Entri Populer

Jumat, 12 Agustus 2011

PENGAMANAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL SAAT MELAKSANAKAN PEMBANGUNAN (SAFEGUARDS), OLEH VS. SIMATUPANG

Fenomena yang berkembang saat ini terkait dengan pembangunan infrastruktur adalah benturan yang terjadi antara penanggung jawab proyek/pengguna anggaran pembangunan dengan warga yang terpengaruh baik secara langsung atau tidak langsung dari rencana pelaksanaan pembangunan dimaksud. Misalnya rencana pembangunan infrastruktur yang akan membebaskan lahan dari pemukiman atau aset warga. Walaupun secara hukum bahwa lahan yang akan digunakan adalah termasuk lahan/tanah Pemerintah sekalipun, aspek pengamanan lingkungan dan sosal perlu mendapat perhatian dari pemilik proyek yang akan membebaskan lahan untuk pelaksanaan pembangunan.

Ambil salah satu contoh kasus, misalnya proyek pelebaran jalan (widening), peningkatan kinerja jaringan jalan, atau pembangunan jalan baru, kemungkinan akan membutuhkan lahan. Bila lahan adalah milik negara atau dinas terkai lainnya, seperti tanah BPN atau Dinas Pertanian atau Kehutanan, untuk kompensasi mudah dilakukan. Namun bila lahan adalah milik pribadi, maka akan lebih sulit dilakukan.
Menurut Undang Undang Agraria No. 5, 1960 memiliki prinsip "eminent domain" bahwa semua lahan yang dimiliki oleh pribadi dapat di ambil oleh negara demi kepentingan umum (orang banyak). Berdasarkan pada Perpres 36/2005 mekanisme kegiatan pembebasan lahan membutuhkan konsultasi publik dan konsensus/kesepakatan bersama secara fair untuk biaya ganti rugi untuk tanah dan bangunan tidak bergerak yang ada diatasnya.
Perpres 36/2005 ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri/ setingkat menteri dan juga diperkuat dengan Keputusan Kepala BPN No.1/1994.
Prosedur peraturan ini adalah sebagai berikut:

• Instansi/Pengembang membuat permohonan pengadaan lahan ke Gubernur, Bupati atau Walikota;
• Pejabat tanah mengumumkan bahwa lahan akan dibebaskan untuk kebutuhan proyek dan menginstruksikan kepada Panitia Pembebasan Lahan melalui Bupati atau Walikota untuk melakukan pendataan lahan, bangunan dan tumbuhan yang ada di atasnya;
• Tim pembebasan lahan melakukan pendataan terhadap lahan, bangunan, tanaman dan aset lainnya serta kelengkapan surat-surat tanah yang sah;
• Melakukan penjelasan/penyuluhan terhadap masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah baik langsung maupun media cetak dan elektronik;
• Musyawarah dengan warga yang terkena dampak pembebasan lahan/ganti rugi dalam rangka mencapai kesepakatan bentuk ganti rugi yang akan dilakukan atas tanah/aset yang ada di atasnya;
• Gubernur atau Bupati/Walikota mengeluarkan keputusan terhadap harga satuan pembebasan lahan, bangunan dan lainnya di atas lahan;
• Pemilik bangunan/aset menerima uang ganti rugi dari tim pembebasan lahan, bila tak setuju dapat menolak dengan ganti rugi dapat meminta kesepakatan lain yang lebih dirasakan memberikan harga yang lebih menarik;
Walaupun pembayaran telah dilakukan dan diterima oleh yang berhak, warga dapat meminta waktu untuk membongkar bangunan yang ada atau mencari lahan yang baru untuk tempat tinggal. Petani penggarap dengan seijin pemilik lahan baru dapat memakai lahan tersebut sebelum digunakan.

Harga taksiran ganti rugi didasarkan pada:
• NJOP atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan berdasarkan penetapan Lembaga/Tim Penilai yang ditunjuk oleh Panitia Pembebasan Lahan;
• Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;
• Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh yang bertanggung jawab di bidang pertanian;

Harga taksiran kompensasi untuk kategori tanah adat tidak diatur dalam Perpres 36/2005 dan Juklak Keppres 55/1993, juga tidak seluruhnya diatur dalam UU Agraria tahun 1960. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Pengembangan dan Pembangunan Masyarakat Terasing untuk melindungi keberadaan suku terasing yang mengisyaratkan adanya tanah adat namun tidak secara spesifik menjelaskan keberadaan hak-hak yang dimiliki oleh pemagang kuasa tanah adat.

Banyak tanah di daerah pedesaan tidak memiliki sertifikat hak milik secara formal termasuk juga tanah negara. Untuk itu perlu secara mekanisme yang komprehensif untuk menentukan kompensasi yang jelas terhadap tanah-tanah adat tersebut, termasuk ketika akan ada rencana pembebasan yang melintasi tanah adat di daerah pedesaan. Konsultasi warga sangat diperlukan khususnya bila yang terkena pembebasan adalah tanah adat, yang akan menyepakati prosedur pembebasan dan taksiran harga satuan dari kompensasi pada Perpres 36/2005 khususnya tanah adat atau tanah negara.

Mengacu pada Perpres 36/2005, tidak terdapat satu sistem yang digunakan untuk menghitung harga dari lahan, bangunan dan sarana tak bergerak seperti tanaman keras, namun diserahkan pada Tim Penilai harga tanah, bangunan dan tanaman yang berkompeten di bidangnya. Tiap Kabupaten akan membentuk Panitia 9 sebagai Panitia Pembebasan Lahan yang dikepalai oleh Bupati atau Walikota. Harga dasar dihitung secara periodik oleh Tim 9 didasarkan pada harga pasaran aktual selama 3 bulan dari 42 jenis/tipe lahan dan lokasi (Peraturan Menteri Dalam Negeri 1/1975). Atas dasar itu, petugas di Kabupaten membuat daftar untuk setiap Kabupaten dan Kecamatan.

Harga dasar tidak akan berubah secara drastis secara signifikan seperti yang tertuang dalam Perpres 36/2005, dimana penentuan harga aktual lahan didasarkan pada harga pasar yang berada di atas (Nilai Jual Objek Pajak or NJOP). Namun harga NJOP selalu berada di bawah harga pasar baik di pedesaan dan daerah perkotaan, terkecuali di daerah komersial dan kawasan industri, harga NJOP berada di atas harga pasarnya. Pengalaman umumnya di Pulau Jawa, harga pasar pada umumnya 50% diatas NJOP. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai target penerimaan dari sektor pajak bumi dan bangunan.

Pengalaman di lapangan khusus untuk pembangunan infrastruktur memperlihatkan trend harga pembebasan lebih relistik. Jumlah yang dibayarkan sesuai dengan kategori seperti di atas dan juga mengikuti kebutuhan lahan yang diinginkan. Kompensasi terhadap bangunan didasarkan pada harga berlaku yang ada dan didasarkan pada harga patokan dari Cipta Karya dengan memasukkan harga depresiasi sebesar 2% per tahun, dimulai saat bangunan dibangun. Proses perhitungan untuk bangunan yang terkena hanya sebagian lebih komplek dan rumit dan juga berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya dan juga jenis proyeknya.

Berkenaan dengan hal tersebut di atas berbagai kerangka pengamanan lingkungan dan sosial perlu disiapkan oleh pelaku pembangunan infrastruktur perkotaan.
Panduan Penyiapan proyek memuat keperluan menyiapkan kerangka safeguard, sebagai salah satu persyaratan utama untuk menghindari dampak terhadap lingkungan dan aspek sosial. Kerangka tersebut dimaksudkan untuk: (i) melakukan evaluasi sistematis atas suatu proyek berkenaan dengan risiko-risiko lingkungan dan sosial; (ii) mereduksi dan mengelola risiko-risiko yang berat; (iii) mengembangkan manfaat-manfaat lingkungan dan sosial; dan (iv) menjamin terbukanya informasi berkenaan dengan proyek tersebut, proses penyiapan dan pelaksanaannya, dan berlangsungnya konsultasi publik (stakeholders) yang jujur dan bermakna. Pertanyaannya, bagaimana keperluan tersebut dapat dipenuhi? Bagian berikut akan membahas langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin hal-hal di atas.

Prinsip Dasar Safeguard perlu Dipahami dan Disepakati Bersama
a. Pemda Kota dan semua pihak terkait wajib dalam pelaksanaan proyek wajib memahami, menyepakati, dan melaksanakannya dengan baik dan konsisten kerangka safeguard ini. Walikota secara formal perlu menyepakati isi kerangka. Demikian pula, sejak awal kerangka safeguard harus didiseminasikan dan disepakati bersama oleh stakeholder kota, tidak hanya dari kalangan Pemerintah Daerah, namun juga DPRD, LSM, perguruan tinggi, dan warga kota lainnya.
b. Agar pelaksanaan kerangka safeguard dapat dilakukan dengan efektif, diperlukan penguatan kapasitas lembaga pelaksana. Fokus penguatan kapasitas mencakup kemampuan fasilitasi, penciptaan arena multi-stakeholder, ataupun pengetahuan teknis dari pihak-pihak terkait.
c. Kerangka safeguard harus dirancang sesederhana mungkin, mudah dimengerti, jelas kaitannya dengan tahap-tahap investasi, dan dapat dijalankan sesuai prinsip dalam kerangka proyek.
d. Prinsip utama safeguard adalah untuk memastikan bahwa investasi yang dikeluarkan tidak menyebabkan dampak negatif yang serius dan tidak dapat diperbaiki. Bila terjadi dampak negatif maka perlu dipastikan bahwa ada mitigasi/pengelolaan yang meminimalkan dampak negatif, baik pada tahap perencanaan, persiapan maupun tahap pelaksanaan.
e. Untuk memastikan bahwa safeguard dijalankan dengan baik, maka diperlukan tahap-tahap sebagai berikut:
• mekanisme Identifkasi, penyaringan dan pengkategorisasian dampak;
• studi dan penilaian mengenai tindakan yang perlu dan dapat dilakukan. Pada saat yang sama, juga perlu didiseminasikan dan didiskusikan dampak dan alternatif rencana tindak penanganannya;
• membuat rencana tindak;
• melaksanakan rencana tindak;
• melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap semua proses di atas;
• Mempunyai mekanisme penyelesaian keluhan (complaints) yang cepat dan efektif.
f. Setiap keputusan, laporan, dan draft perencanaan final yang berkaitan dengan kerangka safeguard harus dikonsultasikan dan didiseminasikan secara luas, terutama kepada warga yang potensial terkena dampak. Warga, terutama yang terkena dampak, harus mendapat kesempatan untuk ikut berperan dalam hal mengambil keputusan dan menyampaikan keberatannya atas rencana investasi yang potensial menimbulkan dampak negatif bagi mereka.
Langkah-langkah Safeguard perlu dilakukan dengan konsisten
Pada tahap awal disiapkannya proposal untuk investasi, langkah-langkah safeguard yang perlu dilakukan sudah harus teridentifikasi sebagai bagian dari studi kelayakan. Hal ini perlu agar usulan yang dibuat sudah memperhitungkan dampak yang mungkin timbul, sehingga ada pemikiran tentang kiat mengatasinya. Proses ini juga meliputi proses pengkategorisasian dampak. Dampak lingkungan dikategorikan dalam dampak besar dan penting, yang membutuhkan AMDAL; dampak kecil atau tidak penting, yang hanya membutuhkan UKL-UPL; atau dampak kecil/tidak penting atau tidak ada dampak, sehingga hanya diperlukan prosedur operasi baku (SOP) yang baik. Dampak pengadaan tanah dikategorisasikan dalam kategori dampak: dampak besar (menyangkut 40 KK, atau lebih); dan dampak kecil.
Dari sudut lingkungan, sesuai kategori di atas diperlukan AMDAL, UKL/UPL, atau SOP. Dari sudut pengadaan tanah dan pemukiman kembali, untuk dampak besar diperlukan studi dan sensus sosial ekonomi yang menghasilkan suatu rencana tindak pengadaan tanah dan pemukiman kembali (Land Acquisition and Resettlement Action Plan); jika dampak relatif kecil, studi dan rencana yang diperlukan sama dengan di atas, namun dengan format dan kedalaman yang terbatas.

Langkah di atas di tingkat lokal akan dipantau oleh TPS (Tim Pemantau Safeguard) yang dibentuk oleh Pemerintah Kota bersama LSM yang menjadi anggota dan ditunjuk oleh Forum Stakeholder (FS). Anggota TPS dari kalangan Pemerintah Daerah adalah Bappeda, Bapedal kota dan Dinas terkait (seperti Kimpraswil/PU dan Tata Kota & Tata Bangunan). Anggota dari kalangan bukan-pemerintah adalah LSM-LSM yang bergerak di bidang pertanahan, bantuan hukum, lingkungan. Unsur pemerintah penting karena Pemerintah Daerah merupakan penanggungjawab utama program ini; unsur bukan-pemerintah penting untuk memfasilitasi dialog dengan pihak yang mungkin terkena dampak, dan untuk memastikan bahwa TPS bisa bertindak obyektif. TPS dikoordinasikan oleh Asisten 1 Sekda. TPS juga merupakan pihak yang menyalurkan dan memastikan bahwa semua keluhan warga ditanggapi dengan semestinya. Tim ini juga bertugas mengkaji semua hasil studi, rekomendasi dan keluarannya, baik berupa strategi, disain proyek, maupun pelaksanaannya. Mempunyai mekanisme penyelesaian keluhan yang cepat dan efektif. Seperti disebutkan di atas, hal ini akan dikoordinasikan oleh TPS.

Konsultasi Publik: Pihak yang Terkena Dampak perlu Ikut Memutuskan
Secara umum konsultasi dengan warga mengenai safeguard dilakukan sebagai bagian dari (i) AMDAL; (ii) pengadaan tanah dan pemukiman-kembali; dan (iii) persiapan usulan proyek yang dilakukan Dinas secara partisipatif (untuk semua isu).

