Penggunaan teknologi dalam mengolah
sampah di DKI Jakarta, tampaknya sudah semakin mendesak. Mengingat
sampah di DKI Jakarta semakin hari semakin meningkat. Dalam mengurangi
limbah sampah di Jakarta, pemerintah memfokuskan pengolahan sampah di
dalam kota yakni dengan mengoperasikan Intermediate Treatment Facility
(ITF).
Ketua Pusat Kajian Persampahan Indonesia
(PKPI), Sodiq Suhardiyanto mengatakan tempat pengolahan sampah atau ITF
ini pertama kali ditempatkan di Cakung Cilincing. ITF Cakung ini bekerja
dengan menerapkan teknologi Mechanical Biological Treatment (MBT).
“Di mana sampah anorganik di daur ulang
dan sampah organiknya difermentasi untuk menghasilkan bahan bakar
pembangkit listrik atau sumber bahan bakar gas (BBG),” kata Sodiq kepada
Jurnal Nasional, saat dihubungi, di Jakarta, Minggu (21/8).
Dengan mulai beroperasinya ITF cakung
ini, lanjut pria yang bekerja sebagai CDM Project Special Advisor, PT
Gikoko Kogyo Indonesia, ini menjelaskan tentunya ITF Cakung akan bisa
mengurangi ketergantungan Pemerintah Provinsi DKI terhadap TPST Bantar
Gebang, bahkan kedepannya pemerintah juga telah menyiapkan proses
pembangunan TPST dalam kota atau ITF, yakni ITF Sunter dan Marunda.
“Ini merupakan ide murni saya. Sudah dua
tahun saya memperjuangkan ide ini. Saya yakin langkah ini akan baik
untuk lingkungan Kota Jakarta yang penuh sesak dengan tumpukan sampah,”
katanya.
Menurutnya, di negara Jerman, sejak
1994-1995, TPA sudah tidak boleh digunakan, karena dalam perkembangannya
membakar sampah memang sudah tidak diizinkan lagi. Maka itu, teknologi
MBT ini sangat cocok untuk daerah tropis seperti Kota Jakarta.
Ia menambahkan, tujuan utama dari
kegiatan Jasa Pengalahan Sampah ITF Cakung Cilincing adalah mengurangi
beban TPST Regional, serta mengurangi kemacetan akibat banyaknya ritasi
kendaraan pengangkut sampah.
Selain itu, kata dia, mitra swasta/pihak
ketiga penyedia jasa pengolahan sampah disyaratkan memiliki dan
berkemampuan mengelola fasilitas ITF yang dapat mereduksi sampah minimal
sampai 85-90 persen, sehingga hanya 10-15 persen residu pengolahan yang
dibuang ke TPST Regional atau diolah di tempat sehingga tidak ada
residu pengolahan (zero waste).
“MBT adalah suatu teknologi modern yang
ramah lingkungan yang dapat mereduksi sampah melalui pemilahan,
pencacahan, daur ulang, refuse derived fuel (RDF), kompos dan energi
listrik atau bahan bakar gas (BBG),” katanya.
MBT Plant di ITF Cakung Cilincing terdiri
dari Pengomposan dan Dry Anaerobic Digester yang saling terintegrasi
dalam dua fase. Fase pertama adalah proses perkolasi dalam Anaerobic
Digester (AD), sedangkan fase kedua adalah proses pengomposan aerobik
pada modul yang sama sehingga dapat menekan bau karena proses aerasi
pengomposan diproses dalam modul yang kedap udara.
“Fase pengomposan ini dilakukan dari 1
Agustus 2011 sampai 31 Desember 2011, sedangkan dari 1 Januari 2012
sampai 30 Juni 2012 sistem dikembangkan dengan Dry Anaerobic Digestion
and Composting dengan teknologi dari Aikan (Perusahaan PMA Denmark),”
katanya.
Ia memaparkan, kapasitas penampungan
sampah di ITF Cakung Cilincing hingga akhir Desember 2011 sekitar 400
ton per hari. Pada Januari-Juli 2012, kapasitasnya akan meningkat sampai
600 ton per hari dan setelah Juli 2012, kapasitasnya akan dioptimalkan
menjadi 1.300 ton per hari. “Baru setelah dua tahun kemudian,
kapasitasnya akan ditingkatkan menjadi 1.500 ton. Hal ini harus
dilakukan secara bertahap,” katanya.
Ia melanjutkan, ITF Cakung Cilincing yang
berdiri di lahan seluas 7,5 hektare ini berkapasitas penuh mengolah
sampah sebanyak 1.300 ton per hari dan mampu menghasilkan energi listrik
mencapai 4,95 MW atau dapat menghasilkan BGG sebanyak 445.699 MMBTU,
ketika beroperasi penuh pada tahun 2012.
“Diharapkan dengan pembangunan ITF ini konsep ‘Jakarta Menuju Waste to Energy’ bisa terwujud,” katanya.Mengolah sampah menjadi bernilai ekonomis
saat ini sudah tidak sulit dilakukan. Pasalnya saat ini Pemerintah
sedang mengembangkan sistem Mechanical Biological Treatment (MBT).
Sebuah teknologi mutakhir yang ramah lingkungan. Khususnya dalam
pengelolaan sampah di perkotaan. Sampah yang menumpuk di Kota Jakarta
tidak lagi dibakar melainkan dapat diolah sedemikian rupa.
Ketua Pusat Kajian Persampahan Indonesia
(PKPI), Sodiq Suhardiyanto, di Jakarta, Senin, (22/8) mengatakan bahwa
konsep mengelola sampah saat ini di perkotaan harus berdasar pada
pemikiran bahwa sampah harus dikelola secara modern dan ramah
lingkungan. “Tidak lagi dalam bentuk penumpukan (open dumping) atau
dibakar sembarangan yang dampaknya mengganggu lingkungan dan kesehatan
masyarakat sekitar,” kata Sodiq.
Menurut dia, pengelolaan yang baik
membuat sampah tetap memiliki nilai ekonomis, baik untuk didaur ulang
maupun diubah menjadi bentuk lain menjadi bahan yang bisa digunakan.
Dengan konsep MBT maka sampah bisa didaur ulang dalam produk MRF
(Material Recycling Facility) seperti daur ulang plastik, RDF (Refused
Derived Fuel), dan bahan lainnya (kaca, kayu, logam).
Selain itu, lanjutnya, dengan konsep ini
sampah juga bisa diuubah menjadi listrik ataupun BBG dan bisa juga
menghasilkan carbon credit yang bermanfaat dalam menekan pengurangan
CO2. “Dengan begini maka akan bisa mengurangi pemanasan global. Dengan
begitu sampah tak lagi dipandang sinis bagi masyarakat luas, tetapi
dipandang menjadi lebih positif,” jelasnya.
Dengan demikian pengelolaan sampah
menjadi sesuatu yang bisa dikerjakan bersama baik oleh pemerintah,
masyarakat, juga untuk para investor.
Sementara itu, kata dia, jika sampah
masih dikelola dengan paradigma lama yaitu TPA (landfill) maka sampah
hanya akan ditumpuk dan setelah penuh (kapasitas maksimal) maka harus
dibutuhkan lahan baru, sehingga dalam jangka panjang justru akan
berdampak negatif terhadap aspek lingkungan maupun sosial.
“Hal ini tentunya berbeda dengan MBT yang
tidak memerlukan tambahan lahan karena di sana dibangun pabrik
pengolahan sampah, tidak sekadar tempat penumpukan sampah saja. Salah
satu kekurangan dari TPA selain membutuhkan lahan yang lebih luas, juga
berpotensi menimbulkan pencemaran (bau). Selain itu dari sisi
kemanfaatan ekonomi juga kurang, sebab sampah hanya bisa dikonversi
menjadi listrik saja,” katanya.
Ia juga menjelaskan secara umum
perbandingan luas lahan dan produk yang dihasilkan MBT lebih
menguntungkan dibandingkan dengan TPA. Dengan kapasitas 1.500 ton per
hari, dengan menggunakan MBT, luas lahan yang dibutuhkan hanya 12 Ha
sementara itu dengan TPA, kapasitas 1.500 Ton harus menggunakan 50 ha
lahan. “Dengan sistem MBT, kebutuhan lahan tidak akan bertambah karena
sebagai pabrik pengolahan. Tapi kalau TPA dibutuhkan lahan baru jika
kapasitas TPA sudah penuh,” katanya.
Penggunaan teknologi dalam mengolah
sampah di DKI Jakarta, ke depannya nanti semua akan menggunakan konsep
MBT dengan menggunakan konsep Intermediate Treatment Facility (ITF). MBT
adalah suatu teknologi modern yang ramah lingkungan yang dapat
mereduksi sampah melalui Pemilahan, Pencacahan, Daur Ulang, Refuse
Derived Fuel (RDF), Kompos dan Energi Listrik atau Bahan Bakar Gas (BBG)
(baca bagian 1).
MBT Plant di ITF Cakung Cilincing terdiri
dari Pengomposan dan Dry Anaerobic Digester yang saling terintegrasi
dalam dua fase. Fase pertama adalah proses perkolasi dalam Anaerobic
Digester (AD). Sedangkan fase kedua adalah proses pengomposan aerobik
pada module yang sama sehingga dapat menekan bau karena proses aerasi
pengomposan diproses dalam module yang kedap udara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar