Entri Populer

Rabu, 06 Maret 2013

Menuju Kelembagaan Zero Waste oleh Yayasan Pengembangan Bio Science

Sampah merupakan masalah sangat krusial. Lokasi pembuangan semakin sulit dicari sementara sampah terus diproduksi. Pengangguran pun demikian. Setiap tahun muncul tenaga kerja baru, sebagian besar akan menambah jumlah pengangguran. Kedua masalah ini meski tidak berkaitan langsung, ternyata bisa sekaligus ditangani oleh satu konsep: Zero Waste.

Zero Waste bisa berarti tidak memproduksi sampah. Alam adalah Zero Waste yang sempurna. Keseimbangan ekosistem. Limbah dari satu proses/makhluk menjadi makanan atau bahan baku bagi makhluk/proses lain. Tidak ada yang dibuang.
Konsep Zero Waste pada intinya mencegah membuang sampah rumah tangga keluar rumah melainkan harus diproses sendiri. Untuk itu diperlukan adanya “kelembagaan sampah” sebagai kunci sukses terlaksananya Zero Waste. Kelembagaan ini akan menunjuk penanggung jawab sampah keluarga biasanya dibebankan pada para pembantu rumah tangga (PRT).

Sebaiknya, yang menjadi penanggung jawab sampah adalah orang yang memiliki `kuasa besar` baik di rumah maupun di RT/RW setempat. Dan yang juga penting adalah kontinuitas pengelolaan sampah. Karena lengah sebentar saja, sampah akan kembali menumpuk dan akan sukar dikendalikan. Maka dari itu, perlu manajemen kontrol yang baik dan kejelasan tugas, hak, wewenang, dan penanggung jawab setiap warga.

Hal termudah yang dapat dilakukan setiap orang adalah memilah sampah rumah tangga setiap harinya. Produksi sampah normal rata-rata 1-2 kg per hari, dan hanya membutuhkan waktu paling lama 30 menit untuk menyeleksi jenis sampah-sampah tersebut. Sampah harus dipisahkan antara sampah organik (sisa makanan atau sayuran), anorganik plastik, dan anorganik kertas.
Banyaknya sampah anorganik tiap hari rata-rata seperempat dari total sampah rumah tangga. Jika telah menyeleksi sampah anorganik plastik, sampah harus dicuci bersih dan dijemur hingga kering sebelum diolah untuk meminimalisir timbulnya penyakit. Sampah-sampah itu kemudian dapat disimpan dalam tong untuk diproses menjadi pelet plastik atau seni kriya lainnya seperti tas, sandal, dan payung yang terbuat dari bungkus deterjen.

Sedangkan sampah anorganik kertas dapat dijadikan bubur kertas dalam tong untuk kemudian diproses menjadi kertas daur ulang. Beberapa waktu terakhir, kriya dari jenis sampah anorganik banyak diminati masyarakat lokal bahkan hingga ke luar negeri. Dan disinilah daya kreativitas diperlukan untuk mengubah sampah menjadi barang berguna ataupun menjadi komoditas produksi.
Jika masyarakat tidak terseret dampak revolusi industri, Zero Waste mungkin bisa mudah diraih. Dengan kondisi sekarang ini, Zero Waste tentu tidak mungkin dicapai. “Zero” agaknya hanya istilah bagi suatu sasaran ideal yang ingin dicapai. Suatu kiat berkampanye, dengan target yang mustahil dicapai namun membangun semangat. Seperti zero emissions, zero mercury atau zero accident.

Namun efektif, bisa mengubah industri dan masyarakat. Buktinya, standar industri mobil dan bahan bakar sudah berubah.
Kawasan bebas rokok tidak berarti kita terbebas dari rokok. Namun membuat masyarakat terbiasa, terlatih untuk tidak merokok atau mengurangi. Berhenti merokok menjadi mungkin. Pun mendekati Zero Waste bukan tidak mungkin. Beberapa kota di Selandia Baru contohnya, kini sudah mencapai rekor dunia 20%. Ini luar biasa. 80% limbah kota dibelokkan ke pemanfaatan. Dari pengangguran 7,5% pada Maret 1999 kini tinggal 3,6% (Sepember 2006).

Programnya dimulai secara lokal pada 1999. Ketika 2002 dicanangkan program nasional ”Zero Waste 2020,” 27 dari 74 council sudah lebih dulu menerapkannya. Dan September lalu sudah 72% Selandia Baru menerapkan Zero Waste.
Zero Waste bisa dicapai dengan memaksimalkan daurulang; meminimisasi pembuangan; mengurangi konsumsi; dan memastikan agar barang produksi bisa diperbaiki, dipakaiulang, didaurulang, atau dijadikan kompos. Karenanya, sejumlah besar lapangan kerja akan tercipta begitu konsepnya dicanangkan. Tidak akan ada pemulung lagi, mereka menjadi pengusaha, karyawan, atau konsultan. Penganggur pun tidak akan segan, karena bukan sampah yang digeluti, melainkan mencegatnya sebelum menjadi sampah.

Paul Hawken, Robin Murray dan tokoh sustainability lain sepakat bahwa Zero Waste adalah cara baru dalam menciptakan kesejahteraan ekonomi.
Di Indonesia sendiri, sudah ada lembaga yang memiliki menggalakkan Zero Waste, yaitu YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar