Tiga orang tengah sibuk bekerja di
sebuah rumah kawasan Beji, Depok, Jawa Barat. Mereka tengah
memotong-motong botol bekas air mineral. Sampah berserakan di lantai.
Mereka bekerja di studio milik Hardi Ahmad yang dipenuhi ragam jenis
sampah anorganik . Berbekal kreatifitas sejak 2006 silam pemuda ini
mengolahnya menjadi ragam produk mainan anak-anak.
Hardi mengaku aktivitas yang
dilakoninya kini bermula dari iseng dan belajar secara otodidak. “Aku
pribadi ya pastinya, lingkungan rumah. Ada elektronik yang rusak
pastinya, dengan sedikit imajinsi karena memang gak ada kerjaan waktu
itu kan. Akhirnya aku isi dengan iseng, rencananya iseng tadinya. Cuma
ada beberapa referensi aku main di Gedung Kesenian Tangerang. Kita
memang main instalasi tidak spesifik ke daur ulang. Cuma coba aku
aplikasiin di rumah ternyata jadinya sebuah kapal. Ada sempel diatas,”
terangnya.
Meski demikian ia juga mempelajari
beberapa referensi seni daur ulang dari seniman mancanegara. “Siapa
yang mengajar, wah aku juga bingung ya ketika saya ditanyakan belajar
dari mana. Karena saya meemang berkarya mengekspresikan seni rupa itu
sendiri. Awal mulanya sih berkembang dengan sendirinya, hanya saja
beberapa tahun belakangan ini saya coba untuk menggali beberapa
referensi yang berada di beberapa negara Eropa maupun Asia mengenai seni
daur ulang itusendiri,” kata Hardi.
Karena kreatifitasnya itu, Hardi sempat
dituding gila oleh sebagian warga. Tapi lajang ini tak ambil pusing.
“Saya pernah dikirain kaya gitu. Oh gila kali, ngumpulinsampah buat
apaan sih. Mau bikin kapal-kapalan. Aneh, pasti digituin. Lagian kita
tidak menggubris hal-hal seperti itu. terserah aja pada mau ngomong apa.
Mau ngomong kita sinting kek, yang penting kita yakin aja, sudah pernah
mencoba. Daripada cuma berkomentar,” ucapnya seraya terkekeh.
Berinteraksi di Dunia Maya
Lewat media internet Hardi
memperkenalkan karya seni daur ulangnya. Ia pajang sejumlah karyanya di
halaman blog pribadi. Di dunia maya, Hardi berinteraksi dengan
komunitas-komunitas seni internasional. Diantaranya Prancis, Spanyol,
Texas dan California, Amerika Serikat.
Kreatifitas seni daur ulang yang
dijalani Hardi Ahmad, mengundang minat. Dwi, salah satunya. Saat
ditemui mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta ini
tengah sibuk membuat robot. Bahannya mulai dari botol mineral, bekas
kalkulator, mur, baut sampai tutup pulpen.
Dengan sabar dan penuh konsentrasi, Dwi mencoba merekatkan mur di botol air mineral dengan lem.
KBR: “bikin seperti ini sudah berapa lama mas?”
Uwi: “Baru belajar”
KBR: “Sudah dibikin apa aja”
Uwi: “Ini aja satu, robot-robotan.
Ardi: “Dari malam ngerencanainnya.”
KBR: “bikin seperti ini sudah berapa lama mas?”
Uwi: “Baru belajar”
KBR: “Sudah dibikin apa aja”
Uwi: “Ini aja satu, robot-robotan.
Ardi: “Dari malam ngerencanainnya.”
Uwi: “Semalem jam 4, eh jam 2. Sampai gak jadi bikin kan kecapean.”
Lantas apakah karya Hardi
diperjualbelikan? Tidak tegasnya. Lebih untuk mendidik masyarakat
terutama anak-anak. “Kalalu edukasi, kita lebih mengajak anak-anak
untuk bermain sebenarnya. Kalau zaman dulu, mungkin kita bermain ada
petak umpet, main zaman dululah istilahnya. Bikin mobil-mobilan dari
kulit jeruk, atau senapan dari kulilt pisang. Nah sekarang kan akhirnya
karen banyakan sampah akhirnya pake sampah. Aku coba aplikasiin, kenalin
ke mereka. kalau di Tangerang ada bukaan kelas ya, jadi tiap hari
minggu itu memang mereka dateng ke tempat aku, ke studio jadi mereka
memang dateng sengaja untuk bikin mainan bukan mau belajar atau apa.
Tapi mereka mau bikin mainan. Mereka aku kasih media lem, gunting sampai
finishing catnya,” tegasnya.
Ilmu seni daur ulang sampah yang dimiliki Ahmad Hardi dibagi kepada anak-anak Sanggar Atap Alis.
Mengenalkan Seni
Petang hari di Ciracas, Jakarta Timur
akhir Juli lalu . Sejumlah anak-anak tengah sibuk di teras rumah
petak berdinding hijau. Ini adalah Sanggar Atap Alis tempat berkumpul
dan melatih anak-anak membuat seni daur ulang sampah. Sanggar ini
dibangun Hardi Ahmad bersama rekan-rekannya sejak 2009 silam. Salah satu
pendiri sanggar, Bucek menuturkan,”Di sini kami sekitar lima tahunan.
Mengajak teman-teman kecil, lingkungan untuk berkarya, dan tidak ada
tekanan buat kami, karena konsepnya mengkreatifitaskan mereka.
mengedukasikan skill mereka, kami tidak mengharuskan membuat apa atau
apa. Tetapi secara ilmiah, teman-teman yang bimbing.”
Hardi
ikut menimpali. “Saya mulai mengenalkan recycle instalation itu di
sanggar pada ulang tahun ketiga, Atap Alis itu sendiri tahun 2009. Yang
kemudian menjadi program, mingguan program belajar untuk anak-anak
mengenai seni daur ulang. Bagaimana caranya membuat mainan dari sampah,
kemudian temen-teman kecil di sanggar menglutinya. Kemudian menjadi
program mingguan,” terangnya.
Anak-anak itu kata Bucek tak dilatih
untuk menjadi seniman yang terampil mengolah ragam produk daur ulang.
“Hukum-Hukum feodal yang selalu kamu salah gitu lho. Nah kami coba untuk
mengajak anak-anak kecil disini, berkomunikasi secara langsung, tidak
ada batasan tetapi ada etika-etika budaya yang kami terapkan bagaimana
dia berbicara yang sopan. Dan bagaimana dia berbicara untuk
berkomunikasi dan bertukar pikiran. Selama ini, kami bawa ke arah sana.
Jadi kami tidak mengarahkan mereka harus jadi seniman, harus jadi ini
tidak. Modal yang utama adalah kerangka berfikir itu saja buat kami.
Ketika anak-anak itu berfikir kreatif dia tidak akan turun ke jalan. Itu
yang kami usahakan selama ini,” jelasnya.
Setiap perhelatan pameran, anak-anak
Sanggar Atap Alis selalu dilibatkan. Karya mereka misalnya pernah tampil
di ajang Biennale 2012 atau Taman Ismail Marzuki, TIM Jakarta. Karya
Mutiara bocah kelas lima SD misalnya, sempat diikut sertakan dalam The
King of Wall di Grand Theater Jakarta 2011 silam. “Gimana ya, ya kan
itu dibuatnya dari sampah. Gimana sih kalau dibuat recycle gitu, jadi
sampahnya kan biar semakin berkurang,” kata Mutiara.
KBR: “Kok bisa tertarik sama recycle instalation?”
Upik: “Awalnya seneng aja lihat om-omnya pada bikin.”
KBR: “ Dari kapan tuh”
Upik: “ Udah lama sih mbak, kira-kira dari tahun 2009-an lah.”
Upik: “Awalnya seneng aja lihat om-omnya pada bikin.”
KBR: “ Dari kapan tuh”
Upik: “ Udah lama sih mbak, kira-kira dari tahun 2009-an lah.”
Kiprah Hardi Ahmad mengolah sampah
menjadi ragam karya seni dan menularkan kepada generasi muda patut
diacungi jempol. “Arti penting mengolah sampah buat saya, mungkin
kesadaran secara pribadi manusia yang hidup ya. Apalagi semacam kita
orang-orang di kota. Hampir 30% aktifitasnya bersentuhan dengan sampah.
Kalau saya sendiri punya fikiran bagaimana kita mengkombinasikan sampah
untuk kemudian bisa digunakan kembali. Seperti contohnya yang saya
lakukan ya. Akhirnya saya bisa mengenalkan kemada yeman-teman kecil,
anak-anak khususnya ya. Bisa mengenalkan bahwasanya kita bisa mengolah
sampah kita bisa membuat maninan itu sendiri, yang setiap hari ada di
sekitar kita,” bebernya.
Jika mau berpikir kreatif, sampah bisa menjadi berkah.
(Nvy, Fik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar