Entri Populer

Minggu, 28 Agustus 2011

Kembali ke Organik Sebagai Solusi untuk Mengatasi Kelangkaan Pupuk

Beberapa hari ini, seluruh media massa di Indonesia memberitakan mengenai protes petani akibat rencana pemerintah mengurangi subsidi pupuk untuk dialokasikan ke perbaikan infrastuktur pertanian. Pemerintah tahun ini memberikan subsidi sebesar 17,5 trilyun untuk 5,5 juta ton pupuk urea.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono menyatakan bahwa subsidi ini hanya menguntungkan petani besar yang menggunakan pupuk dalam jumlah besar. Pemotongan subsidi diperlukan supaya pemerintah bisa memperbaiki sarana pertanian yang lebih menguntungkan petani secara keseluruhan. Menjawab keluhan petani mengenai kelangkaan pupuk, menteri pertanian menyatakan kelangkaan ini akibat tidak imbangnya antara angka produksi pupuk dengan kebutuhan riil petani. Kemampuan pemerintah untuk menyediakan pupuk terbatas akibat mahalnya bahan baku yang masih impor.

Benarkah persoalan pertanian bisa diselesaikan dengan memberikan subsidi? Saat ini satu kilo pupuk urea di pasaran bisa didapat dengan harga sekitar Rp 1.600, padahal harga semestinya Rp 6000. Bukankah pemberian subsidi ini juga rawan diselewengkan karena ada oknum yang menimbun pupuk dan menjualnya kembali dengan harga mahal? Praktek ini akan terus terusan terjadi karena ada banyak petani yang tetap akan membeli pupuk dengan harga mahal supaya tanamannya tidak rusak dan membuat petani gagal panen.

Bagaimana dengan gagasan untuk kembali ke pertanian organik? Jika petani memilih untuk bertani secara organik, mereka tidak akan tergantung kepada pupuk kimiawi (pupuk pabrik). Membuat pupuk sendiri membuat petani lebih mandiri sehingga pemerintah tidak perlu memberi subsidi pembelian pupuk kimiawi. Saat ini, petani semakin membutuhkan banyak pupuk kimiawi karena tanah yang mereka olah sudah jenuh. Di sisi lain, pertanian organik di Indonesia dapat menjadi suatu alternatif pemenuhan kebutuhan pangan di dalam jangka panjang yang ramah lingkungan. Untuk mendukung produksi pupuk organik petani, sebaiknya pemerintah mengembangkan program ternak bagi petani. Kotoran ternak seperti sapi dapat menjadi sumber pupuk organik yang baik. Petani juga perlu mendapat bantuan untuk peningkatkan ketrampilan dalam hal pengelolaan sampah untuk dijadikan pupuk organik.

Namun, apakah kembali ke pertanian organik bisa semudah itu? Sebagian petani di Indonesia terbiasa menggunakan pupuk kimiawi yang memberi respon cepat pada tanaman. Urea, misalnya, akan menghasilkan tanaman yang tumbuh dengan cepat jika dibandingkan dengan pupuk organik. Pada masa tiga tahun pertama kembali ke pertanian organik akan menurunkan produksi pertanian. Tahun-tahun awal ini akan mengalami banyak kendala dan membutuhkan tabungan yang cukup dari petani untuk bertahan. Pertanian organik juga membutuhkan teknologi bercocok tanam, penyediaan pupuk organik, pengendalian hama tanaman menggunakan pestisida alami serta manajemen yang berbeda dengan pertanian dengan teknologi revolusi hijau.

Pemerintah, akademisi, dan berbagai lembaga yang bergerak di bidang pertanian perlu menanamkan kesadaran pada masyarakat dan petani akan perlunya melestarikan lahan dan menjaga lingkungan dengan pengurangan penggunaan bahan kimia sintetis. Semua pihak perlu bersama-sama mengubah orientasi petani yang sudah terjerumus pada sistem pertanian revolusi hijau. Produktivitas pertanian yang selama ini diupayakan dengan penggunaan benih, pupuk, dan pestisida kimia ini selain tidak ramah lingkungan juga memiskinkan petani karena mereka tidak lagi mandiri dan enggan memproduksi benih sendiri. Penyadaran ini bisa disertai promosi jika dalam jangka panjangnya pertanian organic juga memberikan keuntungan secara materi. Sebagai contoh, harga pasaran beras organik mahal. Beras biasa harganya 4.500 rupiah per kilogram sedangkan beras organik bisa mencapai 6.500 rupiah. Selain itu petani juga mendapat keuntungan tambahan karena pencemaran akibat pemakaian berlebih pupuk kimiawi dan pestisida dalam jangka panjang membahayakan kesehatan si petani, kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Pemerintah perlu memberikan prioritas pada sektor pertanian karena ada jutaan penduduk Indonesia yang bermata pencahariaan sebagai petani. Perkembangan ilmu pertanian dan ledakan populasi manusia menyebabkan kebutuhan pangan meningkat. Pemerintah pada saat itu menggalakkan revolusi hijau dengan penggunaan pupuk kimia sintetis, penggunaan pestisida, dan penanaman benih unggul berproduksi tinggi (hybrida). Awalnya hal ini meningkatkan produksi pertanian tetapi setelah sekian lama pertanian ini lebih banyak menimbulkan permasalahan. Tanah yang puluhan tahun diolah dengan pupuk kimia membutuhkan lebih banyak pupuk dan apakah hasil yang mereka dapat sepadan dengan ongkos yang mereka keluarkan?

Revolusi Hijau dahulu didesain untuk menanggulangi tingginya permintaan makanan akibat pertumbuhan penduduk di paruh kedua abad 20 dengan pola pertanian yang menggunakan pupuk kimia, pestisida, dan benih hibrida. Dilain pihak, peningkatan produksi ini memberikan konsekwensi serius pada kondisi tanah dan dampak buruk kepada lingkungan. Hal ini menyebabkan perlunya penggunaan banyak zat-zat kimia untuk bertani di tanah yang tidak lagi subur. Namun, penggantian ke sistem pertanian organik memiliki dampak jangka pendek pada produktivitas tanpa merusak lingkungan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar