oleh Robert Adhi Ksp
Sampah acapkali menjadi
persoalan dalam sebuah kota. Namun jika kita pandai mengelolanya, sampah
bukan lagi produk buangan, tapi produk yang menghasilkan. Inilah yang
dilakukan masyarakat yang bermukim di tujuh RT di RW 012, Kelurahan
Pamulang Barat, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan.
Pada
awalnya, sampah rumah tangga dari 700 keluarga di wilayah ini dibuang ke
TPA di sekitar permukiman. Namun pembuangan sampah di TPA itu
mengundang protes warga di sekitar TPA yang mengancam menutup TPA itu.
Pengurus RW 012 Pamulang Barat pun berembug. Tahun 2007, sudah muncul
ide pengolahan sampah. Namun, kata Sugeng Rahardjo, koordinator
pembangunan pengolahan sampah RW setempat, menyatukan pendapat 700
keluarga di RW itu tidaklah mudah.
Melalui konsolidasi yang cukup
lama, akhirnya 700 keluarga di RW 012 sepakat membayar secara
bersama-sama biaya pembangunan pengolahan sampah sebesar Rp 120 juta.
Setiap KK diwajibkan membayar Rp 200.000. Beberapa keluarga membayar
dengan cara mencicil Rp 50.000 per bulan selama empat bulan.
Demikianlah, cara RW 012 Pamulang Barat ini melibatkan warganya dalam
pembangunan pengolahan sampah.
Dan tepat hari Minggu 6 Juni 2011,
pengolahan sampah milik masyarakat ini diresmikan, yang dihadiri antara
lain oleh Wakil Ketua DPRD Kota Tangerang Selatan Tb Budi Murdani dan
Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Tangsel Toto Sudarto.
Proses
pengolahan sampah ini sederhana. Sampah-sampah organik atau acap disebut
sampah basah, yang dibawa dari rumah-rumah warga, dibawa ke tempat
penampungan dan pengolahan, untuk kemudian diproses selama 12 hari-14
hari. Setelah proses fermentasi selesai, sampah organik itu diperhalus
dengan mesin pengayak, dan selanjutnya dimasukkan dalam plastik, dijual
sebagai pupuk. Kalau pun tidak digunakan, hasilnya dapat disebar ke
tanah dan tidak mengundang lalat.
Sementara sampah-sampah
non-organik dimasukkan ke tempat pembakaran atau insenerator berukuran
1,25 meter x 1,25 meter x 1,5 meter., dengan suhu sekitar 1.000 derajat
Celcius. Di sini dibuat sistem hidro agar terjadi uap air yang menangkap
partikel asap. Dengan demikian, yang keluar dari cerobong adalah asap
yang sudah difilter dan tidak merusak lingkungan.
Setiap hari
sampah rumah tangga dari 700 keluarga di RW 012 di Pamulang Barat ini
sekitar satu ton. Sampah-sampah ini diangkut petugas yang jumlahnya dua
orang per RT atau 14 orang untuk 7 RT. Sedangkan di tempat pengolahan
sampah ini terdapat 10 orang yang bekerja, Sampah-sampah ini diolah
sedini mungkin agar prosesnya lebih baik. Setiap KK membayar Rp 16.000
per bulan agar sampah mereka terangkut dan diolah di mesin pengolah itu.
Pengolahan
sampah mandiri oleh masyarakat RW 012 Pamulang Barat ini merupakan yang
pertama di Kota Tangerang Selatan. Wakil Ketua DPRD Tangsel Tb Bayu
Murdani memuji upaya masyarakat membangun tempat pengolahan sampah
dengan biaya masyarakat sendiri. Bayu berharap masyarakat di RW-RW
lainnya di kota ini melakukan upaya serupa. Jika di setiap RW
menyediakan lahan maksimal 500 meter persegi untuk pengolahan sampah dan
membuat dengan biaya sendiri secara gotong-royong, ini akan sangat
membantu mengatasi problem sampah perkotaan.
Ini memang langkah
kecil yang dilakukan masyarakat di lingkungan yang kecil yang sangat
layak dicontoh. Bayangkan jika masyararakat di setiap RW di Tangerang
Selatan, bahkan di kota-kota lainnya di Indonesia, melakukan hal yang
sama, persoalan sampah dan lingkungan bisa teratasi. Langkah kecil dari
Pamulang ini pun secara tidak langsung ikut membantu mengatasi persoalan
pemanasan global.
Partisipasi masyarakat langsung dalam mengelola
sampah secara mandiri dilakukan masyarakat Jepang sejak bertahun-tahun
lalu. Bahkan melalui pendidikan usia dini, anak-anak diperkenalkan
pentingnya peduli lingkungan hidup. Di kota Kitakyushu, Jepang, ada
museum lingkungan hidup, di mana anak-anak usia dini sudah diajak
mengenal lingkungan. Di museum itu juga diperlihatkan foto-foto kota
Kitasyushu di masa lalu, di mana polusi industri menganggu lingkungan
kota. Melalui berbagai upaya, ternasuk pengolahan sampah mandiri oleh
warga kota, akhirnya Kitakyushu menjadi kota dengan tingkat polusi yang
rendah.
Apakah langkah kecil dari Pamulang Barat di Tangerang Selatan ini bisa menjadi gerakan massal? Mudah-mudahan.
*)
Robert Adhi Ksp, editor di Kompas.com, peserta Asian City Journalist
Conference (ACJC) di Kitakyushu dan Fukuoka, Jepang, yang memfokuskan
pada persoalan lingkungan hidup dan pemanasan global.
Sistem mekanis pengomposan adalah pengolahan mekanis dalam tabung komposter dan dapat memperoleh kompos setiap hari dan tidak butuh lahan yang luas (100-150 m2). Mesin ini berkapasitas 2-3 ton/hari dapat mengolah sampah organik sebanyak 8-10 m3 perhari, kapasitas sedang dan kecil juga dapat dilayani dengan dibawah 1 ton/hari sampai 100 kg/hari. Kami tawarkan kerjasama [engelolaan atau dengan sistem beli putus bila tertarik, hub kami 081384588749 atau WA: 081218234570
Entri Populer
-
Feldspar dengan bahan kimia: Aluminium Silikat dengan rumus kimia kompleks (Na, K, Ca) AlSi3Og; SiO2 dengan kandungan 90-94% feldspar dan 6...
-
BEKASI (Pos Kota) – Warga Kota Bekasi, Jawa Barat siap-siap daerahnya menjadi lautan sampah selama setahun ke depan. Ini bakal terjadi apabi...
-
Di dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah, dikenal istila...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar