Mesin Intim-Izuma Zeolizar mampu memutus
rantai pengolahan sampah. Hemat tempat, hemat energi, dan hemat biaya.
Investasi baru bagi industri pengolah sampah.
Pengolahan Sampah
Membakar sampah? Itu sudah kuno. Kini
pengolahan sampah yang disebut modern adalah menggunakan kembali,
mengurangi, dan mendaur ulang sampah. Istilah kerennya, 3R alias reuse,
reduse and recycle. Jadi, sampah pun harus diolah dengan penuh gaya,
yakni lewat teknologi hijau. Teknologi seperti ini mengharuskan tiap
tahapan prosesnya ramah lingkungan.
Itulah yang dijanjikan mesin pengolah
sampah Intim-Izuma Zeolizar. Sejak sebulan terakhir ini, Izuma
dipamerkan PT Intim Wira Energi di halaman Stasiun Pengolahan Antara
(SPA) Sunter milik Dinas Kebersihan Jakarta Utara. Sekilas, Izuma
terlihat seperti teknologi pembakar sampah dengan incenerator (instalasi
pembakar limbah) biasa. Tapi, coba lihat cerobongnya, tak ada asap
hitam yang terbang bergulung-gulung ke udara.
Izuma menggunakan metode karbonisasi dan
oksidasi. ”Teknologi ini boleh dikatakan baru pertama kali diujicobakan
di Indonesia,” kata Firman Carol, Manajer Pengembangan Bisnis PT Intim
Wira Energi.
Sebagai mesin pengolah sampah, Izuma
menawarkan banyak hal baru. Izuma boleh dibilang tak menyita banyak
lahan. Mesin utamanya berdimensi 15 meter (panjang) x 3,5 meter (lebar) x
3,5 meter (tinggi). Karena itu, ia bisa ditempatkan di lahan kelurahan
atau kecamatan yang padat penduduk. Jadi, sampah warga kelurahan tak
perlu diangkut hingga tempat pembuangan akhir (TPA). Lebih irit karena
tak perlu sewa truk sampah.
Sampah-sampah warga kelurahan atau
kecamatan cukup dikumpulkan ke tempat Izuma. Di sini, beberapa petugas
akan memilah-milah. Sampah padat berupa kaca, logam, dan plastik
dipisahkan tersendiri untuk didaur ulang atau digunakan kembali.
Sampah-sampah organik kemudian dimasukkan ke unit pembakaran pyrolysis.
Di sini, sampah dibakar dalam temperatur rendah.
”Di situ sampah mengalami penguraian
destilasi kering karena pemanasan tidak langsung yang diradiasikan oleh
zeolit, dengan temperatur 200-300 derajat celsius,” kata Firman. Zeolit
adalah batu alam yang banyak ditemukan di Bogor atau Sukabumi, Jawa
Barat. Sistem pembakaran seperti ini, menurut Firman, dapat menghambat
reaksi pembentukan zat beracun, seperti tetrachloro-dibenzo-p-dioxin
(TCDD). Racun ini biasanya timbul dari asap pembakaran sampah plastik.
Apa rahasianya, kok tidak ada asap? Gas
atau asap yang berasal dari unit pyrolysis tadi dialirkan kembali ke
unit pembilasan. Di sini, asap ”dibilas” dengan memisahkan
partikel-partikel padat dan senyawa organik yang ada melalui proses
destilasi kering dan air. Tahap ini menghasilkan gas dan limbah tar
(bio-oil). Gas itu dapat digunakan kembali sebagai bahan bakar unit
pyrolysis, sedangkan tar dapat diolah untuk bahan baku pengawet kayu
atau pembersih lantai. ”Boleh dikatakan, tak ada asap atau debu yang
keluar dari Izuma,” ujar Firman.
Sejauh ini, Izuma mampu mengolah 10-20
meter kubik sampah atau 16 ton per hari. Produksi sampah seperti itu
biasanya dihasilkan satu kecamatan yang berpenduduk sekitar 1.600 kepala
keluarga. Dalam sebulan, sampah yang dihasilkan mencapai 480 ton. Jika
diolah dengan Izuma, menurut hitungan Firman, sampah yang ada dapat
berkurang hingga 1/1.000-1/3.000 dari volume awal.
”Mesin ini mampu bekerja nonstop 24 jam,”
kata Firman. Seluruh proses pengolahan sampah ini berlangsung rata-rata
dua sampai tiga jam, tergantung jenis sampahnya. Untuk sampah cair,
prosesnya lebih lama ketimbang sampah padat. Tapi kedua jenis sampah itu
bisa terurai secara sempurna.
Izuma juga menawarkan keuntungan lain.
Yakni hemat energi. Ia tidak menyedot bensin atau solar, tetapi listrik
3-10 kilowatt. Selain itu, juga memerlukan air dan bahan zeolit.
Menjalankan Izuma pun tak rumit, cukup tiga petugas untuk operasional
dan berjaga-jaga. Idealnya, Izuma digunakan untuk kelurahan atau
kecamatan karena sampah langsung diolah di tempat. Jadi, dengan
teknologi hijau ini, sampah-sampah tak perlu diangkut ke TPA.
”Target kami, Izuma bisa digunakan di
setiap kelurahan di DKI,” tutur Firman. Maklum, soal sampah sebetulnya
juga soal bisnis. Jika banyak yang menggunakan jasa Izuma, tentu banyak
pula menjanjikan laba. Modal awal untuk alat hijau ini memang besar,
sedikitnya Rp 2 milyar. Rinciannya, untuk biaya penyediaan peralatan
kerja, perizinan, konstruksi bangunan, dan pembelian mesin sampah ini
diperlukan dana sekitar Rp 1,8 milyar. Upah pekerja (dua pengawas, empat
petugas pemilah sampah, dan dua pengawas mesin) mencapai Rp 14 juta per
bulan. Sisanya, untuk biaya listrik Rp 3 juta per bulan dan bahan baku
zeolit Rp 600.000.
Nah, jika 1.600 kepala keluarga dalam
satu kecamatan dikenai iuran sampah sekitar Rp 45.000 per bulan, dana
yang terkumpul mencapai Rp 72 juta per bulan. Dalam jangka empat tahun
berjalan (48 x Rp 72 juta = Rp 3,456 milyar), pemilik Izuma sudah dapat
menikmati untung. ”Ini merupakan investasi baru dalam pengelolaan
sampah,” kata Firman.
Melihat peluang bisnis seperti itu, PT
Intim mulai memproduksi Izuma di pabrik mesin milik kelompok bisnis
Bukaka di Citeureup, Bogor. Semua komponennya dapat diperoleh di
Indonesia, kecuali sistem blower pada unit pembakar. ”Kami bekerja sama
dengan penemunya dari Jepang, dengan memberikan lisensi pembuatan alat
ini di Indonesia,” kata Komisaris PT Intim Wira Energi, Halim Kalla. Ia
berharap, Izuma dapat mengatasi masalah yang selama ini menghantui
kota-kota besar: sampah.
Memberantas Sampah dengan UPS
Teknologi hijau tak berarti harus serba
baru, canggih, dan rumit. Coba lihat Kota Madya Depok, Jawa Barat. Kini
di sejumlah sudut RT, RW, atau pasar di Depok ada unit pengolahan sampah
(UPS). UPS merupakan rangkaian mesin sederhana pengolah limbah sampah
sepanjang empat meter dan lebar satu setengah meter. UPS terdiri dari
ban berjalan, blower, dan penghancur sampah.
Pada saat ini, ada lima UPS yang bekerja
mengurangi sampah yang tersebar di Kelurahan Depok, Sukatani, Tugu, dan
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Depok. Jasa pelumat sampah UPS ini memang
amat diperlukan. Maklumlah, menurut survei terakhir, sampah warga Depok
mencapai 3.000 meter kubik per hari. ”Sampah-sampah itu tentu harus
ditangani agar tidak ada lagi yang berserakan di kota ini,” kata Nur
Mahmudi Ismail, Wali Kota Depok.
Karena itulah, menurut Nur, masalah
sampah harus ditangani dari tingkat awal, dari RT/RW, dengan UPS tadi.
Sebuah UPS mampu mengolah setidaknya 30 meter kubik sampah. ”Itu sama
dengan sampah yang dihasilkan setidaknya 1.000 kepala keluarga,” ujar
Nur.
Awalnya, seperti biasa, sampah-sampah
rumah tangga dipilah dulu menjadi sampah organik dan non-organik.
Sampah-sampah organik langsung dimasukkan ke unit penghancur. Di dalam
mesin penghancur sampah terdapat blower, yang akan meniupkan sampah
plastik tidak ikut hancur bersama sampah organik. ”Butuh dua-tiga jam
untuk menghancurkan 30 meter kubik sampah organik,” tutur Hendra
Kurniawan, staf ahli PT Wahana Kelola Nusantara, perusahaan yang
mengoperasikan UPS.
Sampah-sampah non-organik lainnya,
misalnya plastik, logam, atau limbah berbahaya, seperti baterai dan
lampu neon, dipisahkan. Sampah logam dan limbah berbahaya dikirim ke
instansi terkait agar bisa didaur ulang. Sedangkan sampah plastik dan
sejenisnya dipadatkan. ”Sampah plastik masih bernilai ekonomis dan bisa
dijual,” kata Hendra.
Selanjutnya sampah organik ditumpuk
selama sepekan. Setiap pagi, sampah-sampah itu dibolak-balik sambil
diberi mikroorganisme dekomposisi, seperti EM4. ”Tujuannya, mempercepat
proses pembusukan,” ujar Hendra. Mikroorganisme ini juga membuat tekstur
sampah yang awalnya keras menjadi lunak. Tapi jangan khawatir akan ada
aroma tak sedap. ”Sistem ini tidak menimbulkan bau karena menggunakan
sistem aerob yang sifatnya terbuka dan ada oksigen,” katanya.
Setelah tujuh hari, sampah organik tadi
dimasukkan lagi ke mesin penghancur kompos agar lebih halus, kemudian
disaring. Hasil akhirnya, UPS membuat gunungan sampah 30 kubik itu
menjadi debu. Namun masih ada sisa 5% sampah yang tak bisa diolah lagi.
”Sisa itu selanjutnya kami buang ke TPA,” ujar Hendra.
Karena UPS dianggap efektif menangani
sampah, Pemda Depok berencana menambah setidaknya 20 unit lagi. ”Bahkan
targetnya, akan ada 70 UPS beberapa tahun ke depan,” kata Nur Mahmudi.
Apalagi, UPS tak makan biaya banyak. Satu UPS bertenaga diesel hanya
membutuhkan biaya sekitar Rp 30 juta. ”Alat ini juga membuka lapangan
kerja dan ramah lingkungan,” tutur Nur. Nur Hidayat dan Rach Alida
Bahaweres
Tidak ada komentar:
Posting Komentar