bentuk yang kompak, bulat, dan keras.

      Kandungan Mikroba Fungsional

      Kandungan mikroba fungsional (penambat N, Pelarut P, atau Penyedia K) di dalam pupuk organik granul hasil pengayaan, minimal sebanyak 103/gram. Penambahan mikroba fungsional tersebut tentunya akan lebih efektif lagi kalau mikroba positif penghuni kompos tidak keburu mati pada saat pengeringan granul.

      Dan seandainya tanpa pengeringan dengan suhu tinggi (dalam rangka menuju kadar air yang distandarkan), pupuk organik granul murni (sekalipun tanpa penambahan mikroba fungsional) secara alami telah membawa mikroba fungsional pula dengan jenis yang sangat beraneka ragam dan relatif adaptif.

      Selain itu, seandainya pengeringannya dilakukan dengan suhu yang tidak terlampau tinggi, penambahan mikroba fungsional dapat dilakukan pada tahap granulasi sehingga tahap pengayaan mikroba setelah proses pengeringan dapat ditiadakan. Hal tersebut berarti juga akan menghemat ongkos produksi pupuk organik granul.

      Rasio C/N

      Dalam Permentan, rasio C/N yang biasanya terkait dengan tingkat kematangan produk kompos tidaklah mendapat perhatian yang serius sehingga nilainya relatif longgar dan rancu. Terkait dengan hal tersebut, di persyaratan disebutkan bahwa kandungan rasio C/N pupuk organik granul antara 15-25.

      Rasio C/N dengan ambang batas atas sebesar 25 terlalu longgar karena biasanya dengan nilai sebesar itu dalam kacamata komposting, komposnya belum begitu matang. Sementara itu pembatasan rasio C/N pada batas bawah 15 adalah rancu, karena sebenarnya rasio C/N akan semakin baik jika semakin mendekati rasio C/N tanah (sekitar 10).

      Cara pandang terhadap besaran rasio C/N tidak bisa dilepaskan dengan kriteria kompos matang karena bahan baku pupuk organik granul adalah kompos. Umumnya kriteria kompos yang telah matang adalah di bawah angka 20, dan tanpa ambang batas bawah.

      Tingkat Keasaman (pH)

      Di dalam Permentan tingkat keasaman pupuk organik granul terlalu longgar rentangnya yaitu antara 4-8. Hal ini juga mengundang pertanyaan karena nilai pH 4 merupakan nilai yang cukup ekstrim (karena sangat asam) bagi kehidupan organisma sehingga pemakaiannya untuk tanaman pada keasaman tersebut perlu dipertimbangkan dengan baik. Jika pH-nya masih serendah itu, tanaman yang dipupuk bisa mati. Standar keasaman yang baik adalah antara 6,5- 8,0.

      Kandungan Unsur Makro (C, N, P2O5 dan K2O)

      Kandungan C dalam pupuk organik granul minimal 12%. Nilai kandungan C, terutama C-organik, dalam POG akan memberikan indikasi besarnya kandungan material organik, karena dalam persyaratan pupuk organik granul tidak ada kriteria kandungan bahan organik. Semakin tinggi kandungan C akan semakin tinggi kandungan bahan organik.

      Lain halnya dengan kandungan C, kandungan unsur N, dan senyawa P2O5 dan K2O justru dibatasi tidak boleh lebih dari 6%. Pernyataan tidak boleh melebihi 6% tidak jelas alasannya, karena biasanya yang dibatasi adalah kandungan minimumnya dan dibiarkan tidak ada batas atasnya. Hal tersebut terkait dengan penyediaan unsur N, P dan K yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Semakin besar kandungan unsur NPK dalam beberapa hal tentunya sangat baik bagi pemupukan.

      Kandungan Bakteri Patogen

      Nilai ambang kandungan fecal Coli dan Salmonella masing-masing adalah tidak boleh melebihi 100 MPN/gr. Bakteri Coli dan Salmonella adalah bakteri yang berasal dari saluran pencernaan manuasia dan hewan mamalia lainnya yang dapat menyebabkan sakit perut.

      Keberadaan kedua bakteri tersebut mengindikasikan bahwa material tersebut tercemar oleh material fekal (kotoran). Oleh karena bahan baku pupuk organik granul biasanya adalah kotoran hewan, maka kemungkinan pupuk organik granul yang diproduksi juga mengandung bakteri patogen tersebut. Jika kedua macam bakteri tersebut terdeteksi dalam jumlah yang banyak, kemungkinan besar material tersebut juga tercemar oleh jenis bakteri patogen lainnya.

      Kandungan bakteri patogen dapat diminimalisir atau dibasmi dengan proses komposting aerobik yang terkendali. Dalam proses komposting aerobik akan terjadi efek pasteurisasi selama beberapa hari yang dapat mematikan bibit-bibit penyakit patogen.

      Tabel Kriteria POG menurut Permentan No. 28/Permentan/SR.130/5/2009