Diseminasi untuk warga di daerah perlu dilakukan melalui pertemuan Forum Stakeholder (FS) dan media lokal.
Semua dokumen final dan draft final berkaitan dengan safeguard harus secara terbuka disediakan di Dinas terkait, Bappeda, dan TPS. Notulensi diskusi dengan warga harus didokumentasikan dengan baik oleh TPS, Bappeda dan Dinas terkait.

Pemantauan dan Penanganan Keluhan yang Efektif Merupakan Penjamin Konsistensi Langkah Safeguard

Pemantauan:

Pemantauan pelaksanaan safeguard di daerah terutama dilakukan oleh TPS. TPS dibentuk dalam suatu pertemuan FS. TPS merupakan suatu tim semi independen untuk memantau dan memastikan konsistensi pelaksanaan safeguard pembangunan dengan kerangka safeguard yang sudah disetujui bersama. TPS diharapkan dapat berkerja secara netral, profesional dan mandiri.

TPS bertugas untuk mengkaji semua KA (TOR – terms of reference) dan studi safeguard: AMDAL, UKL-UPL dan SOP (untuk lingkungan); studi sosial ekonomi (untuk pengadaan tanah dan pemukiman kembali); TPS juga bertugas mengkaji dan memantau semua rencana aksi dan pelaksanaannya. TPS harus menindaklanjuti hasil kajian dan pemantauannya bersama Dinas terkait; bila ada ketidaksesuaian dalam perencanaan atau pelaksanaan kerangka safeguard maka TPS dan Dinas dimaksud akan mengambil tindakan yang jelas hasil dan waktunya. Semua laporan hasil kajian harus terangkum dalam laporan bulanan TPS ke instansi terkait dan Walikota. Laporan tersebut berisi masalah dan kondisi yang dikaji atau dipantau (ditambah kaitannya dengan hasil pemantauan sebelumnya), usulan dari TPS, dan hasil dari tindak lanjutnya.
Dana bagi TPS disediakan oleh APBD termasuk upaya peningkatan kapasitas pelaksana safeguard.

Penyelesaian Pengaduan: Penanganan dan penyelesaian pengaduan dalam kerangka safeguard dikoordinasikan oleh TPS. Bila tidak bisa diatasi, maka penyelesaiannya akan dibantu oleh Dinas terkait dan Bappeda. Bila tidak terselesaikan juga sesuai waktu yang dijadwalkan (sampai sebelum konstruksi akan dimulai), maka proposal tersebut terpaksa ditangguhkan dari rencana tahun yang bersangkutan. Proposal ini baru bisa diusulkan kembali untuk investasi setelah persoalan yang dikeluhkan dapat ditangani sesuai aturan main kerangka safeguard.

Bila pihak yang terkena dampak, pihak yang mewakili kepentingan lingkungan, warga yang tanahnya dibebaskan merasa tidak puas dan melihat adanya penyimpangan dari rencana atau pelaksanaan proyek atau kerangka safeguard, maka mereka dapat mengadu pada TPS. TPS harus mengoordinasikan penyelesaian persoalannya dan memberikan jawaban dalam waktu yang terukur dalam hitungan hari kerja. TPS harus memberikan tanda terima dan mencatat pengaduan ini dalam laporannya. Untuk keperluan pencatatan dan koordinasi penanganan keluhan tersebut, seyogianya TPS mempekerjakan seorang secara penuh-waktu. Fasilitator harus berfungsi juga untuk membantu TPS agar fungsinya bisa efektif.

Bila hasil dari pengaduan ini dirasakan belum juga memuaskan maka pengadu bisa mengajukan masalahnya secara tertulis atau lisan pada Walikota cq instansi terkait. Semua pihak yang menerima pengaduan ini harus memberikan tanda terima, bertindak untuk menyelesaikan masalahnya, dan memberi jawaban dalam waktu paling lambat 20 hari kerja. Pengadu harus dibebaskan dari risiko biaya, administrasi, dan hukum akibat pengaduannya. Contoh: pengadu tidak boleh disangka/didakwa sebagai pencemar nama baik oleh pihak pemerintah yang terlibat dalam proyek ini.
Tata cara pengaduan dan tempat-tempat menyampaikan pengaduan perlu didiseminasikan secara luas; fasilitator wajib memfasilitasi diseminasi dimaksud. Kepala desa dimana proyek ini akan dilaksanakan harus tahu tatacara pengaduan ini dan berwenang untuk meneruskan pengaduan warganya ke TPS. Sebagai penerus pengaduan warga, kepala desa juga harus terbebas dari sanksi hukum dan administrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar