Dari pengalaman dan pembelajaran, Kebun
Karinda menawarkan model bagi RT/RW yang ingin mandiri dalam pengelolaan
sampah organiknya, namun untuk keberhasilannya perlu beberapa syarat:
Sampah organik yang dihasilkan oleh
sebuah rumah tangga atau 1 Kepala Keluarga (KK) yang beranggota 5 orang
(bapak, ibu, 2 anak dan 1 pembantu) setiap hari kurang lebih 2 kg. Kalau
sebuah Rukun Tetangga (RT) terdiri dari 40 KK dan sebuah Rukun Warga
(RW) terdiri dari 10 RT, maka bisa dihitung berapa jumlah sampah organik
yang memerlukan pengelolaan selanjutnya, atau biasa disebut “dibuang”.
Untuk mengubah pola pikir bahwa sampah
kita tanggung jawab kita yang menghasilkan, dan mengubah kebiasaan
membuang sampah menjadi mengelola sampah perlu upaya yang tidak mudah
dan memerlukan waktu.
Dari pengalaman dan pembelajaran, Kebun
Karinda menawarkan sebuah model bagi RT/RW yang ingin mandiri dalam
pengelolaan sampah organiknya, namun untuk keberhasilannya diperlukan
beberapa syarat:
Pertama: Kegiatan ini diorganisir oleh
pemimpin masyarakat setempat (Ketua RT/RW), dibantu sebuah tim pelaksana
(Komite Lingkungan).
Kedua: Dibangun komitmen di antara seluruh warga, lingkungan bagaimana yang ingin dicapai.
Ketiga: Ada pendampingan agar kegiatan
berkelanjutan, kader/motivator yang mendampingi harus sudah
berpengalaman melakukan pengomposan.
Keempat: Proses pengomposan dipilih yang tidak menimbulkan bau ialah proses fermentasi.
Sampah organik rumah tangga yang segar
dan lunak, sangat mudah dikomposkan. Pengomposan dapat dilakukan secara
individual di setiap rumah atau secara komunal oleh Komite Lingkungan
RT/RW.
Kebun Karinda menyarankan pengomposan
dengan metode Takakura. Jika dilakukan dengan benar dalam proses tidak
ada bau busuk dan higienis. Tidak memerlukan tempat luas, tetapi tidak
boleh kena hujan atau sinar matahari langsung.
Sampah organik dipisahkan dari sampah
anorganik (kegiatan ini disebut “memilah sampah”) kemudian dicacah
menjadi berukuran 2 cm x 2 cm agar mudah dicerna mikroba kompos.
Wadahnya boleh keranjang cucian isi 40 L atau lebih dikenal dengan
Keranjang Takakura, ember bekas cat atau kaporit (isi 25 L), drum bekas
yang dipotong menjadi 2 bagian (isi 100 L), keranjang rotan atau bambu
yang isinya lebih dari 25 L untuk mempertahankan suhu kompos. Pemilihan
wadah tergantung bahan yang tersedia, selera dan banyaknya sampah setiap
hari.
Sampah harus dimasukkan wadah kompos
setiap hari (sebelum menjadi busuk) dan diaduk sampai ke dasar wadah
supaya tidak becek di bagian bawah. Pengadukan juga dimaksud untuk
memasukkan oksigen yang diperlukan untuk pernapasan mikroba kompos. Jika
wadah sudah penuh, kompos baru bisa dipanen jika sudah matang.
Pengomposan dimulai lagi dengan wadah
lain, dengan aktivator sebagian kompos yang masih panas dari wadah
pertama. Kompos setengah jadi ini bisa juga dikirim ke pengomposan
komunal untuk diproses bersama-sama. Sebagian ditinggal dalam wadah
untuk dijadikan aktivator. Warga akan mendapat hasil panen kompos, atau
membelinya dengan harga khusus.
Memerlukan bangunan tanpa dinding,
atapnya bisa dari plastik terpal, daun kirai, plastik gelombang, genteng
dan sebagainya tergantung dana yang tersedia. Lantainya bisa tanah,
semen atau paving blok. Kita bisa menyebutnya sebagai “Rumah Kompos”.
Untuk wadah pengomposan sampah organik
rumah tangga dapat dibuat bak atau kotak dari bambu, kayu, paving blok,
bata dan sebagainya. Agar dapat menyimpan panas, kotak harus memiliki
volume paling sedikit 500 L atau memiliki panjang 75 cm, lebar 75 cm dan
tinggi 1 m. Salah satu sisinya harus bisa dibuka, untuk mengeluarkan
adonan kompos jika seminggu sekali dibalik. Banyaknya kotak tergantung
jumlah sampah yang akan dikelola.
Hal penting agar tempat pengomposan
bersih dan tidak berbau busuk, sampah yang masuk hanya sampah orgaik
saja. Warga harus memilah sampahnya di rumah masing-masing (mengikuti
RUU Persampahan). Di depan rumah tidak perlu ada bak sampah, tetapi
disediakan dua wadah sampah untuk sampah organik dan anorganik. Petugas
pengangkut sampah mengambilnya dengan gerobak sampah yang diberi sekat.
Sampah organiknya diturunkan di Rumah Kompos.
Selanjutnya oleh petugas dicacah (manual
atau dengan mesin pencacah). Jika menggunakan mesin pencacah, agar
sampah tidak mengeluarkan air dan untuk menambahkan unsur Karbon,
dicampurkan terlebih dahulu serbuk gergaji. Jika pencacahan secara
manual, serbuk gergaji dicampurkan sebelum masuk wadah kompos. Aktivator
yang digunakan adalah adonan kompos yang masih aktif atau belum selesai
berproses. Jika menggunakan mesin pencacah, aktivator ditambahkan
sebelum masuk mesin.
Adonan kompos dari sampah organik rumah
tangga jika diaduk setiap hari, akan matang dalam waktu kurang lebih
10-14 hari, namun harus distabilkan dahulu sampai suhu menjadi seperti
suhu tanah, kira-kira makan waktu 2 minggu baru bisa dipanen. Jika akan
dikemas diayak terlebih dahulu untuk memisahkan bagian yang kasar atau
belum menjadi kompos.
Jika tanah yang tersedia cukup luas dan
sampahnya cukup banyak, pengomposan dapat dilakukan dengan sistem open
windrow yaitu dengan timbunan-timbunan yang memerlukan pembalikan.
Kompos setengah jadi yang dikirim oleh warga dicampurkan ke adonan
kompos yang sudah berusia kurang lebih 1 minggu, dan akan matang
bersama-sama.
Kompos yang dibuat melalui proses
termofilik aerobik seperti ini, kualitasnya “super”. Kaya akan unsur
yang diperlukan tanaman agar tumbuh subur. Harganya bisa mencapai lebih
dari Rp.1000/kg.
Jika ingin ditingkatkan lagi harganya,
kita bisa membibit dan menjual tanaman bunga, sayuran dan tanaman obat
yang dipupuk dengan kompos buatan sendiri.
Dibentuk Komite Lingkungan oleh Pengurus
RT/RW dan selanjutnya diperlukan peran serta warga sehingga kegiatan ini
menjadi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat.
Tugas dan tanggung jawab masing-masing:1. Komite Lingkungan:
Pertama: Relawan yang peduli lingkungan, memiliki kemampuan dan waktu.
Kedua: Mengorganisasi warga dalam kegiatan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat.
Ketiga: Melatih dan meningkatkan keterampilan kader sebagai motivator dan tenaga pelaksana pengomposan.
Kedua: Mengorganisasi warga dalam kegiatan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat.
Ketiga: Melatih dan meningkatkan keterampilan kader sebagai motivator dan tenaga pelaksana pengomposan.
Keempat: Mengendalikan proses pengomposan agar dihasilkan kompos yang memenuhi syarat.
Pertama: Menjadi relawan kader lingkungan, motivator kegiatan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat.
Kedua: Mengajarkan dan menggerakkan warga untuk memilah sampah.
Ketiga: Pendampingan dalam proses pengomposan di rumah tangga.
Kedua: Mengajarkan dan menggerakkan warga untuk memilah sampah.
Ketiga: Pendampingan dalam proses pengomposan di rumah tangga.
3. Petugas Pelaksana Pengomposan
Merupakan tenaga tetap yang melaksanakan proses pengomposan.
Sebagai modal awal yang meliputi sarana
dan prasarana, pelatihan TOT kader/motivator perlu dukungan Pemerintah
melalui proposal yang meyakinkan yang disusun oleh Pengurus RT/RW.
Diharapkan kegiatan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat ini nantinya
dapat mandiri dari penjualan kompos dan produk-produk turunannya
(tanaman hias, sayuran, tanaman obat).
Lingkungan menjadi bersih, teduh dan
asri, masyarakat terjaga kesehatannya karena pengelolaan sampah
merupakan bagian dari perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Mudah-mudahan tulisan ini dapat
memberikan inspirasi bagi Pengurus RT/RW yang ingin mandiri dalam
mengurus sampah warganya. Tentunya tingkat keberhasilan akan lebih
tinggi jika aparat di atasnya (Lurah, Camat Bupati/Walikota) dan
instansi terkait ikut berperan serta dengan memberikan dorongan dan
apresiasi.
Sri Murniati Djamaludin, Pengelola Kebun Karinda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar