Kompas.com. Sejumlah petugas mengawasi beroperasinya delapan unit mesin
pembangkit listrik dengan total kapasitas terpasang 10,5 megawatt di
areal Tempat Pembuangan Sampah Akhir Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa
Barat, beberapa pekan lalu. Aliran listrik itu masuk ke sistem
kelistrikan Jawa dan Bali yang dikelola PT Perusahaan Listrik Negara.
Nantinya, listrik yang dialirkan itu mencapai 26 megawatt.
okasi
kedelapan unit mesin pembangkit listrik itu tidak jauh dari tumpukan
sampah setinggi 20 meter. Meski sampah menggunung, tidak tercium aroma
busuk yang menyengat di lokasi tersebut. Bagian atas timbunan sampah
dilapisi tanah dan tertutup rapat oleh terpal plastik berwarna hitam
agar hampa oksigen.
Dalam proses fermentasi itu, sampah organik
membusuk dan menghasilkan gas metana. Kemudian, gas metana disaring dari
kotoran padat yang dikandung dan suhu distabilkan sesuai dengan
spesifikasi mesin pembangkit. Gas metana yang dihasilkan ”bukit” sampah
itu dialirkan melalui pipa untuk mengoperasikan mesin-mesin pembangkit
listrik di areal tempat pembuangan sampah tersebut.
Dengan
memanfaatkan sampah untuk menghasilkan listrik, hal ini sekaligus
mengatasi persoalan sampah di kota-kota besar. Produksi sampah naik,
sementara pengolahannya tidak maksimal. Akibatnya, sampah menggunung dan
tidak terurus. Selain menimbulkan bau tak sedap, sampah juga mengganggu
keindahan, mencemari air dan tanah, serta dapat menjadi sumber
penularan penyakit.
Di sejumlah daerah, pemerintah sulit mencari
lahan tempat pembuangan sampah. Bahkan, sampah longsor dan menelan
korban jiwa sebagaimana terjadi di TPA Leuwi Gajah, Bandung. ”Dengan
mengolah sampah jadi listrik, dua masalah teratasi, yakni pencemaran
lingkungan dan keterbatasan bahan bakar fosil,” kata Direktur Jenderal
Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) Kardaya Warnika.
Di Indonesia, baru
TPA Bantar Gebang, Bekasi, dan Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu
Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan yang merintis penerapan teknologi
yang mengintegrasikan pengolahan sampah terpadu. Jadi, sampah yang ada
didaur ulang lalu dimanfaatkan komposnya dan juga dikelola menjadi
energi listrik.
Proyek pengolahan sampah di TPA Bantar Gebang
diserahkan Pemerintah Provinsi (Pemprov ) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI)
Jakarta kepada dua pemenang tender, yakni PT Godang Tua Jaya dan PT
Navigat Organic Energy, pada Desember 2008 dengan mekanisme sewa-beli
selama 15 tahun dan nilai investasi Rp 700 miliar. Setelah masa kontrak
berakhir, semua fasilitas yang dibangun investor menjadi milik Pemprov
DKI Jakarta.
Selama masa kontrak itu, pengelola harus menerapkan
beberapa teknologi pengelolaan sampah, yakni penumpukan sampah dengan
metode berlapis, pemilahan sampah organik dan non-organik dengan
menumpuk dalam bangunan fasilitas daur ulang material, serta metode
pemanasan sampah.
Menurut Wakil Direktur PT Navigat Organic
Energy Indonesia Budiman Simadjaja, kegiatan usaha itu masih merugi
karena daya listrik yang dihasilkan relatif kecil. Selain itu, harga
jual listrik ke PLN hanya Rp 820 per kilowatt hour (kWh). ”Baru untung
kalau daya listrik meningkat,” ujarnya.
Dalam pengelolaan TPA
Bantar Gebang, sedikitnya 500 karyawan dipekerjakan dan sebagian besar
merupakan warga setempat. Adapun ribuan pemulung di tempat pembuangan
sampah dibiarkan mengumpulkan sampah di titik akhir pembuangan sebelum
timbunan sampah itu diolah. ”Kami berusaha tidak mengganggu aktivitas
para pemulung,” kata Budiman.
Komitmen rendah
Pembangunan
pembangkit listrik yang menggunakan sampah ini bisa dikembangkan di
setiap kota besar. Penutupan tempat pembuangan sampah terbuka telah
diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah. Saat ini, hampir semua kota dan kabupaten di Indonesia
menggunakan tempat pembuangan sampah terbuka. Namun, sejauh ini belum
ada langkah dan program nyata yang dilaksanakan pemerintah daerah.
Padahal,
menurut data Kementerian ESDM, secara nasional biomassa berpotensi
menghasilkan listrik 49.810 MW, termasuk dari sampah kota. Saat ini,
kapasitas terpasang untuk biomassa baru sebanyak 445 MW atau 0,89 persen
dari total potensi tenaga listrik energi ramah lingkungan itu. Khusus
untuk biogas dari sampah, dari 38 kota dan kabupaten di Indonesia,
potensi listrik diperkirakan mencapai 236 MW.
Wakil Ketua
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Djoko Winarno memaparkan, kendala
utama rendahnya pemanfaatan sampah organik untuk tenaga listrik adalah
tingginya biaya investasi untuk mengumpulkan sampah, memilah antara
sampah organik dan non-organik, mengolah sampah organik menjadi biogas,
serta membangun pembangkit listrik tenaga sampah.
Rendahnya harga
jual listrik dari pembangkit listrik tenaga sampah mengakibatkan biaya
investasi sulit kembali, terutama jika memakai teknologi gasifikasi.
Harga keekonomian listrik dari sampah itu di atas Rp 1.000 per kWh,
sedangkan saat ini harganya baru Rp 820 per kWh. ”Jika harga jual
listrik terlalu rendah, investor akan enggan berinvestasi dalam bisnis
pengolahan sampah,” ujarnya.
Apalagi, pengolahan sampah untuk
tenaga listrik itu berisiko tinggi, menimbulkan konflik sosial dengan
warga sekitar yang terganggu oleh hilir mudiknya truk pengangkut sampah
dan aroma busuk sampah. Para pemulung juga merasa terancam sumber
nafkahnya dengan adanya kegiatan pengolahan sampah.
Selain itu,
sebagian besar pemerintah daerah juga tidak mengalokasikan dana
pengelolaan sampah yang memadai. Agar sampah bisa dikelola dengan baik,
idealnya biaya pengelolaan sampah di atas Rp 200.000 per ton.
Kenyataannya, sebagian daerah hanya berani mengalokasikan dana Rp 30.000
sampai Rp 40.000 per ton, bahkan banyak daerah tidak mengalokasikan
biaya pengelolaan sampah.
Sejauh ini, baru Pemprov DKI Jakarta
yang mengalokasikan dana Rp 103.000 per ton untuk pengelolaan sampah,
dan 20 persen di antaranya masuk ke kas Pemerintah Kota Bekasi sebagai
kompensasi pemakaian lahan di Bekasi untuk TPA. Adapun volume sampah di
Jakarta sekitar 6.000 ton per hari. ”Untuk mengembalikan modal, kami
memproduksi kompos dan pihak Navigat memproduksi biogas untuk tenaga
listrik,” kata Wakil Direktur PT Godang Tua Jaya, Linggom Lumban Toruan.
Direktur Eksekutif Lembaga Reformasi Pelayanan Dasar Fabby
Tumiwa menambahkan, pemanfaatan listrik dari sampah juga terkendala
buruknya sistem pengumpulan sampah di banyak kota. Berdasarkan survei
yang dilakukan lembaganya, jumlah sampah yang diproduksi dan dibawa ke
TPA di beberapa kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah hanya 15 persen dari
total volume sampah. ”Banyak sampah rumah tangga yang dibuang
sembarangan atau dibakar,” ujarnya.
”Kondisi sebagian besar TPA
tidak memenuhi standar penerapan teknologi pengolahan sampah. Volume
sampah yang dibuang juga melebihi kapasitas TPA dan bercampur antara
sampah organik dan non-organik,” ujarnya. Jadi, kalau ada pelaku usaha
yang hendak berinvestasi dalam bidang pengolahan sampah, dia harus
menambah biaya untuk menata ulang TPA.
Insentif harga
Untuk
menarik minat investor, pemerintah baru menerbitkan Peraturan Menteri
ESDM Nomor 4 Tahun 2012 tentang harga pembelian tenaga listrik oleh PT
PLN dari pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan skala
kecil dan menengah atau kelebihan tenaga listrik. Aturan pelaksanaan itu
juga memuat tentang harga jual listrik dari pembangkit listrik berbasis
sampah kota.
Dalam aturan tersebut, harga jual listrik dengan
kapasitas hingga 10 MW, apabila berbasis sampah kota dengan teknologi
”sanitary landfill”, ditetapkan Rp 850 per kWh jika terinterkoneksi
pada tegangan menengah dan Rp 1.198 per kWh jika terinterkoneksi pada
tegangan rendah. ”Sanitary landfill” merupakan teknologi pengolahan
sampah dalam kawasan tertentu yang terisolasi sampai aman untuk
lingkungan.
Sementara harga jual listrik berbasis sampah kota
menggunakan teknologi ”zero waste” ditetapkan Rp 1.050 per kWh jika
terinterkoneksi pada tegangan menengah dan Rp 1.398 per kWh jika
terinterkoneksi pada tegangan menengah. ”Zero waste” merupakan teknologi
pengelolaan sampah sehingga terjadi penurunan volume sampah yang
signifikan melalui proses terintegrasi dengan gasifikasi atau
insinerator dan anaerob.
Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan PT PLN Mohamad Sofyan mengatakan, pihaknya mendukung penetapan harga listrik berbasis
biomassa dan sampah kota oleh pemerintah. Apalagi, saat ini biaya
penyediaan listrik jika memakai bahan bakar minyak Rp 2.300 per kWh.
Selama ini, penetapan harga listrik berbasis biomassa berdasarkan
negosiasi bisnis. Harga jual listrik di TPSA Bantar Gebang, misalnya,
baru Rp 820 per kWh.
Sejumlah pemerintah daerah mulai menjajaki
kerja sama dengan pelaku usaha pengolahan sampah untuk mengantisipasi
pemberlakuan UU tentang pengolahan sampah. Studi mengenai potensi tenaga
listrik berbasis biogas dari sampah dilaksanakan di Bandung, Jawa
Barat, dan Surabaya, Jawa Timur. Pemerintah Kota Surabaya, misalnya,
berencana mengolah sampah di TPA Benowo dengan volume sampah 2.562 ton
per hari mulai tahun ini dengan menggandeng PT Navigat Organic Energy
Indonesia.
”Agar proyek pengolahan sampah berjalan baik dan
layak secara ekonomi, pemda perlu mengalokasikan biaya pengelolaan dan
volume sampah minimal 800 ton per hari. Karena itu, pemda-pemda
sebaiknya membangun TPA regional sehingga kami dapat mengolah sampah
dengan baik dan dapat menghasilkan tenaga listrik untuk dijual dan
mengembalikan biaya investasi,” kata Budiman.
Tentu perlu
komitmen kuat pemerintah dan kesadaran masyarakat untuk mengolah sampah
agar sampah memberi manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan
aman bagi lingkungan. Dengan menggunakan teknologi, sampah juga dapat
menjadi tenaga listrik yang menerangi jutaan penduduk.
(EVY RACHMAWATI)
Sistem mekanis pengomposan adalah pengolahan mekanis dalam tabung komposter dan dapat memperoleh kompos setiap hari dan tidak butuh lahan yang luas (100-150 m2). Mesin ini berkapasitas 2-3 ton/hari dapat mengolah sampah organik sebanyak 8-10 m3 perhari, kapasitas sedang dan kecil juga dapat dilayani dengan dibawah 1 ton/hari sampai 100 kg/hari. Kami tawarkan kerjasama [engelolaan atau dengan sistem beli putus bila tertarik, hub kami 081384588749 atau WA: 081218234570
Entri Populer
-
Feldspar dengan bahan kimia: Aluminium Silikat dengan rumus kimia kompleks (Na, K, Ca) AlSi3Og; SiO2 dengan kandungan 90-94% feldspar dan 6...
-
BEKASI (Pos Kota) – Warga Kota Bekasi, Jawa Barat siap-siap daerahnya menjadi lautan sampah selama setahun ke depan. Ini bakal terjadi apabi...
-
Di dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah, dikenal istila...
Kamis, 30 Agustus 2012
Bank Sampah Bisa Atasi Sampah Jakarta Penulis : Ester Lince Napitupulu
JAKARTA, KOMPAS.com -- DKI Jakarta, dengan lebih
dari sembilan juta populasi menghasilkan sampah hingga lebih dari 6.500
ton per hari. Sampah-sampah tersebut, jika tidak dikelola dengan benar
akan mengakibatkan banjir, menyebarkan penyakit, dan polusi.
Oleh karena itu, perlu penanganan serius semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, pihak swasta, dan lembaga swadaya masyarakat untuk mengatasi masalah persampahan ini. Model Bank Sampah diyakini bisa mengatasi masalah ini karena efektif dapat mengurangi volume sampah.
Dukungan untuk mengembangkan Bank Sampah di kota-kota besar datang dari PT Unilever Indonesia Tbk lewat Yayasan Unilever Indonesia. Saat ini, ada lebih dari 100 Bank Sampah melalui program Green and Clean yang tersebar di 10 kota.
Di Jakarta terdapat 25 Bank Sampah yang dibangun masyarakat bekerja sama dengan Yayasan Unilever Indonesia. Bank Sampah di Jakarta mulai diorganisasi lebih baik dalam bentuk unit bisnis sejak tahun 2010, dimulai dengan 10 unit Bank Sampah, hingga menjadi 25 unit pada tahun 2011.
Sebagai bentuk komitmen kepedulian pada lingkungan hidup, terutama dalam mengatasi masalah sampah di perkotaan, Yayasan Unilever Indonesia membuat Panduan Sistem Bank Sampah yang diluncurkan di Bank Sampah RW 02 Kelurahan Malakasari, Duren Sawit, Jakarta Timur, Rabu (28/3/2012).
Corporate Secretary PT Unilever Indonesia Tbk, Sancoyo Antarikso mengatakan, Panduan Sistem Bank Sampah merupakan salah satu bentuk komitmen Unilever dalam pengelolaan sampah, khususnya sampah kemasan. Hal ini berkaitan dengan implementasi dari Unilever Sustainable Living Plan (USLP), khususnya pada reducing environment impact.
General Manager Yayasan Unilever Indonesia, Sinta Kaniawati mengungkapkan, konsep Bank Sampah dapat menjadi bagian dari solusi permasalahan sampah yang dihadapi kota Jakarta. Hal ini terbukti pada 2011, 10 Bank Sampah yang tersebar di Jakarta, berhasil mereduksi sampah sebanyak 93 ton dan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat sebesar Rp 210 juta.
"Bisa dibayangkan berapa banyak sampah yang bisa direduksi, dan tentunya bisa mengurangi anggaran pemerintah daerah dalam pembiayaan pengelolaan sampah," kata Sinta.
Dengan adanya panduan Sistem Bank Sampah ini, diharapkan informasi mengenai penerapan Bank Sampah yang benar dan mudah dilakukan, dapat tersebar ke banyak wilayah di Jakarta, serta dapat dilakukan oleh warga di wilayah-wilayah lain.
Oleh karena itu, perlu penanganan serius semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, pihak swasta, dan lembaga swadaya masyarakat untuk mengatasi masalah persampahan ini. Model Bank Sampah diyakini bisa mengatasi masalah ini karena efektif dapat mengurangi volume sampah.
Dukungan untuk mengembangkan Bank Sampah di kota-kota besar datang dari PT Unilever Indonesia Tbk lewat Yayasan Unilever Indonesia. Saat ini, ada lebih dari 100 Bank Sampah melalui program Green and Clean yang tersebar di 10 kota.
Di Jakarta terdapat 25 Bank Sampah yang dibangun masyarakat bekerja sama dengan Yayasan Unilever Indonesia. Bank Sampah di Jakarta mulai diorganisasi lebih baik dalam bentuk unit bisnis sejak tahun 2010, dimulai dengan 10 unit Bank Sampah, hingga menjadi 25 unit pada tahun 2011.
Sebagai bentuk komitmen kepedulian pada lingkungan hidup, terutama dalam mengatasi masalah sampah di perkotaan, Yayasan Unilever Indonesia membuat Panduan Sistem Bank Sampah yang diluncurkan di Bank Sampah RW 02 Kelurahan Malakasari, Duren Sawit, Jakarta Timur, Rabu (28/3/2012).
Corporate Secretary PT Unilever Indonesia Tbk, Sancoyo Antarikso mengatakan, Panduan Sistem Bank Sampah merupakan salah satu bentuk komitmen Unilever dalam pengelolaan sampah, khususnya sampah kemasan. Hal ini berkaitan dengan implementasi dari Unilever Sustainable Living Plan (USLP), khususnya pada reducing environment impact.
General Manager Yayasan Unilever Indonesia, Sinta Kaniawati mengungkapkan, konsep Bank Sampah dapat menjadi bagian dari solusi permasalahan sampah yang dihadapi kota Jakarta. Hal ini terbukti pada 2011, 10 Bank Sampah yang tersebar di Jakarta, berhasil mereduksi sampah sebanyak 93 ton dan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat sebesar Rp 210 juta.
"Bisa dibayangkan berapa banyak sampah yang bisa direduksi, dan tentunya bisa mengurangi anggaran pemerintah daerah dalam pembiayaan pengelolaan sampah," kata Sinta.
Dengan adanya panduan Sistem Bank Sampah ini, diharapkan informasi mengenai penerapan Bank Sampah yang benar dan mudah dilakukan, dapat tersebar ke banyak wilayah di Jakarta, serta dapat dilakukan oleh warga di wilayah-wilayah lain.
Editor :
Nasru Alam Aziz
Pengolahan Sampah Organik di Kelurahan
Jakarta, Kompas - Pemerintah Kota Jakarta Pusat akan
mengembangkan bank sampah di tingkat kelurahan. Fungsinya, mengolah
sampah organik menjadi pupuk. Dengan begitu, beban tempat pembuangan
akhir sampah bisa berkurang.
Wali Kota Jakarta Pusat Saefullah, Rabu (6/6), mengatakan, saat ini baru ada satu bank sampah di Jakarta Pusat, yakni Tempat Penampungan Sampah Terpadu (TPST) Rawasari, Cempaka Putih. ”Rencananya, di setiap kelurahan akan dibentuk bank sampah untuk mengolah sampah organik dari warga setempat,” kata Saefullah.
Suku dinas pertamanan dan suku dinas pertanian diminta menggunakan pupuk kompos yang dihasilkan bank sampah. Upaya ini untuk merangsang produksi pupuk sekaligus meningkatkan pemasukan sampah organik ke bank sampah.
Di Jakarta Pusat, produksi sampah mencapai 1.200 ton per hari. Volume sampah di waktu tertentu, seperti saat pergantian tahun, bisa mencapai 6.000 ton per hari. Sebagian besar sampah dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Payung hukum
Sri Bebassari, pengamat persampahan sekaligus tenaga ahli di TPST Rawasari, mengatakan, pengolahan sampah organik membutuhkan kesiapan dari sisi kelembagaan dan payung hukum. ”Perlu kejelasan siapa yang akan mengolah dan membiayai bank sampah atau TPST, apakah pemerintah atau swasta? Ini juga perlu dibuatkan payung hukumnya,” ucap Sri.
Secara prinsip, TPST sebenarnya berfungsi mengolah sampah agar tidak menumpuk ke TPA, sedangkan produk pupuk merupakan hasil sampingan. Dia menambahkan, ongkos pengangkutan sampah dari tempat penampungan sementara ke TPA sebenarnya bisa dialihkan untuk membiayai tenaga pengolah sampah di bank sampah.
”Pengolahan sampah organik bisa mengurangi pembuangan sampah ke TPA sampai 70 persen,” lanjutnya. (ART)
Wali Kota Jakarta Pusat Saefullah, Rabu (6/6), mengatakan, saat ini baru ada satu bank sampah di Jakarta Pusat, yakni Tempat Penampungan Sampah Terpadu (TPST) Rawasari, Cempaka Putih. ”Rencananya, di setiap kelurahan akan dibentuk bank sampah untuk mengolah sampah organik dari warga setempat,” kata Saefullah.
Suku dinas pertamanan dan suku dinas pertanian diminta menggunakan pupuk kompos yang dihasilkan bank sampah. Upaya ini untuk merangsang produksi pupuk sekaligus meningkatkan pemasukan sampah organik ke bank sampah.
Di Jakarta Pusat, produksi sampah mencapai 1.200 ton per hari. Volume sampah di waktu tertentu, seperti saat pergantian tahun, bisa mencapai 6.000 ton per hari. Sebagian besar sampah dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Payung hukum
Sri Bebassari, pengamat persampahan sekaligus tenaga ahli di TPST Rawasari, mengatakan, pengolahan sampah organik membutuhkan kesiapan dari sisi kelembagaan dan payung hukum. ”Perlu kejelasan siapa yang akan mengolah dan membiayai bank sampah atau TPST, apakah pemerintah atau swasta? Ini juga perlu dibuatkan payung hukumnya,” ucap Sri.
Secara prinsip, TPST sebenarnya berfungsi mengolah sampah agar tidak menumpuk ke TPA, sedangkan produk pupuk merupakan hasil sampingan. Dia menambahkan, ongkos pengangkutan sampah dari tempat penampungan sementara ke TPA sebenarnya bisa dialihkan untuk membiayai tenaga pengolah sampah di bank sampah.
”Pengolahan sampah organik bisa mengurangi pembuangan sampah ke TPA sampai 70 persen,” lanjutnya. (ART)
Pemenang Lelang ITF Sampah (TPST) Sunter Diberi Waktu Setahun
Tercantum dalam kontrak untuk mulai membangun dalam waktu setahun sejak tanda tangan kontrak.
Dinas Kebersihan (Dinkes) DKI Jakarta menegaskan, perusahaan pemenang lelang fasilitas pengolahan sampah/Intermediate Treatment Facilites (ITF) Sunter harus segera mulai membangun dan tidak menunda lama.
Dinas Kebersihan (Dinkes) DKI Jakarta menegaskan, perusahaan pemenang lelang fasilitas pengolahan sampah/Intermediate Treatment Facilites (ITF) Sunter harus segera mulai membangun dan tidak menunda lama.
Jika dalam waktu satu tahun pemenang tidak memulai pembangunan ITF, maka
Dinkes bisa mencabut kontrak kerja sama yang telah ditandatangani
tersebut.
Kondisi Sampah Di Sunter
”Aturan tersebut sudah kita masukkan ke dalam kontrak kerjasama. Harus
dibangun secepatnya. Pembangunan harus dilakukan dalam waktu satu tahun
sesudah kontrak ditandatangani. Kalau tidak, perusahaan itu dinilai
gagal. Maka kontrak bisa kita cabut,” kata Kepala Dinkes DKI Jakarta Eko
Bharuna dalam jumpa pers di Balaikota DKI, Jakarta, hari ini.
Kepala Bidang Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Kota (TPST) Iwan Wardhana menambahkan dalam kontrak tersebut juga mencantumkan ITF harus terus beroperasi. Dalam pengoperasiannya, minimal ada dua jalur pengolahan.
Dua jalur pengolahan sampah ITF sebagai upaya agar bila ada salah satu jalur yang rusak atau dalam perawatan, yang satunya bisa tetap berjalan. ”Kalau operasional pengolahan sampah terhenti, mereka akan kena sanksi. Itu juga sudah ada dalam kontrak,” ujarnya.
Iwan memaparkan ITF Sunter didesain mampu mengolah sampah minimal 1.000 ton per hari. Fasilitas berteknologi tinggi ini akan dibangun di atas lokasi eksisting Stasiun Peralihan Antara (SPA) Sunter.
Pembangunan ITF Sunter ini sudah mendapatkan rekomendasi dari Clinton Climate Initiative (CCI), organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang penyelamatan lingkungan asal Amerika Serikat. CCI merekomendasikan teknologi incinerator yang diterapkan di ITF Sunter.
Incinerator dipilih dengan pertimbangan teknologi ini hanya menyisakan residu sekitar 10 persen dari total sampah yang diolah, selain itu incinerator mampu menghasilkan listrik yang tinggi (14 MW per 1.000 ton sampah), berpotensi mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) secara signifikan dan telah teruji di banyak kota-kota besar Eropa dan Asia
”Untuk listrik yang dihasilkan dari ITF, juga akan dibeli oleh PLN, dan keuntungannya menjadi milik operator,” tuturnya.
Kepala Bidang Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Kota (TPST) Iwan Wardhana menambahkan dalam kontrak tersebut juga mencantumkan ITF harus terus beroperasi. Dalam pengoperasiannya, minimal ada dua jalur pengolahan.
Dua jalur pengolahan sampah ITF sebagai upaya agar bila ada salah satu jalur yang rusak atau dalam perawatan, yang satunya bisa tetap berjalan. ”Kalau operasional pengolahan sampah terhenti, mereka akan kena sanksi. Itu juga sudah ada dalam kontrak,” ujarnya.
Iwan memaparkan ITF Sunter didesain mampu mengolah sampah minimal 1.000 ton per hari. Fasilitas berteknologi tinggi ini akan dibangun di atas lokasi eksisting Stasiun Peralihan Antara (SPA) Sunter.
Pembangunan ITF Sunter ini sudah mendapatkan rekomendasi dari Clinton Climate Initiative (CCI), organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang penyelamatan lingkungan asal Amerika Serikat. CCI merekomendasikan teknologi incinerator yang diterapkan di ITF Sunter.
Incinerator dipilih dengan pertimbangan teknologi ini hanya menyisakan residu sekitar 10 persen dari total sampah yang diolah, selain itu incinerator mampu menghasilkan listrik yang tinggi (14 MW per 1.000 ton sampah), berpotensi mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) secara signifikan dan telah teruji di banyak kota-kota besar Eropa dan Asia
”Untuk listrik yang dihasilkan dari ITF, juga akan dibeli oleh PLN, dan keuntungannya menjadi milik operator,” tuturnya.
Penulis: Lenny Tristia Tambun/ Nadia Felicia
ITF Sunter Bisa Reduksi Sampah Hingga 95 Persen
ITF merupakan teknologi pembakaran sampah modern yang menghasilkan asap sangat ramah lingkungan.
Untuk mengurangi beban Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, yang menampung sampah hingga 6.500 ton per hari, Pemprov DKI berupaya membangun tempat pengolahan sampah terpadu di dalam kota dalam bentuk Intermediate Treatment Facility (ITF).
Untuk mengurangi beban Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, yang menampung sampah hingga 6.500 ton per hari, Pemprov DKI berupaya membangun tempat pengolahan sampah terpadu di dalam kota dalam bentuk Intermediate Treatment Facility (ITF).
Direncanakan dibangun tiga ITF di dalam kota yaitu ITF Sunter, ITF
Cakung Cilincing dan ITF Marunda. Khusus, ITF Sunter ditargetkan bisa
mereduksi sampah hingga 95 persen.
Dari pembangunan tiga ITF tersebut, baru ITF Sunter yang memasuki proses lelang. Sedangkan dua ITF lainnya masih sedang dalam tahap pengkajian. Ketiganya akan dibangun dengan teknologi yang ramah lingkungan dan mengurangi residu cukup banyak sehingga lingkungan sekitar tetap sehat.
Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo (Foke) dalam kunjungan kerja ke lokasi ITF Sunter, Jakarta Utara, Jumat (6/7) mengatakan teknologi di ITF Sunter adalah teknologi incinerator. Teknologi pembakaran sampah dengan teknologi modern yang tidak menghasilkan asap beracun, melainkan sangat ramah lingkungan.
“Mengapa bakar sampah saja musti ruwet banget? Karena kita tidak ingin bakar sampah begitu saja dilakukan di pemukiman warga. Selain asap yang mengganggu pernapasan warga, juga tidak ramah lingkungan. Karena residu yang dihasilkan masih banyak dan menghasilkan gas beracun,” kata Foke.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Eko Bharuna mengatakan teknologi incenarator merupakan teknologi dinilai lebih tepat dengan pertimbangan luas lahan yang tersedia hanya 3,05 hektar. Incinerator dinilai memiliki beberapa kelebihan seperti kemampuan mereduksi sampah mencapai 95 persen, kemampuan menghasilkan listrik yang tinggi dan berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan serta sudah teruji dibanyak negara Eropa dan Asia.
“Saat ini sedang dilaksanakan tender dengan skema kerja sama pemerintah dan swasta dalam pengadaan infrastruktur. Pola kerjasamanya build, operate, and transfer (BOT). Kami akan lakukan tender ini secara transparan dan akuntabel,” kata Eko.
Dalam kunjungan tersebut, Foke melihat presentasi cara kerja teknologi incenarator dalam mengolah sampah dengan membakar sampah tersebut.
Presentasi yang disampaikan Planner Dinas Kebersihan DKI, Yogi Ikhwan, menyatakan di dalam ITF Sunter ada tiga komponen utama dalam pengolahan sampah. Ketiga komponen tersebut adalah incinerator, environmental control equiptment dan powerplant.
“Sampah yang disimpan kemudian dimasukkan ke dalam ruangan yang panasnya hingga 1.000 derajat celcius. Sampah yang terbakar akan menyisakan abu dan logam. Kemudian gas yang dihasilkan dari pembakaran sampah disaring lagi untuk pemisahan partikel-partikel berbahaya. Setelah disaring, maka gas yang sudah aman dan tidak beracun itu akan dikeluarkan dari tabung setinggi 25 meter,” kata Yogi.
Yogi menjelaskan, teknologi incinerator merupakan teknologi yang mengubah sampah menjadi energy. Antara lain mampu mereduksi sampah hingga 95 persen, sisa sampah atau residu dapat digunakan untuk reklamasi lahan atau bahan baku paving block dan memiliki efek pengurangan gas rumah kaca, juga mampu menghasilkan energy listrik sekitar 10 megawatt.
Dari pembangunan tiga ITF tersebut, baru ITF Sunter yang memasuki proses lelang. Sedangkan dua ITF lainnya masih sedang dalam tahap pengkajian. Ketiganya akan dibangun dengan teknologi yang ramah lingkungan dan mengurangi residu cukup banyak sehingga lingkungan sekitar tetap sehat.
Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo (Foke) dalam kunjungan kerja ke lokasi ITF Sunter, Jakarta Utara, Jumat (6/7) mengatakan teknologi di ITF Sunter adalah teknologi incinerator. Teknologi pembakaran sampah dengan teknologi modern yang tidak menghasilkan asap beracun, melainkan sangat ramah lingkungan.
“Mengapa bakar sampah saja musti ruwet banget? Karena kita tidak ingin bakar sampah begitu saja dilakukan di pemukiman warga. Selain asap yang mengganggu pernapasan warga, juga tidak ramah lingkungan. Karena residu yang dihasilkan masih banyak dan menghasilkan gas beracun,” kata Foke.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Eko Bharuna mengatakan teknologi incenarator merupakan teknologi dinilai lebih tepat dengan pertimbangan luas lahan yang tersedia hanya 3,05 hektar. Incinerator dinilai memiliki beberapa kelebihan seperti kemampuan mereduksi sampah mencapai 95 persen, kemampuan menghasilkan listrik yang tinggi dan berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan serta sudah teruji dibanyak negara Eropa dan Asia.
“Saat ini sedang dilaksanakan tender dengan skema kerja sama pemerintah dan swasta dalam pengadaan infrastruktur. Pola kerjasamanya build, operate, and transfer (BOT). Kami akan lakukan tender ini secara transparan dan akuntabel,” kata Eko.
Dalam kunjungan tersebut, Foke melihat presentasi cara kerja teknologi incenarator dalam mengolah sampah dengan membakar sampah tersebut.
Presentasi yang disampaikan Planner Dinas Kebersihan DKI, Yogi Ikhwan, menyatakan di dalam ITF Sunter ada tiga komponen utama dalam pengolahan sampah. Ketiga komponen tersebut adalah incinerator, environmental control equiptment dan powerplant.
“Sampah yang disimpan kemudian dimasukkan ke dalam ruangan yang panasnya hingga 1.000 derajat celcius. Sampah yang terbakar akan menyisakan abu dan logam. Kemudian gas yang dihasilkan dari pembakaran sampah disaring lagi untuk pemisahan partikel-partikel berbahaya. Setelah disaring, maka gas yang sudah aman dan tidak beracun itu akan dikeluarkan dari tabung setinggi 25 meter,” kata Yogi.
Yogi menjelaskan, teknologi incinerator merupakan teknologi yang mengubah sampah menjadi energy. Antara lain mampu mereduksi sampah hingga 95 persen, sisa sampah atau residu dapat digunakan untuk reklamasi lahan atau bahan baku paving block dan memiliki efek pengurangan gas rumah kaca, juga mampu menghasilkan energy listrik sekitar 10 megawatt.
Penulis: Lenny Tristia Tambun/ Murizal Hamzah
Minggu, 26 Agustus 2012
Jakarta Ngaca Dong Sama Negeri Singa by Rakyat Merdeka
RMOL. Seperti kota-kota besar lainnya di dunia, masalah sampah juga menjadi persoalan rumit bagi Jakarta.
Saat ini, dengan 6.500 ton sampah per hari yang dihasilkan warga Jakarta, tentu akan menjadi persoalan serius jika tidak ditangani dengan baik dan benar.
Karena itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta diminta berkaca kepada Singapura. Di Negeri Singa, Pemprov DKI bisa belajar tentang teknologi insinerator (waste-to-energy). Saat ini Singapura punya empat insinerator modern. Hampir seluruh sampah dan limbah padatnya melalui proses ini.
Pakar sampah Institut Teknoogi Bandung (ITB) Prof Enri Damanhuri mengatakan, perhatian pemerintah Singapura terhadap lingkungan sangat tinggi, sehingga teknologi insinerator yang digunakan di sana bukan sekadar insinerator sederhana.
“Aspek lingkungan sudah sangat diperhatikan secara ketat. Penggunaan insinerator pun sudah sangat efektif,” tegasnya.
Menurut Enri, insinerator modern seperti yang ada di Singapura butuh biaya investasi dan operasi atau pemeliharaan yang tinggi. Sebagai contoh, per ton sampah yang diproses di fasilitas Singapura membutuhkan biaya sekitar Rp 350.000, bandingkan dengan biaya untuk menimbun sampah di Bantar Gebang sebesar Rp 110.000 per ton. “Itu belum termasuk ongkos angkut ke sana yang saya kira lebih dari Rp. 50.000 per ton,” ungkapnya.
Namun jebolan Univesitas Paris VII ini menyatakan, kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membangun tiga tempat pengolahan sampah terpadu atau intermediate treatment facility (ITF) sangat tepat, karena dapat mengurangi ketergantungan pada daerah lain serta menghemat biaya transportasi.
“ITF adalah konsep yang sudah sejak lama direncanakan untuk Jakarta. Studi JICA (Japan Inter-national Cooperation Agency) tahun 1997 telah mengindikasikan hal tersebut,” katanya.
Seperti diketahui, Pemprov DKI akan membangun tiga ITF berteknologi modern yang ramah lingkungan. Ketiga pengolahan sampah itu yang rencanannya akan dibangun bertahap mulai Agustus ini. Antara lain di Sunter, Cakung Cilincing, dan Marunda dengan dana dari investor masing-masing senilai Rp 1,3 triliun.
Tujuan pembangunan tiga ITF ini adalah untuk melengkapi kapasitas tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang. Sebab, TPA yang ada belum memadai dan teknologi belum mutakhir.
Mengometari hal ini, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna mengatakan, dalam pembangunan ITF ini memang pihaknya menggunakan teknologi tinggi seperti yang banyak dipakai negara-negara luar.
“Pengolahan sampah seperti ini baru pertama kali di Indonesia, karena investasinya cukup mahal. Meski begitu kita mengharapkan biaya pembangunan ini bukan dana APBD, tapi investor. Sekarang masih dalam proses lelang dan kita pilih investor yang berminat dan cocok dengan teknologi itu,” katanya.
Tiga Pengolahan Sampah Modern Mulai Dibangun
Sebagai bentuk komitmen penanganan sampah di ibukota, Pemprov DKI Jakarta telah menyiapkan pengolahan sampah berteknologi modern dengan membangun tiga Intermediate Treatment Facility (ITF) ramah lingkungan di Sunter, Cakung Cilincing, dan Marunda. Rencananya, ketiga ITF tersebut dibangun mulai Agustus mendatang secara bertahap.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, saat ini proses pemusnahan sampah di Jakarta akan memasuki fase baru dari menggunakan teknologi yang belum terlalu modern seperti di TPST Bantar Gebang menjadi lebih modern seperti yang akan diterapkan pada ITF. “Di Bantar Gebang sudah dikonversi menjadi teknologi modern karena gas metannya sudah menghasilkan tenaga listrik sebesar 10,5 MW, sehingga bisa dinikmati oleh lingkungan di sana,” ujarnya.
Dikatakan Fauzi, demi melengkapi kapasitas TPST Bantar Gebang yang tidak lagi memadai dan teknologinya yang belum terlalu modern, Pemprov DKI Jakarta akhirnya membangun tiga ITF. ITF Sunter dibangun sepenuhnya oleh Pemprov DKI Jakarta.
Sedangkan ITF Cakung Cilincing dibangun oleh swasta dan ITF Marunda dibangun melalui public private partnership. “Targetnya, kita menjadikan kapasitas itu naik menjadi 26 MW. Kemudian ini bisa disuplai PLN, sehingga tidak ada lagi kesan sampah itu tidak punya nilai komersil,” katanya.
Diungkapkan Fauzi, teknologi pengolahan sampah yang digunakan ini merupakan teknologi paling muktahir di dunia dengan menggunakan tiga komponen. Seperti incineration atau pembakaran, kemudian power plant yang membuat sampah menjadi energi listrik serta teknologi environment control equipment yang ramah lingkungan. [Harian Rakyat Merdeka]
Saat ini, dengan 6.500 ton sampah per hari yang dihasilkan warga Jakarta, tentu akan menjadi persoalan serius jika tidak ditangani dengan baik dan benar.
Karena itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta diminta berkaca kepada Singapura. Di Negeri Singa, Pemprov DKI bisa belajar tentang teknologi insinerator (waste-to-energy). Saat ini Singapura punya empat insinerator modern. Hampir seluruh sampah dan limbah padatnya melalui proses ini.
Pakar sampah Institut Teknoogi Bandung (ITB) Prof Enri Damanhuri mengatakan, perhatian pemerintah Singapura terhadap lingkungan sangat tinggi, sehingga teknologi insinerator yang digunakan di sana bukan sekadar insinerator sederhana.
“Aspek lingkungan sudah sangat diperhatikan secara ketat. Penggunaan insinerator pun sudah sangat efektif,” tegasnya.
Menurut Enri, insinerator modern seperti yang ada di Singapura butuh biaya investasi dan operasi atau pemeliharaan yang tinggi. Sebagai contoh, per ton sampah yang diproses di fasilitas Singapura membutuhkan biaya sekitar Rp 350.000, bandingkan dengan biaya untuk menimbun sampah di Bantar Gebang sebesar Rp 110.000 per ton. “Itu belum termasuk ongkos angkut ke sana yang saya kira lebih dari Rp. 50.000 per ton,” ungkapnya.
Namun jebolan Univesitas Paris VII ini menyatakan, kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membangun tiga tempat pengolahan sampah terpadu atau intermediate treatment facility (ITF) sangat tepat, karena dapat mengurangi ketergantungan pada daerah lain serta menghemat biaya transportasi.
“ITF adalah konsep yang sudah sejak lama direncanakan untuk Jakarta. Studi JICA (Japan Inter-national Cooperation Agency) tahun 1997 telah mengindikasikan hal tersebut,” katanya.
Seperti diketahui, Pemprov DKI akan membangun tiga ITF berteknologi modern yang ramah lingkungan. Ketiga pengolahan sampah itu yang rencanannya akan dibangun bertahap mulai Agustus ini. Antara lain di Sunter, Cakung Cilincing, dan Marunda dengan dana dari investor masing-masing senilai Rp 1,3 triliun.
Tujuan pembangunan tiga ITF ini adalah untuk melengkapi kapasitas tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang. Sebab, TPA yang ada belum memadai dan teknologi belum mutakhir.
Mengometari hal ini, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna mengatakan, dalam pembangunan ITF ini memang pihaknya menggunakan teknologi tinggi seperti yang banyak dipakai negara-negara luar.
“Pengolahan sampah seperti ini baru pertama kali di Indonesia, karena investasinya cukup mahal. Meski begitu kita mengharapkan biaya pembangunan ini bukan dana APBD, tapi investor. Sekarang masih dalam proses lelang dan kita pilih investor yang berminat dan cocok dengan teknologi itu,” katanya.
Tiga Pengolahan Sampah Modern Mulai Dibangun
Sebagai bentuk komitmen penanganan sampah di ibukota, Pemprov DKI Jakarta telah menyiapkan pengolahan sampah berteknologi modern dengan membangun tiga Intermediate Treatment Facility (ITF) ramah lingkungan di Sunter, Cakung Cilincing, dan Marunda. Rencananya, ketiga ITF tersebut dibangun mulai Agustus mendatang secara bertahap.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, saat ini proses pemusnahan sampah di Jakarta akan memasuki fase baru dari menggunakan teknologi yang belum terlalu modern seperti di TPST Bantar Gebang menjadi lebih modern seperti yang akan diterapkan pada ITF. “Di Bantar Gebang sudah dikonversi menjadi teknologi modern karena gas metannya sudah menghasilkan tenaga listrik sebesar 10,5 MW, sehingga bisa dinikmati oleh lingkungan di sana,” ujarnya.
Dikatakan Fauzi, demi melengkapi kapasitas TPST Bantar Gebang yang tidak lagi memadai dan teknologinya yang belum terlalu modern, Pemprov DKI Jakarta akhirnya membangun tiga ITF. ITF Sunter dibangun sepenuhnya oleh Pemprov DKI Jakarta.
Sedangkan ITF Cakung Cilincing dibangun oleh swasta dan ITF Marunda dibangun melalui public private partnership. “Targetnya, kita menjadikan kapasitas itu naik menjadi 26 MW. Kemudian ini bisa disuplai PLN, sehingga tidak ada lagi kesan sampah itu tidak punya nilai komersil,” katanya.
Diungkapkan Fauzi, teknologi pengolahan sampah yang digunakan ini merupakan teknologi paling muktahir di dunia dengan menggunakan tiga komponen. Seperti incineration atau pembakaran, kemudian power plant yang membuat sampah menjadi energi listrik serta teknologi environment control equipment yang ramah lingkungan. [Harian Rakyat Merdeka]
DKI Tingkatkan Program Daur Ulang Sampah 22/5/2012 19:06 WIB
Selain membangun berbagai fasilitas pengolahan
sampah berbasis teknologi modern, Pemprov DKI Jakarta juga giat
mengembangkan pengolahan sampah di sumber melalui kegiatan 3R (reduce,
reuse, dan recycle). Hal ini sesuai amanat UU 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 12 dan 13 yang mengatur ketentuan kewajiban
menyediakan fasilitas pemilahan sampah.
Ketua TP PKK DKI Jakarta, Tatiek Fauzi Bowo mengatakan, untuk mengatasi persoalan sampah di ibu kota memang menuntut keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat. "Salah satunya, penyediaan fasilitas pemilahan sampah (3R). Aktifitas ini bertujuan mengambil manfaat ekonomi dari sampah. Implementasinya dapat dikelola dalam bentuk bank sampah di lingkungan sekitar tempat tinggal warga," ujar Tatiek, Selasa (22/5).
Senada dengan Tatiek, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Eko Bharuna menuturkan, pengolahan sampah secanggih apapun di tempat pengolahan akhir (TPA) akan berkurang efektifitasnya, jika sampah tidak dikelola sejak dari sumber. "Melalui Program 3R kita budayakan warga untuk melakukan pemilahan dan pengumpulan sampah, sehingga kandungan sampah yang masih mempunyai nilai manfaat dapat didayagunakan," kataEko.
Pasal 22 UU 18/2008, dikatakan Eko, secara tegas, mengamanatkan kegiatan penanganan sampah melalui Program 3R, yang terdiri dari pengurangan sampah (reduce), penggunaan kembali (reuse), dan pendaur ulangan sampah (recycle). Saat ini, sambungnya, Pemprov DKI dan Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta tengah membahas Raperda Pengelolaan Sampah. Nantinya, perda ini akan mengatur secara teknis mengenai pengelolaan sampah di ibu kota, termasuk juga ketentuan pengelolaan sampah di sumber.
Salah satu langkah yang ditempuh Dinas Kebersihan untuk meningkatkan kegiatan 3R dan bank sampah, lanjut Eko, pihaknya secara rutin mengelar pelatihan-pelatihan dan penyuluhan Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL) dengan modul yang telah disiapkan Dinas Kebersihan. Pelatihan ini diberikan antara lain kepada warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (Formapel), Persatuan Wanita Betawi (PWB), dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Kader Kebersihan tersebut akan menjadi fasilitator dan motivator aktifitas 3R di lingkungan masing-masing. "Diharapkan Kader Kebersihan ini akan menjadi perpanjangan tangan Dinas Kebersihan DKI di tingkat RW untuk menggalakan program penanganan sampah berbasis masyarakat. Mereka secara operasional menjadi bagian dari Lembaga Masyarakat Kelurahan (LMK) serta PKK di tingkat RW masing-masing," tandas Eko.
Di Jakarta, saat ini tersebar puluhan bank sampah atau bank daur ulang sampah. Sebagai contoh di RW 12, Kelurahan Kebayoranlama, Jakarta Selatan. Dikatakan Ngasimun, ketua RW setempat sekaligus penanggungjawab Bank Sampah Soka 12 mengatakan, kegiatan bank sampah-nya mampu mereduksi hingga 30 persen sampah yang dihasilkan warga. "Saat ini terdapat 98 anggota aktif bank sampah kita, mereka secara swadaya mengantarkan sampahnya ke Bank Sampah. Setelah kita timbang, kita catatkan di buku tabungan. Per tiga bulan, baru kita bayarkan," kata Ngasimun.
Sampah-sampah tersebut, kata Ngasimun, diolah sesuai jenisnya. Untuk sampah organik dilakukan komposting dengan mesin ataupun manual. "Ibu-ibu kader kebersihan juga giat membina warga untuk membuat kompos di rumah masing-masing," kata dia. Sedangkan untuk sampah anorganik, diolah menjadi bahan kerajinan tangan seperti tas, dompet, dan hiasan dinding. "Khusus sampah ban bekas dari bengkel-bengkel di sekitar sini, kita buat jadi pot bunga. Itu yang kita jejerkan di sepanjang jalan lingkungan untuk penghijauan, pupuknya pun dari kompos yang kita hasilkan," tambah Ngasimun.
Selain di lingkungan, kegiatan 3R juga digalakan di sekolah-sekolah. Salah satunya di SMAN 12 Jakarta. Di sekolah ini, kegiatan 3R masuk dalam kurikulum Muatan Lokal (Mulok) Lingkungan Hidup. Guru Mata Pelajajaran Mulok Lingkungan Hidup SMAN 12, Teti Suryati menuturkan, salah satu standar kompetensi yang diajarkan ke siswanya adalah memahami tehnik pengelolaan limbah padat. "Seperti praktek membuat kompos, lubang biopori, daur ulang kertas dan mengubah plastik kemasan menjadi berbagai jenis kerajinan. Prakteknya pun tidak hanya di sekolah, tapi juga di rumah siswa masing-masing, sehingga turut mengedukasi keluarganya," ucapnya.
Bahkan, kata Teti, kurikulum Mulok Lingkungan Hidup di sekolahnya akan dijadikan percontohan oleh UNESCO untuk diterapkan di beberapa negara. "Agustus tahun ini, saya diundang UNESCO untuk memberikan paparan di Jepang mengenai silabus dan materi ajar Mulok Lingkungan Hidup dalam acara Regional Workshop for Green School Action in East Asia on Theacher Capacity Building in Climate Change Education," katanya.
Reporter : erik | Editor : erik
Ketua TP PKK DKI Jakarta, Tatiek Fauzi Bowo mengatakan, untuk mengatasi persoalan sampah di ibu kota memang menuntut keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat. "Salah satunya, penyediaan fasilitas pemilahan sampah (3R). Aktifitas ini bertujuan mengambil manfaat ekonomi dari sampah. Implementasinya dapat dikelola dalam bentuk bank sampah di lingkungan sekitar tempat tinggal warga," ujar Tatiek, Selasa (22/5).
Senada dengan Tatiek, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Eko Bharuna menuturkan, pengolahan sampah secanggih apapun di tempat pengolahan akhir (TPA) akan berkurang efektifitasnya, jika sampah tidak dikelola sejak dari sumber. "Melalui Program 3R kita budayakan warga untuk melakukan pemilahan dan pengumpulan sampah, sehingga kandungan sampah yang masih mempunyai nilai manfaat dapat didayagunakan," kataEko.
Pasal 22 UU 18/2008, dikatakan Eko, secara tegas, mengamanatkan kegiatan penanganan sampah melalui Program 3R, yang terdiri dari pengurangan sampah (reduce), penggunaan kembali (reuse), dan pendaur ulangan sampah (recycle). Saat ini, sambungnya, Pemprov DKI dan Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta tengah membahas Raperda Pengelolaan Sampah. Nantinya, perda ini akan mengatur secara teknis mengenai pengelolaan sampah di ibu kota, termasuk juga ketentuan pengelolaan sampah di sumber.
Salah satu langkah yang ditempuh Dinas Kebersihan untuk meningkatkan kegiatan 3R dan bank sampah, lanjut Eko, pihaknya secara rutin mengelar pelatihan-pelatihan dan penyuluhan Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL) dengan modul yang telah disiapkan Dinas Kebersihan. Pelatihan ini diberikan antara lain kepada warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (Formapel), Persatuan Wanita Betawi (PWB), dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Kader Kebersihan tersebut akan menjadi fasilitator dan motivator aktifitas 3R di lingkungan masing-masing. "Diharapkan Kader Kebersihan ini akan menjadi perpanjangan tangan Dinas Kebersihan DKI di tingkat RW untuk menggalakan program penanganan sampah berbasis masyarakat. Mereka secara operasional menjadi bagian dari Lembaga Masyarakat Kelurahan (LMK) serta PKK di tingkat RW masing-masing," tandas Eko.
Di Jakarta, saat ini tersebar puluhan bank sampah atau bank daur ulang sampah. Sebagai contoh di RW 12, Kelurahan Kebayoranlama, Jakarta Selatan. Dikatakan Ngasimun, ketua RW setempat sekaligus penanggungjawab Bank Sampah Soka 12 mengatakan, kegiatan bank sampah-nya mampu mereduksi hingga 30 persen sampah yang dihasilkan warga. "Saat ini terdapat 98 anggota aktif bank sampah kita, mereka secara swadaya mengantarkan sampahnya ke Bank Sampah. Setelah kita timbang, kita catatkan di buku tabungan. Per tiga bulan, baru kita bayarkan," kata Ngasimun.
Sampah-sampah tersebut, kata Ngasimun, diolah sesuai jenisnya. Untuk sampah organik dilakukan komposting dengan mesin ataupun manual. "Ibu-ibu kader kebersihan juga giat membina warga untuk membuat kompos di rumah masing-masing," kata dia. Sedangkan untuk sampah anorganik, diolah menjadi bahan kerajinan tangan seperti tas, dompet, dan hiasan dinding. "Khusus sampah ban bekas dari bengkel-bengkel di sekitar sini, kita buat jadi pot bunga. Itu yang kita jejerkan di sepanjang jalan lingkungan untuk penghijauan, pupuknya pun dari kompos yang kita hasilkan," tambah Ngasimun.
Selain di lingkungan, kegiatan 3R juga digalakan di sekolah-sekolah. Salah satunya di SMAN 12 Jakarta. Di sekolah ini, kegiatan 3R masuk dalam kurikulum Muatan Lokal (Mulok) Lingkungan Hidup. Guru Mata Pelajajaran Mulok Lingkungan Hidup SMAN 12, Teti Suryati menuturkan, salah satu standar kompetensi yang diajarkan ke siswanya adalah memahami tehnik pengelolaan limbah padat. "Seperti praktek membuat kompos, lubang biopori, daur ulang kertas dan mengubah plastik kemasan menjadi berbagai jenis kerajinan. Prakteknya pun tidak hanya di sekolah, tapi juga di rumah siswa masing-masing, sehingga turut mengedukasi keluarganya," ucapnya.
Bahkan, kata Teti, kurikulum Mulok Lingkungan Hidup di sekolahnya akan dijadikan percontohan oleh UNESCO untuk diterapkan di beberapa negara. "Agustus tahun ini, saya diundang UNESCO untuk memberikan paparan di Jepang mengenai silabus dan materi ajar Mulok Lingkungan Hidup dalam acara Regional Workshop for Green School Action in East Asia on Theacher Capacity Building in Climate Change Education," katanya.
Reporter : erik | Editor : erik
Jumat, 24 Agustus 2012
3R, Tetap Terampuh Tanggulangi Sampah DKI by Unilever
Untuk mengatasi persoalan sampah
khususnya di Ibu Kota, memang tidak mungkin bisa mengesampingkan peran
penting masyarakat sebagai salah satu pihak pemangku kepentingan.
Apalagi, jika mempertimbangkan belum ada satu pun metode yang sanggup
mengalahkan pengolahan sampah di sumber. Itu sebabnya, Pasal 22 UU
18/2008, secara tegas memang mengamanatkan kegiatan penanganan sampah
melalui Program 3R, yang terdiri dari pengurangan sampah (reduce),
penggunaan kembali (reuse), dan pendaur ulangan sampah (recycle).
Kepala Dinas Kebersihan Provinsi DKI
Jakarta, Eko Bharuna mengatakan, pengolahan sampah secanggih apapun di
Tempat Pengolahan Akhir (TPA) akan berkurang efektifitasnya, jika sampah
tidak dikelola sejak dari sumber. Makanya melalui Program 3R kita
budayakan warga untuk melakukan pemilahan dan pengumpulan sampah,
sehingga kandungan sampah yang masih mempunyai nilai manfaat dapat
didayagunakan," ucapnya seperti dikutip oleh ANTARA berapa waktu lalu.
Saat ini, Pemprov dan Badan Legislasi
Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta sedang membahas Raperda Pengelolaan
Sampah. Perda ini akan mengatur secara teknis pengelolaan sampah di Ibu
Kota, termasuk juga ketentuan pengelolaan sampah di sumber, yang salah
satunya adalah penyediaan fasilitas pemilahan sampah (3R).
Hal tersebut dilakukan seiring dengan pembangunan berbagai fasilitas pengolahan sampah berbasis teknologi modern.
UNILEVER- Green and Clean
Ayo Nabung Sampah Dilaporkan oleh Erna
Sampah jika tidak dikelola dengan baik tidak hanya meninggalkan masalah
lingkungan, tapi juga membahayakan kesehatan. Onggokan sampah yang kerap
menimbulkan bau tak sedap sebenarnya bisa menjanjikan nilai ekonomis
yang tinggi. Pemprov DKI pun mulai melirik manfaat ekonomis tersebut
dengan mengajak warga menyimpan sampah rumah tangga dengan membuat bank
sampah. Nantinya, sampah-sampah itu akan dihargai dengan harga tinggi.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Eko Bharuna mengatakan, mengacu pada Undang-undang 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, Pasal 12 dan 13 yang mengatur ketentuan kewajiban menyediakan fasilitas pemilahan sampah, bank sampah menjadi solusi di tengah semakin meningkatnya volume sampah di DKI Jakarta.
Nantinya masyarakat bisa menyetorkan sampah yang sudah terpilah ke bank sampah. Sampah-sampah tersebut ditimbang dan dinilaikan ke rupiah. Harga yang berlaku saat ini untuk botol plastik sekitar Rp 2.700 per kilogram, kaleng Rp 2.000 per kilogram, dan kertas putih Rp 1.500 per kilogram. "Meniru sistem bank, uang tersebut tidak langsung dibayarkan, akan tetapi dicatatkan ke dalam buku tabungan bank sampah milik nasabah," ujarnya Sabtu (26/5).
Eko menyebutkan, di Jakarta saat ini tersebar puluhan bank sampah atau bank daur ulang sampah seperti di RW 12, Kelurahan Kebayoranlama, Jakarta Selatan. "Kegiatan bank sampah di wilayah tersebut mampu mereduksi hingga 30 persen sampah yang dihasilkan warga," jelasnya.
Sampah-sampah tersebut akan diolah sesuai jenisnya. Untuk sampah organik dilakukan komposting dengan mesin ataupun manual. Sedangkan sampah anorganik, diolah menjadi bahan kerajinan tangan seperti tas, dompet, dan hiasan dinding. “Khusus sampah ban bekas dari bengkel-bengkel dibuat jadi pot bunga.
"Nantinya pot itu bisa diletakkan di sepanjang jalan lingkungan untuk penghijauan. Pupuknya pun dari kompos yang dihasilkan dari sampah organik,” katanya.
Reporter: erna
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Eko Bharuna mengatakan, mengacu pada Undang-undang 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, Pasal 12 dan 13 yang mengatur ketentuan kewajiban menyediakan fasilitas pemilahan sampah, bank sampah menjadi solusi di tengah semakin meningkatnya volume sampah di DKI Jakarta.
Nantinya masyarakat bisa menyetorkan sampah yang sudah terpilah ke bank sampah. Sampah-sampah tersebut ditimbang dan dinilaikan ke rupiah. Harga yang berlaku saat ini untuk botol plastik sekitar Rp 2.700 per kilogram, kaleng Rp 2.000 per kilogram, dan kertas putih Rp 1.500 per kilogram. "Meniru sistem bank, uang tersebut tidak langsung dibayarkan, akan tetapi dicatatkan ke dalam buku tabungan bank sampah milik nasabah," ujarnya Sabtu (26/5).
Eko menyebutkan, di Jakarta saat ini tersebar puluhan bank sampah atau bank daur ulang sampah seperti di RW 12, Kelurahan Kebayoranlama, Jakarta Selatan. "Kegiatan bank sampah di wilayah tersebut mampu mereduksi hingga 30 persen sampah yang dihasilkan warga," jelasnya.
Sampah-sampah tersebut akan diolah sesuai jenisnya. Untuk sampah organik dilakukan komposting dengan mesin ataupun manual. Sedangkan sampah anorganik, diolah menjadi bahan kerajinan tangan seperti tas, dompet, dan hiasan dinding. “Khusus sampah ban bekas dari bengkel-bengkel dibuat jadi pot bunga.
"Nantinya pot itu bisa diletakkan di sepanjang jalan lingkungan untuk penghijauan. Pupuknya pun dari kompos yang dihasilkan dari sampah organik,” katanya.
Reporter: erna
Sampah Ancam Keselamatan Ribuan Orang Kamis, 29 September 2011 | 03:33 WIB
Kompas.Com. Sampah dan kereta rel listrik, dua hal yang sepertinya terpisah.
Namun, ternyata sampah menjadi momok bagi keselamatan perjalanan kereta.
Betapa tidak, karena sampah yang menumpuk di sisi kanan dan kiri rel membuat persinyalan kereta terganggu. Perjalanan kereta menjadi tidak dapat terdeteksi.
Pada semester pertama 2011 sudah terjadi 50 kali gangguan sinyal di wilayah Depok. Kepala Resor Sinyal Telekomunikasi Depok PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi Satu Ahmad Supriadi mengatakan, salah satu penyebab utama gangguan adalah tumpukan sampah di area lajur rel. Tumpukan sampah itu membuat proses korosi kabel sinyal menjadi lebih cepat.
Peristiwa terakhir gangguan sinyal terjadi hari Minggu (25/9) sore. Gangguan itu terjadi saat Tim Biru PT KAI membersihkan sampah di sisi utara Stasiun Depok Baru. Tim Biru (tim penertiban) tidak sengaja memutuskan kabel sinyal. Kabel sinyal tersebut seharusnya tertanam di dalam tanah. Namun, karena ada tumpukan sampah, kabel sinyal berada di atas tanah.
Di sisi utara Stasiun Depok Baru, sampah bahkan menumpuk bertahun-tahun. Pedagang yang juga mendirikan lapak di sekitar rel tersebut membuang sampah sembarangan. Selain menebar bau busuk, area rel di sisi utara Stasiun Depok Baru menjadi lembab.
Acong (36), pedagang tahu di sisi utara Stasiun Depok Baru, mengakui kebiasaan buruk pedagang. Mereka membuang sampah seenaknya karena volume sampah jauh lebih besar dibandingkan dengan daya angkut petugas kebersihan. Acong memahami keinginan PT KAI menata kawasan tersebut.
Kompas bahkan menemukan dua pipa saluran pembuangan air dari lapak-lapak pedagang ke arah rel.
Lima tahun terakhir ini, sisi utara Stasiun Depok Baru secara perlahan berubah menjadi pasar tumpah.
Pedagang lebih senang berjualan di sana ketimbang di Pasar Kemiri Muka, yang letaknya sekitar 200 meter dari tempat itu. Mereka memanfaatkan lokasi yang berdekatan dengan stasiun sehingga memudahkan penumpang kereta berbelanja setelah bepergian.
Berangkat dari kondisi buruk itu, PT KAI mulai menertibkan kawasan itu sejak dua minggu. Senior Manager Security PT KAI Daerah Operasi Satu Akhmad Sujadi menginginkan kawasan itu kembali seperti sebelumnya. Selain sampah, tim penertiban juga menertibkan bangunan liar di area seluas 4 hektar itu.
Teladan baik
Di tengah buruknya kondisi sekitar rel, ada teladan baik di Bogor yang patut diketahui publik. Bram Nurdiansyah (36) bersama sejumlah rekannya, pengamen di dalam KRL, memilih membersihkan sampah di tepi rel di sekitar Stasiun Bogor, Jawa Barat, Rabu (28/9). Bukan hendak menjadi pemulung, melainkan mereka ingin berbuat sesuatu bagi tempat mereka ”bekerja”.
Sejak pukul 08.00, Bram berjalan kaki menyusuri rel ke arah pintu pelintasan Pasar Anyar. Bermodal karung untuk mengangkut sampah dan gancu, Bram membersihkan sampah di sekitar rel. Bentuk sampah itu macam-macam, tetapi sebagian besar kemasan plastik.
Dari pintu pelintasan Pasar Anyar, mereka bergerak ke arah Stasiun Bogor, masuk di peron satu, kemudian setelah itu melanjutkan hingga ke pintu pelintasan menuju Sukabumi.
Ada sekitar 50 orang yang terlibat bersih-bersih jalur pelintasan kereta sepanjang 700 meter itu. Separuhnya dari Komunitas Simfoni Kereta Api (KSKA), semacam paguyuban pengamen di Stasiun Bogor. Selain itu, ada juga petugas Stasiun Bogor. Kebetulan hari itu merupakan HUT Ke-66 PT KAI.
Menurut Andre, Ketua KSKA, pengamen hendak berbuat sesuatu untuk KRL yang kerap menjadi lokasi mencari penghidupan. Beberapa tahun terakhir, KSKA menginisiasi kerja bakti setiap Jumat untuk membersihkan sampah di sekitar rel.
”Ini soal estetika juga. Stasiun menjadi kotor karena penumpang dan masyarakat sekitar sembarangan membuang sampah,” tuturnya.
Dia berharap akan ada gerakan rutin guna menyadarkan sejumlah pemangku kepentingan di sekitar pelintasan KRL untuk mau peduli dan tidak sembarangan membuang sampah. Hal itu bisa dilakukan pula dengan sosialisasi dalam bentuk seni di stasiun, sekaligus ada semacam sukarelawan untuk ”menegur” orang-orang yang membuang sampah sembarangan di KRL.
Terlebih, membuang sampah di sepanjang area rel bukan sekadar soal estetika, melainkan juga menyangkut keselamatan ribuan orang.(Andy Riza Hidayat/Antony Lee)
Betapa tidak, karena sampah yang menumpuk di sisi kanan dan kiri rel membuat persinyalan kereta terganggu. Perjalanan kereta menjadi tidak dapat terdeteksi.
Pada semester pertama 2011 sudah terjadi 50 kali gangguan sinyal di wilayah Depok. Kepala Resor Sinyal Telekomunikasi Depok PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi Satu Ahmad Supriadi mengatakan, salah satu penyebab utama gangguan adalah tumpukan sampah di area lajur rel. Tumpukan sampah itu membuat proses korosi kabel sinyal menjadi lebih cepat.
Peristiwa terakhir gangguan sinyal terjadi hari Minggu (25/9) sore. Gangguan itu terjadi saat Tim Biru PT KAI membersihkan sampah di sisi utara Stasiun Depok Baru. Tim Biru (tim penertiban) tidak sengaja memutuskan kabel sinyal. Kabel sinyal tersebut seharusnya tertanam di dalam tanah. Namun, karena ada tumpukan sampah, kabel sinyal berada di atas tanah.
Di sisi utara Stasiun Depok Baru, sampah bahkan menumpuk bertahun-tahun. Pedagang yang juga mendirikan lapak di sekitar rel tersebut membuang sampah sembarangan. Selain menebar bau busuk, area rel di sisi utara Stasiun Depok Baru menjadi lembab.
Acong (36), pedagang tahu di sisi utara Stasiun Depok Baru, mengakui kebiasaan buruk pedagang. Mereka membuang sampah seenaknya karena volume sampah jauh lebih besar dibandingkan dengan daya angkut petugas kebersihan. Acong memahami keinginan PT KAI menata kawasan tersebut.
Kompas bahkan menemukan dua pipa saluran pembuangan air dari lapak-lapak pedagang ke arah rel.
Lima tahun terakhir ini, sisi utara Stasiun Depok Baru secara perlahan berubah menjadi pasar tumpah.
Pedagang lebih senang berjualan di sana ketimbang di Pasar Kemiri Muka, yang letaknya sekitar 200 meter dari tempat itu. Mereka memanfaatkan lokasi yang berdekatan dengan stasiun sehingga memudahkan penumpang kereta berbelanja setelah bepergian.
Berangkat dari kondisi buruk itu, PT KAI mulai menertibkan kawasan itu sejak dua minggu. Senior Manager Security PT KAI Daerah Operasi Satu Akhmad Sujadi menginginkan kawasan itu kembali seperti sebelumnya. Selain sampah, tim penertiban juga menertibkan bangunan liar di area seluas 4 hektar itu.
Teladan baik
Di tengah buruknya kondisi sekitar rel, ada teladan baik di Bogor yang patut diketahui publik. Bram Nurdiansyah (36) bersama sejumlah rekannya, pengamen di dalam KRL, memilih membersihkan sampah di tepi rel di sekitar Stasiun Bogor, Jawa Barat, Rabu (28/9). Bukan hendak menjadi pemulung, melainkan mereka ingin berbuat sesuatu bagi tempat mereka ”bekerja”.
Sejak pukul 08.00, Bram berjalan kaki menyusuri rel ke arah pintu pelintasan Pasar Anyar. Bermodal karung untuk mengangkut sampah dan gancu, Bram membersihkan sampah di sekitar rel. Bentuk sampah itu macam-macam, tetapi sebagian besar kemasan plastik.
Dari pintu pelintasan Pasar Anyar, mereka bergerak ke arah Stasiun Bogor, masuk di peron satu, kemudian setelah itu melanjutkan hingga ke pintu pelintasan menuju Sukabumi.
Ada sekitar 50 orang yang terlibat bersih-bersih jalur pelintasan kereta sepanjang 700 meter itu. Separuhnya dari Komunitas Simfoni Kereta Api (KSKA), semacam paguyuban pengamen di Stasiun Bogor. Selain itu, ada juga petugas Stasiun Bogor. Kebetulan hari itu merupakan HUT Ke-66 PT KAI.
Menurut Andre, Ketua KSKA, pengamen hendak berbuat sesuatu untuk KRL yang kerap menjadi lokasi mencari penghidupan. Beberapa tahun terakhir, KSKA menginisiasi kerja bakti setiap Jumat untuk membersihkan sampah di sekitar rel.
”Ini soal estetika juga. Stasiun menjadi kotor karena penumpang dan masyarakat sekitar sembarangan membuang sampah,” tuturnya.
Dia berharap akan ada gerakan rutin guna menyadarkan sejumlah pemangku kepentingan di sekitar pelintasan KRL untuk mau peduli dan tidak sembarangan membuang sampah. Hal itu bisa dilakukan pula dengan sosialisasi dalam bentuk seni di stasiun, sekaligus ada semacam sukarelawan untuk ”menegur” orang-orang yang membuang sampah sembarangan di KRL.
Terlebih, membuang sampah di sepanjang area rel bukan sekadar soal estetika, melainkan juga menyangkut keselamatan ribuan orang.(Andy Riza Hidayat/Antony Lee)
DKI Dinilai Berhasil Kelola Sampah, Oktober 2011
JAKARTA, KOMPAS.com — Selama empat tahun
kepemimpinan Fauzi Bowo-Prijanto telah banyak membawa kemajuan dan
prestasi membanggakan bagi Kota Jakarta. Salah satunya, memfokuskan
pengolahan sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi warga Jakarta
dengan mengolah sampah menjadi listrik, kompos, dan barang bernilai
ekonomis tinggi.
Pengolahan
sampah yang berhasil mengurangi nilai residu sampah ini dilakukan
melalui pengembangan Intermediate Treatment Facility (ITF) dan Sentra 3R
(reuse, reduce, and recycle). Kedua langkah ini mendapat
apresiasi dari banyak kalangan termasuk dunia internasional. Atas
keberhasilannya itu, tak jarang Gubernur DKI Fauzi Bowo diminta untuk
mempresentasikannya di berbagai seminar internasional terkait lingkungan
hidup.
Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Dwi Rio Sambodo, menilai, selama empat tahun kepemimpinan Fauzi Bowo-Prijanto, Pemprov DKI berhasil dalam meningkatkan pengolahan sampah terpadu, baik melalui tempat pengolahan sampah terpadu yang disediakan Pemprov DKI maupun pengolahan sampah yang melibatkan masyarakat.
“Buktinya, residu sampah yang dihasilkan pun bisa berkurang. Tidak hanya itu, sampah bisa langsung ditangani di dalam kota, tanpa harus dikirim ke Bantar Gebang. Akibatnya, mengurangi beban arus lalu lintas ke Bekasi dan menghemat biaya bahan bakar,” ujar Dwi, Selasa (4/10/2011).
Untuk itu, dirinya berharap, pola penanganan sampah terpadu melalui ITF dapat direalisasikan dengan segera membangun dua ITF lainnya yang masih dalam tahap perencanaan kemudian membangun sentra-sentra 3R di lima wilayah kotamadya agar semakin meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan 3R untuk sampah domestik rumah tangga.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Eko Bharuna mengatakan, pihaknya juga mulai memfokuskan pengolahan sampah di dalam kota untuk mempercepat pengolahan sampah dan mengurangi volume sampah ke TPST Bantar Gebang.
“Membangun pengolahan sampah dalam kota melalui tiga unit ITF di dalam kota, yakni ITF Cakung Cilincing, ITF Marunda, dan ITF Sunter yang merupakan amanat RPJMD 2007-2012,” katanya.
ITF Cakung Cilincing, ujarnya, diperluas dari awalnya hanya 4,5 hektar menjadi seluas 7,5 hektar. Diharapkan, ketika beroperasi penuh pada tahun 2012 mampu mengolah sampah sebanyak 1.300 ton per hari. Sampah itu diolah menjadi kompos, bahan bakar pembangkit listrik berkapasitas 4,95 MW atau menghasilkan bahan bakar gas (BBG) sebesar 445.699 MMBTU. ITF Cakung Cilincing menerapkan teknologi mechanical biological treatment (MBT).
Namun, proses pembangunannya dilakukan secara bertahap, yaitu per 1 Agustus 2011 sudah beroperasi mengolah sampah 450 ton per hari menjadi kompos. Per 1 Januari 2012 beroperasi mengolah sampah 600 ton per hari dengan teknologi MBT. Sampah tersebut diolah menjadi BBG per listrik, produk daur ulang dan kompos. Per 1 Juli 2012 beroperasi mengolah sampah 1.300 ton per hari dengan teknologi MBT. Sampah tersebut diolah menjadi BBG per listrik, produk daur ulang dan kompos.
Lalu, ITF Sunter yang berdiri di atas lahan 3,5 hektar direncanakan mampu mengolah sampah sebanyak 1.200 ton per hari dengan teknologi waste to energy. Saat ini, ITF Sunter beroperasi sebagai fasilitas pemadatan sampah Stasiun Peralihan Antara Sunter (SPA Sunter).
SPA Sunter berfungsi untuk mengefisienkan ritasi kendaraan angkut sampah sehingga proses pengiriman sampah ke TPST Bantar Gebang tidak menambah potensi kemacetan di jalanan Ibu Kota. Saat ini akan dilaksanakan tender yang lebih kurang memakan waktu tiga bulan dengan skema Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS) dalam Pengadaan Infrastruktur. Pola kerja samanya Build, Operate, and Transfer ( BOT). Penandatanganan kontrak direncanakan pada awal Januari 2012.
Pengolahan sampah di dalam kota, dikatakan Eko, tidak hanya tergantung pada ITF saja, tetapi juga dilakukan pengurangan sampah di sumber sampah melalui program 3R. Dinas Kebersihan juga berupaya mengurangi sampah warga Ibu Kota sejak dari sumber sampah. Program tersebut di antaranya membangun lokasi 3R di permukiman masyarakat yang saat ini terdapat 94 titik 3R tersebar di lima wilayah dan mampu mereduksi 350 ton per hari atau 5 persen dari total sampah Jakarta.
“Ke depan, dalam Raperda tentang Pengelolaan Persampahan di DKI, semua pengembang kawasan diwajibkan membangun pengolahan sampahnya sendiri,” jelasnya.
Di antara pengembang kawasan yang sudah berkomitmen membangun Sentra 3R adalah pengembang Pantai Indah Kapuk (PIK). Di lokasi Fasos dan Fasum PIK akan dibuat proyek percontohan Sentra 3R dengan menggandeng Investor dan Yayasan Buddha Tzu Chi. Di sana akan dibangun fasilitas pengolahan sampah dengan teknologi Integrated Dry Anaerobic Digestion and Composting. Sampah di sini akan diolah menjadi listrik dan kompos. Namun bedanya dengan ITF, Sentra 3R kapasitasnya lebih kecil, sekitar 200 ton per hari.
Sentra 3R juga direncanakan dibangun di lokasi Asrama Dinas Kebersihan Pesanggrahan Jakarta Selatan bekerja sama dengan Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum (PLP PU) dengan kapasitas 200 ton per hari yang saat ini sedang dalam proses pembangunan.
Petugas Kebersihan membersihkan sampah sisa malam takbiran di ruas Jalan
Bekasi Barat, Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (10/9/2010).
Buktinya, residu sampah
yang dihasilkan pun bisa berkurang. Tidak hanya itu, sampah bisa
langsung ditangani di dalam kota, tanpa harus dikirim ke Bantar Gebang.
Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Dwi Rio Sambodo, menilai, selama empat tahun kepemimpinan Fauzi Bowo-Prijanto, Pemprov DKI berhasil dalam meningkatkan pengolahan sampah terpadu, baik melalui tempat pengolahan sampah terpadu yang disediakan Pemprov DKI maupun pengolahan sampah yang melibatkan masyarakat.
“Buktinya, residu sampah yang dihasilkan pun bisa berkurang. Tidak hanya itu, sampah bisa langsung ditangani di dalam kota, tanpa harus dikirim ke Bantar Gebang. Akibatnya, mengurangi beban arus lalu lintas ke Bekasi dan menghemat biaya bahan bakar,” ujar Dwi, Selasa (4/10/2011).
Untuk itu, dirinya berharap, pola penanganan sampah terpadu melalui ITF dapat direalisasikan dengan segera membangun dua ITF lainnya yang masih dalam tahap perencanaan kemudian membangun sentra-sentra 3R di lima wilayah kotamadya agar semakin meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan 3R untuk sampah domestik rumah tangga.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Eko Bharuna mengatakan, pihaknya juga mulai memfokuskan pengolahan sampah di dalam kota untuk mempercepat pengolahan sampah dan mengurangi volume sampah ke TPST Bantar Gebang.
“Membangun pengolahan sampah dalam kota melalui tiga unit ITF di dalam kota, yakni ITF Cakung Cilincing, ITF Marunda, dan ITF Sunter yang merupakan amanat RPJMD 2007-2012,” katanya.
ITF Cakung Cilincing, ujarnya, diperluas dari awalnya hanya 4,5 hektar menjadi seluas 7,5 hektar. Diharapkan, ketika beroperasi penuh pada tahun 2012 mampu mengolah sampah sebanyak 1.300 ton per hari. Sampah itu diolah menjadi kompos, bahan bakar pembangkit listrik berkapasitas 4,95 MW atau menghasilkan bahan bakar gas (BBG) sebesar 445.699 MMBTU. ITF Cakung Cilincing menerapkan teknologi mechanical biological treatment (MBT).
Namun, proses pembangunannya dilakukan secara bertahap, yaitu per 1 Agustus 2011 sudah beroperasi mengolah sampah 450 ton per hari menjadi kompos. Per 1 Januari 2012 beroperasi mengolah sampah 600 ton per hari dengan teknologi MBT. Sampah tersebut diolah menjadi BBG per listrik, produk daur ulang dan kompos. Per 1 Juli 2012 beroperasi mengolah sampah 1.300 ton per hari dengan teknologi MBT. Sampah tersebut diolah menjadi BBG per listrik, produk daur ulang dan kompos.
Lalu, ITF Sunter yang berdiri di atas lahan 3,5 hektar direncanakan mampu mengolah sampah sebanyak 1.200 ton per hari dengan teknologi waste to energy. Saat ini, ITF Sunter beroperasi sebagai fasilitas pemadatan sampah Stasiun Peralihan Antara Sunter (SPA Sunter).
SPA Sunter berfungsi untuk mengefisienkan ritasi kendaraan angkut sampah sehingga proses pengiriman sampah ke TPST Bantar Gebang tidak menambah potensi kemacetan di jalanan Ibu Kota. Saat ini akan dilaksanakan tender yang lebih kurang memakan waktu tiga bulan dengan skema Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS) dalam Pengadaan Infrastruktur. Pola kerja samanya Build, Operate, and Transfer ( BOT). Penandatanganan kontrak direncanakan pada awal Januari 2012.
Pengolahan sampah di dalam kota, dikatakan Eko, tidak hanya tergantung pada ITF saja, tetapi juga dilakukan pengurangan sampah di sumber sampah melalui program 3R. Dinas Kebersihan juga berupaya mengurangi sampah warga Ibu Kota sejak dari sumber sampah. Program tersebut di antaranya membangun lokasi 3R di permukiman masyarakat yang saat ini terdapat 94 titik 3R tersebar di lima wilayah dan mampu mereduksi 350 ton per hari atau 5 persen dari total sampah Jakarta.
“Ke depan, dalam Raperda tentang Pengelolaan Persampahan di DKI, semua pengembang kawasan diwajibkan membangun pengolahan sampahnya sendiri,” jelasnya.
Di antara pengembang kawasan yang sudah berkomitmen membangun Sentra 3R adalah pengembang Pantai Indah Kapuk (PIK). Di lokasi Fasos dan Fasum PIK akan dibuat proyek percontohan Sentra 3R dengan menggandeng Investor dan Yayasan Buddha Tzu Chi. Di sana akan dibangun fasilitas pengolahan sampah dengan teknologi Integrated Dry Anaerobic Digestion and Composting. Sampah di sini akan diolah menjadi listrik dan kompos. Namun bedanya dengan ITF, Sentra 3R kapasitasnya lebih kecil, sekitar 200 ton per hari.
Sentra 3R juga direncanakan dibangun di lokasi Asrama Dinas Kebersihan Pesanggrahan Jakarta Selatan bekerja sama dengan Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum (PLP PU) dengan kapasitas 200 ton per hari yang saat ini sedang dalam proses pembangunan.
Membangun Pengolahan Sampah Mandiri
oleh Robert Adhi Ksp
Sampah acapkali menjadi persoalan dalam sebuah kota. Namun jika kita pandai mengelolanya, sampah bukan lagi produk buangan, tapi produk yang menghasilkan. Inilah yang dilakukan masyarakat yang bermukim di tujuh RT di RW 012, Kelurahan Pamulang Barat, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan.
Pada awalnya, sampah rumah tangga dari 700 keluarga di wilayah ini dibuang ke TPA di sekitar permukiman. Namun pembuangan sampah di TPA itu mengundang protes warga di sekitar TPA yang mengancam menutup TPA itu. Pengurus RW 012 Pamulang Barat pun berembug. Tahun 2007, sudah muncul ide pengolahan sampah. Namun, kata Sugeng Rahardjo, koordinator pembangunan pengolahan sampah RW setempat, menyatukan pendapat 700 keluarga di RW itu tidaklah mudah.
Melalui konsolidasi yang cukup lama, akhirnya 700 keluarga di RW 012 sepakat membayar secara bersama-sama biaya pembangunan pengolahan sampah sebesar Rp 120 juta. Setiap KK diwajibkan membayar Rp 200.000. Beberapa keluarga membayar dengan cara mencicil Rp 50.000 per bulan selama empat bulan. Demikianlah, cara RW 012 Pamulang Barat ini melibatkan warganya dalam pembangunan pengolahan sampah.
Dan tepat hari Minggu 6 Juni 2011, pengolahan sampah milik masyarakat ini diresmikan, yang dihadiri antara lain oleh Wakil Ketua DPRD Kota Tangerang Selatan Tb Budi Murdani dan Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Tangsel Toto Sudarto.
Proses pengolahan sampah ini sederhana. Sampah-sampah organik atau acap disebut sampah basah, yang dibawa dari rumah-rumah warga, dibawa ke tempat penampungan dan pengolahan, untuk kemudian diproses selama 12 hari-14 hari. Setelah proses fermentasi selesai, sampah organik itu diperhalus dengan mesin pengayak, dan selanjutnya dimasukkan dalam plastik, dijual sebagai pupuk. Kalau pun tidak digunakan, hasilnya dapat disebar ke tanah dan tidak mengundang lalat.
Sementara sampah-sampah non-organik dimasukkan ke tempat pembakaran atau insenerator berukuran 1,25 meter x 1,25 meter x 1,5 meter., dengan suhu sekitar 1.000 derajat Celcius. Di sini dibuat sistem hidro agar terjadi uap air yang menangkap partikel asap. Dengan demikian, yang keluar dari cerobong adalah asap yang sudah difilter dan tidak merusak lingkungan.
Setiap hari sampah rumah tangga dari 700 keluarga di RW 012 di Pamulang Barat ini sekitar satu ton. Sampah-sampah ini diangkut petugas yang jumlahnya dua orang per RT atau 14 orang untuk 7 RT. Sedangkan di tempat pengolahan sampah ini terdapat 10 orang yang bekerja, Sampah-sampah ini diolah sedini mungkin agar prosesnya lebih baik. Setiap KK membayar Rp 16.000 per bulan agar sampah mereka terangkut dan diolah di mesin pengolah itu.
Pengolahan sampah mandiri oleh masyarakat RW 012 Pamulang Barat ini merupakan yang pertama di Kota Tangerang Selatan. Wakil Ketua DPRD Tangsel Tb Bayu Murdani memuji upaya masyarakat membangun tempat pengolahan sampah dengan biaya masyarakat sendiri. Bayu berharap masyarakat di RW-RW lainnya di kota ini melakukan upaya serupa. Jika di setiap RW menyediakan lahan maksimal 500 meter persegi untuk pengolahan sampah dan membuat dengan biaya sendiri secara gotong-royong, ini akan sangat membantu mengatasi problem sampah perkotaan.
Ini memang langkah kecil yang dilakukan masyarakat di lingkungan yang kecil yang sangat layak dicontoh. Bayangkan jika masyararakat di setiap RW di Tangerang Selatan, bahkan di kota-kota lainnya di Indonesia, melakukan hal yang sama, persoalan sampah dan lingkungan bisa teratasi. Langkah kecil dari Pamulang ini pun secara tidak langsung ikut membantu mengatasi persoalan pemanasan global.
Partisipasi masyarakat langsung dalam mengelola sampah secara mandiri dilakukan masyarakat Jepang sejak bertahun-tahun lalu. Bahkan melalui pendidikan usia dini, anak-anak diperkenalkan pentingnya peduli lingkungan hidup. Di kota Kitakyushu, Jepang, ada museum lingkungan hidup, di mana anak-anak usia dini sudah diajak mengenal lingkungan. Di museum itu juga diperlihatkan foto-foto kota Kitasyushu di masa lalu, di mana polusi industri menganggu lingkungan kota. Melalui berbagai upaya, ternasuk pengolahan sampah mandiri oleh warga kota, akhirnya Kitakyushu menjadi kota dengan tingkat polusi yang rendah.
Apakah langkah kecil dari Pamulang Barat di Tangerang Selatan ini bisa menjadi gerakan massal? Mudah-mudahan.
*) Robert Adhi Ksp, editor di Kompas.com, peserta Asian City Journalist Conference (ACJC) di Kitakyushu dan Fukuoka, Jepang, yang memfokuskan pada persoalan lingkungan hidup dan pemanasan global.
Sampah acapkali menjadi persoalan dalam sebuah kota. Namun jika kita pandai mengelolanya, sampah bukan lagi produk buangan, tapi produk yang menghasilkan. Inilah yang dilakukan masyarakat yang bermukim di tujuh RT di RW 012, Kelurahan Pamulang Barat, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan.
Pada awalnya, sampah rumah tangga dari 700 keluarga di wilayah ini dibuang ke TPA di sekitar permukiman. Namun pembuangan sampah di TPA itu mengundang protes warga di sekitar TPA yang mengancam menutup TPA itu. Pengurus RW 012 Pamulang Barat pun berembug. Tahun 2007, sudah muncul ide pengolahan sampah. Namun, kata Sugeng Rahardjo, koordinator pembangunan pengolahan sampah RW setempat, menyatukan pendapat 700 keluarga di RW itu tidaklah mudah.
Melalui konsolidasi yang cukup lama, akhirnya 700 keluarga di RW 012 sepakat membayar secara bersama-sama biaya pembangunan pengolahan sampah sebesar Rp 120 juta. Setiap KK diwajibkan membayar Rp 200.000. Beberapa keluarga membayar dengan cara mencicil Rp 50.000 per bulan selama empat bulan. Demikianlah, cara RW 012 Pamulang Barat ini melibatkan warganya dalam pembangunan pengolahan sampah.
Dan tepat hari Minggu 6 Juni 2011, pengolahan sampah milik masyarakat ini diresmikan, yang dihadiri antara lain oleh Wakil Ketua DPRD Kota Tangerang Selatan Tb Budi Murdani dan Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Tangsel Toto Sudarto.
Proses pengolahan sampah ini sederhana. Sampah-sampah organik atau acap disebut sampah basah, yang dibawa dari rumah-rumah warga, dibawa ke tempat penampungan dan pengolahan, untuk kemudian diproses selama 12 hari-14 hari. Setelah proses fermentasi selesai, sampah organik itu diperhalus dengan mesin pengayak, dan selanjutnya dimasukkan dalam plastik, dijual sebagai pupuk. Kalau pun tidak digunakan, hasilnya dapat disebar ke tanah dan tidak mengundang lalat.
Sementara sampah-sampah non-organik dimasukkan ke tempat pembakaran atau insenerator berukuran 1,25 meter x 1,25 meter x 1,5 meter., dengan suhu sekitar 1.000 derajat Celcius. Di sini dibuat sistem hidro agar terjadi uap air yang menangkap partikel asap. Dengan demikian, yang keluar dari cerobong adalah asap yang sudah difilter dan tidak merusak lingkungan.
Setiap hari sampah rumah tangga dari 700 keluarga di RW 012 di Pamulang Barat ini sekitar satu ton. Sampah-sampah ini diangkut petugas yang jumlahnya dua orang per RT atau 14 orang untuk 7 RT. Sedangkan di tempat pengolahan sampah ini terdapat 10 orang yang bekerja, Sampah-sampah ini diolah sedini mungkin agar prosesnya lebih baik. Setiap KK membayar Rp 16.000 per bulan agar sampah mereka terangkut dan diolah di mesin pengolah itu.
Pengolahan sampah mandiri oleh masyarakat RW 012 Pamulang Barat ini merupakan yang pertama di Kota Tangerang Selatan. Wakil Ketua DPRD Tangsel Tb Bayu Murdani memuji upaya masyarakat membangun tempat pengolahan sampah dengan biaya masyarakat sendiri. Bayu berharap masyarakat di RW-RW lainnya di kota ini melakukan upaya serupa. Jika di setiap RW menyediakan lahan maksimal 500 meter persegi untuk pengolahan sampah dan membuat dengan biaya sendiri secara gotong-royong, ini akan sangat membantu mengatasi problem sampah perkotaan.
Ini memang langkah kecil yang dilakukan masyarakat di lingkungan yang kecil yang sangat layak dicontoh. Bayangkan jika masyararakat di setiap RW di Tangerang Selatan, bahkan di kota-kota lainnya di Indonesia, melakukan hal yang sama, persoalan sampah dan lingkungan bisa teratasi. Langkah kecil dari Pamulang ini pun secara tidak langsung ikut membantu mengatasi persoalan pemanasan global.
Partisipasi masyarakat langsung dalam mengelola sampah secara mandiri dilakukan masyarakat Jepang sejak bertahun-tahun lalu. Bahkan melalui pendidikan usia dini, anak-anak diperkenalkan pentingnya peduli lingkungan hidup. Di kota Kitakyushu, Jepang, ada museum lingkungan hidup, di mana anak-anak usia dini sudah diajak mengenal lingkungan. Di museum itu juga diperlihatkan foto-foto kota Kitasyushu di masa lalu, di mana polusi industri menganggu lingkungan kota. Melalui berbagai upaya, ternasuk pengolahan sampah mandiri oleh warga kota, akhirnya Kitakyushu menjadi kota dengan tingkat polusi yang rendah.
Apakah langkah kecil dari Pamulang Barat di Tangerang Selatan ini bisa menjadi gerakan massal? Mudah-mudahan.
*) Robert Adhi Ksp, editor di Kompas.com, peserta Asian City Journalist Conference (ACJC) di Kitakyushu dan Fukuoka, Jepang, yang memfokuskan pada persoalan lingkungan hidup dan pemanasan global.
Pembangunan Pengolahan Sampah Terpadu Sudah Tepat by Kompas
JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar sampah Enri Damanhuri
menyatakan, kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membangun
tiga tempat pengolahan sampah terpadu atau Intermediate Treatment Facility (ITF) sangat tepat karena dapat mengurangi ketergantungan pada daerah lain serta menghemat biaya transportasi.
"ITF adalah konsep yang sudah sejak lama direncanakan untuk Jakarta. Studi JICA tahun 1997 telah mengindikasikan hal tersebut," kata Damanhuri di Jakarta, Sabtu (7/7/2012) pagi.
Pakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengatakan, Pemprov DKI Jakarta sebaiknya berkaca kepada Singapura soal teknologi insinerator (waste-to-energy) karena saat ini Singapura mempunyai empat insinerator modern yang hampir seluruh sampah dan limbah padatnya melalui proses ini.
Enri menambahkan Singapura secara efektif menggunakan teknologi ini. Perhatian pemerintah Singapura terhadap lingkungan sangat tinggi sehingga teknologi insinerator yang digunakan di sana adalah bukan sekedar insinerator sederhana. Aspek lingkungan sudah sangat diperhatikan secara ketat.
Menurut dia, insinerator modern seperti yang ada di Singapura membutuhkan biaya investasi dan operasi atau pemeliharaan yang tinggi.
Sebagai contoh, per-ton sampah yang diproses di fasilitas Singapura membutuhkan biaya sekitar Rp350.000, bandingkan dengan biaya untuk menimbun sampah di Bantar Gebang sebesar Rp110.000/ ton, belum termasuk ongkos angkut ke sana yang saya kira lebih dari Rp. 50.000 per-ton.
Sebelumnya Pemprov DKI Jakarta akan membangun tiga Intermediate Treatment Facility (ITF) berteknologi modern yang ramah lingkungan. Ketiga pengolahan sampah itu yang rencanannya akan dibangun secara bertahap mulai bukan Agustus 2012 ini antara lain di Sunter, Cakung Cilincing, dan Marunda dengan dana dari investor masing-masing senilai Rp1,3 triliun.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo baru-baru ini mengatakan, tujuan pembangunan tiga ITF ini adalah untuk melengkapi kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Ini dilakukan karena tempat pembuang yang selama ini digunakan belum memadai dan belum didukung teknologi mutakhir.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna menambahkan, dalam pembangunan ITF ini memang pihaknya menggunakan teknologi tinggi seperti yang banyak dipakai negara-negara luar. "Pengolahan sampah seperti ini baru pertama kali di Indonesia. Ini karena investasinya cukup mahal. Meski begitu kita mengharapkan biaya untuk membangun ini bukan dana APBD, tapi investor. Sekarang masih dalam proses lelang dan kita pilih investor yang berminat dan cocok dengan teknologi itu," kata Eko Bharuna.
"ITF adalah konsep yang sudah sejak lama direncanakan untuk Jakarta. Studi JICA tahun 1997 telah mengindikasikan hal tersebut," kata Damanhuri di Jakarta, Sabtu (7/7/2012) pagi.
Pakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengatakan, Pemprov DKI Jakarta sebaiknya berkaca kepada Singapura soal teknologi insinerator (waste-to-energy) karena saat ini Singapura mempunyai empat insinerator modern yang hampir seluruh sampah dan limbah padatnya melalui proses ini.
Enri menambahkan Singapura secara efektif menggunakan teknologi ini. Perhatian pemerintah Singapura terhadap lingkungan sangat tinggi sehingga teknologi insinerator yang digunakan di sana adalah bukan sekedar insinerator sederhana. Aspek lingkungan sudah sangat diperhatikan secara ketat.
Menurut dia, insinerator modern seperti yang ada di Singapura membutuhkan biaya investasi dan operasi atau pemeliharaan yang tinggi.
Sebagai contoh, per-ton sampah yang diproses di fasilitas Singapura membutuhkan biaya sekitar Rp350.000, bandingkan dengan biaya untuk menimbun sampah di Bantar Gebang sebesar Rp110.000/ ton, belum termasuk ongkos angkut ke sana yang saya kira lebih dari Rp. 50.000 per-ton.
Sebelumnya Pemprov DKI Jakarta akan membangun tiga Intermediate Treatment Facility (ITF) berteknologi modern yang ramah lingkungan. Ketiga pengolahan sampah itu yang rencanannya akan dibangun secara bertahap mulai bukan Agustus 2012 ini antara lain di Sunter, Cakung Cilincing, dan Marunda dengan dana dari investor masing-masing senilai Rp1,3 triliun.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo baru-baru ini mengatakan, tujuan pembangunan tiga ITF ini adalah untuk melengkapi kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Ini dilakukan karena tempat pembuang yang selama ini digunakan belum memadai dan belum didukung teknologi mutakhir.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna menambahkan, dalam pembangunan ITF ini memang pihaknya menggunakan teknologi tinggi seperti yang banyak dipakai negara-negara luar. "Pengolahan sampah seperti ini baru pertama kali di Indonesia. Ini karena investasinya cukup mahal. Meski begitu kita mengharapkan biaya untuk membangun ini bukan dana APBD, tapi investor. Sekarang masih dalam proses lelang dan kita pilih investor yang berminat dan cocok dengan teknologi itu," kata Eko Bharuna.
Tiap Hari Warga DKI Sumbang 6.525 Ton Sampah by Dakta FM
JAKARTA – Rata-rata volume sampah yang dihasilkan warga DKI Jakarta
setiap hari mencapai 6.525 ton atau 29.344 meter kubik. Dari volume itu,
sebagian besar merupakan sampah organik (55,37 persen). Sedangkan
sampah non organik 44,63 persen.
Sampah organik yaitu sampah yang mudah membusuk seperti sisa makanan, sayuran, dan daun-daun kering. Sedangkan sampah non organik, misalnya kaleng, plastik, dan besi.
Sedangkan sumber sampah, sektor yang menjadi penyumbang terbesar berasal dari pemukiman, yakni 52,9 persen. Disusul perkantoran sebesar 27,35 persen, industri sebesar 8,97 persen, sekolah sebesar 5,32 persen, pasar sebesar 4 persen, dan sektor lainnya seperti sampah di jalan atau di sungai mencapai 1,4 persen.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna mengatakan pemerintah terus berupaya menangani masalah sampah.
Program pengelolaan sampah melalui konsep 3R yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (memanfaatkan kembali) yang digalakkan Pemprov DKI Jakarta dinilai mulai membuahkan hasil.
Sebab, sejak diterapkan tahun 2007, cara ini berhasil mereduksi sampah sebesar 7 persen dari total volume sampah DKI sebesar 29.344 meter kubik per hari atau 6.525 ton per hari.
Meski demikian, penurunan volume sampah yang tertimbun per hari itu masih belum memenuhi target yang ditetapkan. Sebab, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2007-2012, pengurangan sampah harus dapat mencapai 12-15 persen.
“Masih kurang sekitar 5 hingga 8 persen lagi untuk mencapai target hingga 2012 mendatang. Masih ada waktu tiga tahun lagi untuk mencapai target itu,” kata Eko Bharuna.
Sedangkan Kepala Departemen Pemberdayaan Regional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Erwin Usman menilai Pemprov DKI telah gagal dalam mengimplementasikan UU Nomor 18/2008 tentang pengelolaan sampah.
Erwin menilai sosialisasi konsep reduce, reuse, dan recycle tidak efektif di tingkat masyarakat. (VIVA
Sampah organik yaitu sampah yang mudah membusuk seperti sisa makanan, sayuran, dan daun-daun kering. Sedangkan sampah non organik, misalnya kaleng, plastik, dan besi.
Sedangkan sumber sampah, sektor yang menjadi penyumbang terbesar berasal dari pemukiman, yakni 52,9 persen. Disusul perkantoran sebesar 27,35 persen, industri sebesar 8,97 persen, sekolah sebesar 5,32 persen, pasar sebesar 4 persen, dan sektor lainnya seperti sampah di jalan atau di sungai mencapai 1,4 persen.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna mengatakan pemerintah terus berupaya menangani masalah sampah.
Program pengelolaan sampah melalui konsep 3R yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (memanfaatkan kembali) yang digalakkan Pemprov DKI Jakarta dinilai mulai membuahkan hasil.
Sebab, sejak diterapkan tahun 2007, cara ini berhasil mereduksi sampah sebesar 7 persen dari total volume sampah DKI sebesar 29.344 meter kubik per hari atau 6.525 ton per hari.
Meski demikian, penurunan volume sampah yang tertimbun per hari itu masih belum memenuhi target yang ditetapkan. Sebab, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2007-2012, pengurangan sampah harus dapat mencapai 12-15 persen.
“Masih kurang sekitar 5 hingga 8 persen lagi untuk mencapai target hingga 2012 mendatang. Masih ada waktu tiga tahun lagi untuk mencapai target itu,” kata Eko Bharuna.
Sedangkan Kepala Departemen Pemberdayaan Regional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Erwin Usman menilai Pemprov DKI telah gagal dalam mengimplementasikan UU Nomor 18/2008 tentang pengelolaan sampah.
Erwin menilai sosialisasi konsep reduce, reuse, dan recycle tidak efektif di tingkat masyarakat. (VIVA
Sampah, Persoalan Warga Jakarta by Liputan 6.com
Liputan6.com, Jakarta: Sampah masih saja menjadi
persoalan bagi warga Jakarta. Selain tidak higienis, sampah yang
menumpuk menyebabkan saluran air mampet dan banjir. Pekerjaan rumah bagi
Gubernur DKI Jakarta mendatang?
Bisa jadi. Cobalah perhatikan tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang di Bekasi, Jawa Barat. Sejauh mata memandang hanya sampah yang terlihat. Setiap hari, sekitar 6500 ton sampah dari Jakarta dikumpulkan di tempat itu.
Konstribusi terbanyak berasal dari areal permukiman (52,97%), sedangkan sisanya adalah perkantoran (27,35%), industri (8,97%), sekolah (5,32%), pasar (4%), dan lain-lain (1.4%).
Dinas Kebersihan Pemda DKI Jakarta mengeklaim, pengolahan sampah di TPA Bantar Gebang sudah terbilang berhasil. “Akan tetapi, pengelolaan sampah akan jauh lebih baik bila dimulai dari warga,” kata Kepala Dinas Kebersihan Pemprov DKI Jakarta Eko Bharuna.
“Sebagian besar sampah dari Jakarta memang dibawa ke TPA Bantar Gebang,” kata Direktur Walhi Ubaidilah. “Namun, masih ada 20 persen sampah asal Jakarta yang dibiarkan di lokasi.”
Kawasan pinggiran Jakarta masih belum terbebas dari sampah. Masih banyak sampah yang menumpuk di sungai dan selokan, padahal, penanganan sampah merupakan tanggung jawab bersama, termasuk warga.
Di Kampung Ciracas, misalnya, Pemprov DKI Jakarta sudah mendirikan tempat pembuangan sampah sementara (TPS). “Warga mendapatkan insentif dari pengelolaan dan pemanfaatan sampah,” kata Ketua TPS Ciracas Karnan.(SHA)
Bisa jadi. Cobalah perhatikan tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang di Bekasi, Jawa Barat. Sejauh mata memandang hanya sampah yang terlihat. Setiap hari, sekitar 6500 ton sampah dari Jakarta dikumpulkan di tempat itu.
Konstribusi terbanyak berasal dari areal permukiman (52,97%), sedangkan sisanya adalah perkantoran (27,35%), industri (8,97%), sekolah (5,32%), pasar (4%), dan lain-lain (1.4%).
Dinas Kebersihan Pemda DKI Jakarta mengeklaim, pengolahan sampah di TPA Bantar Gebang sudah terbilang berhasil. “Akan tetapi, pengelolaan sampah akan jauh lebih baik bila dimulai dari warga,” kata Kepala Dinas Kebersihan Pemprov DKI Jakarta Eko Bharuna.
“Sebagian besar sampah dari Jakarta memang dibawa ke TPA Bantar Gebang,” kata Direktur Walhi Ubaidilah. “Namun, masih ada 20 persen sampah asal Jakarta yang dibiarkan di lokasi.”
Kawasan pinggiran Jakarta masih belum terbebas dari sampah. Masih banyak sampah yang menumpuk di sungai dan selokan, padahal, penanganan sampah merupakan tanggung jawab bersama, termasuk warga.
Di Kampung Ciracas, misalnya, Pemprov DKI Jakarta sudah mendirikan tempat pembuangan sampah sementara (TPS). “Warga mendapatkan insentif dari pengelolaan dan pemanfaatan sampah,” kata Ketua TPS Ciracas Karnan.(SHA)
20 Kota Pengelola Sampah by KBR68H, Jakarta
KBR68H, Jakarta –
Mulai tahun depan, Tempat Pembuangan Sampah harus bisa mengurai sampah.
Untuk itu, Pemerintah berusaha meningkatkan nilai guna sampah lewat
sistem baru pengelolaan sampah. Dengan begitu, jumlah sampah yang tidak
bisa dimanfaatkan akan lebih rendah.
Kementerian Pekerjaan Umum berencana
menerapkan sistem baru pengelolaan sampah di 20 Kota besar di Indonesia.
Beberapa di antaranya adalah Malang , Sidoarjo, dan Jambi. Sampah
nantinya akan dipilah untuk didaur ulang, baik yang menjadi kompos
maupun biogas. Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak menjelaskan,
sistem ini akan dilakukan di kota dengan Tempat Pembuangan Akhir
berskala dua ribu sampah perhari. Menurut Hermanto, untuk pengelolaan
sampah menjadi biogas, sejumlah perusahaan swasta telah menyatakan
ketertarikannya untuk bekerjasama.
“Ini memang untuk tempat tertentu,
sebenarnya bagian dari 3 R, Reuse Reduce Recycle, itu kita ingin
dilakukan dari tingkat rumah tangga, dari rumah tangga bisa merekdusi
memilah-milah tadi kadang sudah ada skala rumah tangga yang melakukan
tadi, kemudain dikumpulkan di tempat pembuangan sementara.”
Hermanto memberi contoh salah satu
pengelolaan sampah yang saat ini akan menggunakan sistem baru ini adalah
di TPA Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Hasil pengelolaan itu
nantinya akan dimanfaatkan untuk kebutuhan listrik, kompos, biogas dan
menurutnya, limbah yang dibuang ke sungai pun akan jauh lebih kecil.
Selanjutnya, Kementerian juga tengah mengupayakan sistem ini di TPA
Ciliwung dan Cipinang.
Terkait rencana pemerintah, TPA Bantar
Gebang tengah bersiap menerapkan sistem pengelolaan sampah ini. Mereka
tengah melaksanakan proses pembangunan yang telah mencapai 80 persen.
Pengelolaan sampah di Bantar Gebang dilakukan oleh PT Godang Tua Jaya.
Direktur PT Godang Tua Jaya Lumbantoruan mengungkapkan, sistem ini diperkirakan berjalan di akhir 2012.
“Untuk pemisahan belum,
Buk. Karena kita sedang membangun tempat pemisahan, sudah 80%,
mudah-mudahan kalau nggak di akhir tahun ya di awal tahun 2013 akan go.
Pasti semua orang apalagi Pemda-pemda di seluruh Indonesia akan tertarik
dengan sistem pemisahan ini karena sampah organik dengan sampah plastik
maupun non-organik sudah dipisahkan dan semua bisa dijadikan bahan baku
industri.”
Melalui sistem ini, nantinya sampah
yang terbuang atau sama sekali tidak berguna volumenya akan lebih kecil.
Lumban juga mengatakan, pihaknya juga tengah mengembangkan sebuah alat
yang akan memanfaatkan gas dari cacahan sampah organik menjadi bahan
baku listrik.
Rencana pemerintah terkait
pengelolaan sampah ini sudah dilakukan masyarakat sebelumnya. Pemisahan
sampah oleh warga Bukit Duri dan Kampung Pulo telah dilakukan jauh
sebelum rencana pemerintah ini. Warga dengan didampingi relawan Ciliwung
Merdeka telah melakukan pemisahan sampah di tingkat keluarga. Menurut
Relawan Ciliwung Merdeka Ade, inilah yang harus dilakukan pemerintah,
yaitu sosialisasi pemisahan sampah di tingkat rumah tangga. Karena
menurutnya, jika pemisahan dilakukan setelah tercampur di tempat
pembuangan sementara, itu akan menyulitkan proses pengolahannya.
“Sebetulnya yang bagus itu
sosialisasi dari rumah tangga, bahwa sampah itu sudah mulai
dipilah-pilah yang organik dan anorganik. Seperti warga yang kami
dampingi itu pemilahan itu sudah dari keluarga, sehingga itu akan
memudahkan. Karena kalau sudah tercampur, juga sudah susah dibuat
komposnya itu.”
Hal senada juga disampaikan Pengamat
Lingkungan Universitas Diponegoro Sudharto P Hadi . Menurutnya masalah
pengelolaan sampah tidak hanya bisa diselesaikan di bagian hilir saja,
yakni pemisahan di TPA. Sudharto menjelaskan, pengelolaan harus
dilakukan sejak dari hulu, dari tingkat rumah tangga.
“Saya kira yang paling krusial itu
justru aspek sosialnya, budaya. Budaya mengolah sampah, sekarang ini
kan hampir di semua kota itu kan ada kelompok-kelompok pengelola sampah,
tapi kan itu belum menyeluruh. Pada umumnya di kampung-kampung yang
tingkat kerukunannya masih tinggi. Ketika di tingkat menengah atas itu
sudah susah.”
Sudharto menekankan, yang paling penting
dalam upaya pengelolaan sampah bukan pada teknologi daur ulang yang
dimiliki. Namun lebih kepada bagaimana membangun kebudayaan masyarakat
untuk menjadikan kegiatan mengelola sampah adalah bagian dari kebutuhan
hidup. Selain itu, menurutnya, untuk membangun kesadaran mengelola
sampah, ada baiknya Indonesia meniru Singapura. Untuk warga menengah
atas, negara mengenakan retribusi sampah sesuai dengan sampah yang
dihasilkan. Dengan begitu, akan timbul kesadaran dari masyarakat untuk
mengelola atau bahkan mengurangi kegiatan memproduksi sampah.
Kiprah Sang Kreator Seni Sampah Memperkenalkan Seni oleh KBR68H
KBR68H -
Dari sampah menjadi berkah. Ditangan Hardi Ahmad, sampah yang tak
bernilai, diolah menjadi ragam produk bernilai seni. Karyanya sempat
menghiasi sejumlah galeri nasional.
Bersama
rekan-rekannya, karya Hardi menghiasi sejumlah galeri seni. Sebut saja
beberapa diantara karya mereka seperti kapal laut dan robot yang
komponennya dibuat dari berbagai jenis sampah mulai dari botol mineral,
bolpen, bungkus rokok, sampai mur.“Sekilas memang ribet, tapi
mengasyikan kalau kita sudah mencoba untuk memulai. Mencoba, pasti asik
dan tidak akan berhenti. Kalau menurut saya pribadi, kalau menurut
pengalaman aku sendiri. Sampai aku bikin kapal-kapal ini, terakhir aku
hampir tembus ke beberapa galeri nasional termasuk galeri nasional, di
Ancol North Are Space, Ruang Rupa juga, beberapa galeri besar lainnya,”
katanya senang.
Uwi: “Semalem jam 4, eh jam 2. Sampai gak jadi bikin kan kecapean.”
Lain
Dwi lain lagi, Robi. Berkali-kali ia memperhatikan detail karya kapal
dan robot milik koleganya. Kata Robi butuh mood atau suasana hati yang
nyaman untuk membuat seni yang satu ini. “Gak tenang pikiran, kadang
kalau lagi diam tahunya ingin bikin. Atau diam, lagi iseng-iseng
gambar, ya gambarnya aja dulu. Tergantung kita deh, tergantung bawaannya
masing-masing. Kaya Bang Ardi, entah bawaannya bagaimana, bisa bikin
rutin kaya gitu kan. Kalau kita-kita masih belajar ya apa yang kita
ingin aja. Kita masih baru ingin, baru kita gambar aja dulu deh.
Senengnya baru gambar dulu, atau nyari-nyari gambar dulu," ungkap Robi.
Selain Mutiara, anak lainnya Upik serius menekuni seni instalasi daur ulang sampah.
Tiga orang tengah sibuk bekerja di
sebuah rumah kawasan Beji, Depok, Jawa Barat. Mereka tengah
memotong-motong botol bekas air mineral. Sampah berserakan di lantai.
Mereka bekerja di studio milik Hardi Ahmad yang dipenuhi ragam jenis
sampah anorganik . Berbekal kreatifitas sejak 2006 silam pemuda ini
mengolahnya menjadi ragam produk mainan anak-anak.
Hardi mengaku aktivitas yang
dilakoninya kini bermula dari iseng dan belajar secara otodidak. “Aku
pribadi ya pastinya, lingkungan rumah. Ada elektronik yang rusak
pastinya, dengan sedikit imajinsi karena memang gak ada kerjaan waktu
itu kan. Akhirnya aku isi dengan iseng, rencananya iseng tadinya. Cuma
ada beberapa referensi aku main di Gedung Kesenian Tangerang. Kita
memang main instalasi tidak spesifik ke daur ulang. Cuma coba aku
aplikasiin di rumah ternyata jadinya sebuah kapal. Ada sempel diatas,”
terangnya.
Meski demikian ia juga mempelajari
beberapa referensi seni daur ulang dari seniman mancanegara. “Siapa
yang mengajar, wah aku juga bingung ya ketika saya ditanyakan belajar
dari mana. Karena saya meemang berkarya mengekspresikan seni rupa itu
sendiri. Awal mulanya sih berkembang dengan sendirinya, hanya saja
beberapa tahun belakangan ini saya coba untuk menggali beberapa
referensi yang berada di beberapa negara Eropa maupun Asia mengenai seni
daur ulang itusendiri,” kata Hardi.
Karena kreatifitasnya itu, Hardi sempat
dituding gila oleh sebagian warga. Tapi lajang ini tak ambil pusing.
“Saya pernah dikirain kaya gitu. Oh gila kali, ngumpulinsampah buat
apaan sih. Mau bikin kapal-kapalan. Aneh, pasti digituin. Lagian kita
tidak menggubris hal-hal seperti itu. terserah aja pada mau ngomong apa.
Mau ngomong kita sinting kek, yang penting kita yakin aja, sudah pernah
mencoba. Daripada cuma berkomentar,” ucapnya seraya terkekeh.
Berinteraksi di Dunia Maya
Lewat media internet Hardi
memperkenalkan karya seni daur ulangnya. Ia pajang sejumlah karyanya di
halaman blog pribadi. Di dunia maya, Hardi berinteraksi dengan
komunitas-komunitas seni internasional. Diantaranya Prancis, Spanyol,
Texas dan California, Amerika Serikat.
Kreatifitas seni daur ulang yang
dijalani Hardi Ahmad, mengundang minat. Dwi, salah satunya. Saat
ditemui mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta ini
tengah sibuk membuat robot. Bahannya mulai dari botol mineral, bekas
kalkulator, mur, baut sampai tutup pulpen.
Dengan sabar dan penuh konsentrasi, Dwi mencoba merekatkan mur di botol air mineral dengan lem.
KBR: “bikin seperti ini sudah berapa lama mas?”
Uwi: “Baru belajar”
KBR: “Sudah dibikin apa aja”
Uwi: “Ini aja satu, robot-robotan.
Ardi: “Dari malam ngerencanainnya.”
KBR: “bikin seperti ini sudah berapa lama mas?”
Uwi: “Baru belajar”
KBR: “Sudah dibikin apa aja”
Uwi: “Ini aja satu, robot-robotan.
Ardi: “Dari malam ngerencanainnya.”
Uwi: “Semalem jam 4, eh jam 2. Sampai gak jadi bikin kan kecapean.”
Lantas apakah karya Hardi
diperjualbelikan? Tidak tegasnya. Lebih untuk mendidik masyarakat
terutama anak-anak. “Kalalu edukasi, kita lebih mengajak anak-anak
untuk bermain sebenarnya. Kalau zaman dulu, mungkin kita bermain ada
petak umpet, main zaman dululah istilahnya. Bikin mobil-mobilan dari
kulit jeruk, atau senapan dari kulilt pisang. Nah sekarang kan akhirnya
karen banyakan sampah akhirnya pake sampah. Aku coba aplikasiin, kenalin
ke mereka. kalau di Tangerang ada bukaan kelas ya, jadi tiap hari
minggu itu memang mereka dateng ke tempat aku, ke studio jadi mereka
memang dateng sengaja untuk bikin mainan bukan mau belajar atau apa.
Tapi mereka mau bikin mainan. Mereka aku kasih media lem, gunting sampai
finishing catnya,” tegasnya.
Ilmu seni daur ulang sampah yang dimiliki Ahmad Hardi dibagi kepada anak-anak Sanggar Atap Alis.
Mengenalkan Seni
Petang hari di Ciracas, Jakarta Timur
akhir Juli lalu . Sejumlah anak-anak tengah sibuk di teras rumah
petak berdinding hijau. Ini adalah Sanggar Atap Alis tempat berkumpul
dan melatih anak-anak membuat seni daur ulang sampah. Sanggar ini
dibangun Hardi Ahmad bersama rekan-rekannya sejak 2009 silam. Salah satu
pendiri sanggar, Bucek menuturkan,”Di sini kami sekitar lima tahunan.
Mengajak teman-teman kecil, lingkungan untuk berkarya, dan tidak ada
tekanan buat kami, karena konsepnya mengkreatifitaskan mereka.
mengedukasikan skill mereka, kami tidak mengharuskan membuat apa atau
apa. Tetapi secara ilmiah, teman-teman yang bimbing.”
Hardi
ikut menimpali. “Saya mulai mengenalkan recycle instalation itu di
sanggar pada ulang tahun ketiga, Atap Alis itu sendiri tahun 2009. Yang
kemudian menjadi program, mingguan program belajar untuk anak-anak
mengenai seni daur ulang. Bagaimana caranya membuat mainan dari sampah,
kemudian temen-teman kecil di sanggar menglutinya. Kemudian menjadi
program mingguan,” terangnya.
Anak-anak itu kata Bucek tak dilatih
untuk menjadi seniman yang terampil mengolah ragam produk daur ulang.
“Hukum-Hukum feodal yang selalu kamu salah gitu lho. Nah kami coba untuk
mengajak anak-anak kecil disini, berkomunikasi secara langsung, tidak
ada batasan tetapi ada etika-etika budaya yang kami terapkan bagaimana
dia berbicara yang sopan. Dan bagaimana dia berbicara untuk
berkomunikasi dan bertukar pikiran. Selama ini, kami bawa ke arah sana.
Jadi kami tidak mengarahkan mereka harus jadi seniman, harus jadi ini
tidak. Modal yang utama adalah kerangka berfikir itu saja buat kami.
Ketika anak-anak itu berfikir kreatif dia tidak akan turun ke jalan. Itu
yang kami usahakan selama ini,” jelasnya.
Setiap perhelatan pameran, anak-anak
Sanggar Atap Alis selalu dilibatkan. Karya mereka misalnya pernah tampil
di ajang Biennale 2012 atau Taman Ismail Marzuki, TIM Jakarta. Karya
Mutiara bocah kelas lima SD misalnya, sempat diikut sertakan dalam The
King of Wall di Grand Theater Jakarta 2011 silam. “Gimana ya, ya kan
itu dibuatnya dari sampah. Gimana sih kalau dibuat recycle gitu, jadi
sampahnya kan biar semakin berkurang,” kata Mutiara.
KBR: “Kok bisa tertarik sama recycle instalation?”
Upik: “Awalnya seneng aja lihat om-omnya pada bikin.”
KBR: “ Dari kapan tuh”
Upik: “ Udah lama sih mbak, kira-kira dari tahun 2009-an lah.”
Upik: “Awalnya seneng aja lihat om-omnya pada bikin.”
KBR: “ Dari kapan tuh”
Upik: “ Udah lama sih mbak, kira-kira dari tahun 2009-an lah.”
Kiprah Hardi Ahmad mengolah sampah
menjadi ragam karya seni dan menularkan kepada generasi muda patut
diacungi jempol. “Arti penting mengolah sampah buat saya, mungkin
kesadaran secara pribadi manusia yang hidup ya. Apalagi semacam kita
orang-orang di kota. Hampir 30% aktifitasnya bersentuhan dengan sampah.
Kalau saya sendiri punya fikiran bagaimana kita mengkombinasikan sampah
untuk kemudian bisa digunakan kembali. Seperti contohnya yang saya
lakukan ya. Akhirnya saya bisa mengenalkan kemada yeman-teman kecil,
anak-anak khususnya ya. Bisa mengenalkan bahwasanya kita bisa mengolah
sampah kita bisa membuat maninan itu sendiri, yang setiap hari ada di
sekitar kita,” bebernya.
Jika mau berpikir kreatif, sampah bisa menjadi berkah.
(Nvy, Fik)
DKI Targetkan Penurunan Sampah 3 Persen
KBR68H, Jakarta
- Pemerintah Jakarta menargetkan penurunan jumlah sampah mencapai tiga
persen selama dua puluh tahun ke depan.
Kepala Dinas Kebersihan Jakarta Eko Bharuna mengatakan target tersebut
merupakan perencanaan dalam masterplan pengolahan sampah. Kata dia,
setiap daerah harus memiliki peraturan daerah tentang pengelolaan
sampah. Penanganan sampah akan dilakukan lewat daur ulang, pengurangan,
dan penggunaan sampah kembali.
"Perda mengenai pembuangan sampah, itu adalah amanan undang-undang. Diatur dari Undang-undang 18 tahun 2008 tentang bank sampah. Artinya diamanatkan masing-masing daerah harus memiliki perda. Dimana perda itu mengatur pembuangan sampah dari ke hulu sampai ke hilir, dari rumah ke rumah orang ngangkut sampai bagaimana sampah itu dikelola. Sekarang engga boleh lagi sampah itu cuma dibuang, ditumpuk, dilarang oleh undang- undang dan akan dikenakan sanksi."
Eko Bharuna berharap masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya ikut membantu mengatasi persoalan sampah ibu kota. Salah satunya menyediakan fasilitas pemilihan sampah melalui program 3R. Kegiatan ini bertujuan untuk mengambil manfaat ekonomi dari sampah.
"Perda mengenai pembuangan sampah, itu adalah amanan undang-undang. Diatur dari Undang-undang 18 tahun 2008 tentang bank sampah. Artinya diamanatkan masing-masing daerah harus memiliki perda. Dimana perda itu mengatur pembuangan sampah dari ke hulu sampai ke hilir, dari rumah ke rumah orang ngangkut sampai bagaimana sampah itu dikelola. Sekarang engga boleh lagi sampah itu cuma dibuang, ditumpuk, dilarang oleh undang- undang dan akan dikenakan sanksi."
Eko Bharuna berharap masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya ikut membantu mengatasi persoalan sampah ibu kota. Salah satunya menyediakan fasilitas pemilihan sampah melalui program 3R. Kegiatan ini bertujuan untuk mengambil manfaat ekonomi dari sampah.
Jakarta Segera Miliki Pengolah Sampah Canggih by Viva News
VIVAnews - Setelah sempat terkatung-katung, rekomendasi Panitia
Khusus (pansus) DPRD DKI mengenai proses pembangunan pengolahan sampah
terpadu Intermediate Treatment Facilities (ITF) Sunter, Jakarta Utara,
akhirnya dikeluarkan. Kini ITF segera masuk proses lelang atau beauty
contest untuk memilih perusahaan pelaksana proyek.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna menjelaskan, dari 14 perusahaan peserta prakualifikasi, hanya tiga perusahaan yang lolos dan berhak mengikuti lelang.
"Jadi ketiga perusahaan itu saling memaparkan proposal mereka untuk membangun dan mengoperasikan ITF, sedangakan 11 perusahaan tidak lolos administrasi," ujar Eko Bharuna Rabu, 20 Juni 2012.
Eko mengatakan, yang mengikuti tender adalah tiga perusahaan asing yang bekerjasama dengan perusahaan lokal atau joint operation (JO). Mereka harus memiliki modal minimal 30 persen dari biaya total pembangunan ITF.
"Perusahaan yang ikut tender ITF harus mempunyai modal untuk memulai pembangunan, syarat ini sudah kami sepakati bersama Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) dan anggota dewan," tuturnya.
Menurut Eko, 30 persen dari total perkiraan nilai investasi berarti Rp400 miliar. Sedangkan Rp900 miliar sisanya atau 70 persen bisa pinjaman dari bank. Tiga perusahaan yang merupakan konsorsium asing dan lokal tersebut adalah PT Wira Gulfindo Sarana yang menggandeng PT Ramky dari India, PT Jakarta Green Iniciative bersama Hitachi dari Jepang, dan PT Phoenix Pembangunan Indonesia bersama dengan Keppel Seghers dari Singapura.
Kepala Bidang Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Kota (TPST), Iwan Wardhana, menambahkan, ketiga perusahaan tersebut bakal diundang dan diberikan dokumen pemilihan. "Kami hanya memberikan dokumen itu kepada tiga perusahaan, mereka akan mempelajari selama sekitar sebulan," ujarnya.
Setelah itu mereka akan proses lelang yang akan digelar dengan transparan dan dihadiri sejumlah ahli lingkungan, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), dan akademisi dari UI, Pemenang akan memperoleh hak konsesi Bangun, Guna, Serah (Build, Operate, and Transfer/BOT) selama jangka waktu 25 tahun, setelah berakhirnya masa konsesi, fasilitas yang terbangun menjadi milik Pemprov DKI Jakarta.
Dengan kemampuan pengolahan sampah sekitar 1.200 ton sampah per hari, maka Pemprov DKI akan membayar biaya pengolahan sampah ditetapkan maksimal sebesar Rp400.000 per ton.
"Itu harga maksimal, karena kami pakai teknologi medium, di sejumlah negara lain, yang teknologi lebih tinggi, ada yang mencapai Rp 1 juta per ton, itulah mengapa kami buka lelang dengan peserta dari luar negeri yang sudah berpengalaman dengan teknologi ITF ini, bukan perusahaan sembarangan," terangnya.
Berbeda dengan pengolahan sampah sanitary landfill di Bantar Gebang, yang tipping feenya hanya Rp 103.000 per ton. "Kami bisa olah sampah dalam area tiga hektar, dan tidak ditumpuk tapi diolah menjadi listrik, sisanya hanya 5 persen berupa abu," ungkapnya.
Selain itu, tonase sampah dan biaya angkut ke Bantargebang juga akan menurun, dan anggarannya bisa dialihkan ke ITF Sunter.
Nantinya, dalam kontrak juga disebutkan bahwa pemenang harus segera membangun ITF. Jika dalam waktu satu tahun pemenang tidak memulai, bisa dicabut kontraknya, atau dinilai gagal. Kontrak juga mencantumkan bahwa ITF harus terus menerus beroperasi,
"Jadi minimal itu ada dua jalur pengolahan, kalau satunya sedang dalam perawatan, satunya harus beroperasi terus, jika berhenti, mereka akan kena sanksi," katanya.
Untuk listrik yang dihasilkan dari ITF, akan dibeli oleh PLN dan keuntungannya menjadi milik operator. ITF Sunter didesain mampu mengolah sampah minimal 1.000 ton/hari. Fasilitas berteknologi tinggi ini akan dibangun di atas lokasi SPA Sunter saat ini.
Pembangunan ITF Sunter ini sudah mendapatkan rekomendasi dari Clinton Climate Initiative (CCI). Organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang penyelamatan lingkungan asal Amerika Serikat ini merekomendasikan teknologi incinerator yang diterapkan di ITF Sunter.
Incinerator dipilih dengan pertimbangan teknologi ini hanya menyisakan residu sekitar 10 persen dari total sampah yang diolah, selain itu Incinerator mampu menghasilkan listrik yang tinggi (14 MW per 1.000 ton sampah), berpotensi mengurangi emisi Gas Rumah Kaca secara signifikan dan telah teruji di banyak kota-kota besar Eropa dan Asia.
sumber: vivanews
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna menjelaskan, dari 14 perusahaan peserta prakualifikasi, hanya tiga perusahaan yang lolos dan berhak mengikuti lelang.
"Jadi ketiga perusahaan itu saling memaparkan proposal mereka untuk membangun dan mengoperasikan ITF, sedangakan 11 perusahaan tidak lolos administrasi," ujar Eko Bharuna Rabu, 20 Juni 2012.
Eko mengatakan, yang mengikuti tender adalah tiga perusahaan asing yang bekerjasama dengan perusahaan lokal atau joint operation (JO). Mereka harus memiliki modal minimal 30 persen dari biaya total pembangunan ITF.
"Perusahaan yang ikut tender ITF harus mempunyai modal untuk memulai pembangunan, syarat ini sudah kami sepakati bersama Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) dan anggota dewan," tuturnya.
Menurut Eko, 30 persen dari total perkiraan nilai investasi berarti Rp400 miliar. Sedangkan Rp900 miliar sisanya atau 70 persen bisa pinjaman dari bank. Tiga perusahaan yang merupakan konsorsium asing dan lokal tersebut adalah PT Wira Gulfindo Sarana yang menggandeng PT Ramky dari India, PT Jakarta Green Iniciative bersama Hitachi dari Jepang, dan PT Phoenix Pembangunan Indonesia bersama dengan Keppel Seghers dari Singapura.
Kepala Bidang Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Kota (TPST), Iwan Wardhana, menambahkan, ketiga perusahaan tersebut bakal diundang dan diberikan dokumen pemilihan. "Kami hanya memberikan dokumen itu kepada tiga perusahaan, mereka akan mempelajari selama sekitar sebulan," ujarnya.
Setelah itu mereka akan proses lelang yang akan digelar dengan transparan dan dihadiri sejumlah ahli lingkungan, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), dan akademisi dari UI, Pemenang akan memperoleh hak konsesi Bangun, Guna, Serah (Build, Operate, and Transfer/BOT) selama jangka waktu 25 tahun, setelah berakhirnya masa konsesi, fasilitas yang terbangun menjadi milik Pemprov DKI Jakarta.
Dengan kemampuan pengolahan sampah sekitar 1.200 ton sampah per hari, maka Pemprov DKI akan membayar biaya pengolahan sampah ditetapkan maksimal sebesar Rp400.000 per ton.
"Itu harga maksimal, karena kami pakai teknologi medium, di sejumlah negara lain, yang teknologi lebih tinggi, ada yang mencapai Rp 1 juta per ton, itulah mengapa kami buka lelang dengan peserta dari luar negeri yang sudah berpengalaman dengan teknologi ITF ini, bukan perusahaan sembarangan," terangnya.
Berbeda dengan pengolahan sampah sanitary landfill di Bantar Gebang, yang tipping feenya hanya Rp 103.000 per ton. "Kami bisa olah sampah dalam area tiga hektar, dan tidak ditumpuk tapi diolah menjadi listrik, sisanya hanya 5 persen berupa abu," ungkapnya.
Selain itu, tonase sampah dan biaya angkut ke Bantargebang juga akan menurun, dan anggarannya bisa dialihkan ke ITF Sunter.
Nantinya, dalam kontrak juga disebutkan bahwa pemenang harus segera membangun ITF. Jika dalam waktu satu tahun pemenang tidak memulai, bisa dicabut kontraknya, atau dinilai gagal. Kontrak juga mencantumkan bahwa ITF harus terus menerus beroperasi,
"Jadi minimal itu ada dua jalur pengolahan, kalau satunya sedang dalam perawatan, satunya harus beroperasi terus, jika berhenti, mereka akan kena sanksi," katanya.
Untuk listrik yang dihasilkan dari ITF, akan dibeli oleh PLN dan keuntungannya menjadi milik operator. ITF Sunter didesain mampu mengolah sampah minimal 1.000 ton/hari. Fasilitas berteknologi tinggi ini akan dibangun di atas lokasi SPA Sunter saat ini.
Pembangunan ITF Sunter ini sudah mendapatkan rekomendasi dari Clinton Climate Initiative (CCI). Organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang penyelamatan lingkungan asal Amerika Serikat ini merekomendasikan teknologi incinerator yang diterapkan di ITF Sunter.
Incinerator dipilih dengan pertimbangan teknologi ini hanya menyisakan residu sekitar 10 persen dari total sampah yang diolah, selain itu Incinerator mampu menghasilkan listrik yang tinggi (14 MW per 1.000 ton sampah), berpotensi mengurangi emisi Gas Rumah Kaca secara signifikan dan telah teruji di banyak kota-kota besar Eropa dan Asia.
sumber: vivanews
Selasa, 21 Agustus 2012
Andai Koruptor Mau JUJUR Seperti Ikan Mas oleh DIDOWARDAH
DIDOWARDAH- Memasuki era Millennium
rumah industri dan pabrik-pabrik berlimbah kian menggeliat menjejali
Indonesia, dari sekedar industri rumahan hingga pabrik besar yang
memayungi ribuan karyawan bahkan jutaan. Sebagaimana yan kita ketahui,
aktivitas pabrik dan industri selalu berhubungan dengan masalah limbah
buangan. Dan selama ini, masaah mengelola limbah belum mendapatkan
perhatian yang serius dari pemerintah maupun perorangan. Sehingga dalam
pembuangannya seringkali harus mengorbankan lingkungan sekitar.
Diantaranya adalah dengan mengotori badan sungai. Dus, tidak
mengherankan jika hampir semua sungai di Indonesia menjadi keruh, dengan
warna air coklat kehitaman, lalu ceceran sampah disana-sini dan aroma
khas yang tidak bersahabat. Tercemar.
Padahal,
selama ini kita sangat mafhum jika sebagaian masyarakat masih
memanfaatkan sungai sebagai sarana aktivitas mereka. Mulai dari mencuci,
MCK, hingga sebagai sumber air minum. Miris sekali bukan? Seharusnya
kita secara individu harus mulai aware dengan
masalah pencemaran air. Selain merusak pemandangan, pencemaran air
kerapkali membawa masalah. Diantaranya menyebabkan timbulnya wabah
karena pemanfaatan air sungai, juga berdampak buruk pada ekosistem lain seperti biota yang ada di laut karena semua sungai pasti bermuara ke laut. Seperti
yang dikatakan Prof Ir Lieke Riadi PhD dalam sebuah artikel yang sempat
kubaca, dikatakan bahwa “Contoh Indikasi bahwa sungai telah tercemar
ditandai dengan banyaknya ikan yang mati di sungai tersebut.” Untuk
mencegah masalah ini agar tidak berkepanjangan, memang seyogianya
memang harus ada peran dan partisipasi dari semua pihak seperti warga,
pihak industri, dan pemerintah.
Yang
lebih memprihatinkan, pencemaran sungai kini tidak lagi menjadi masalah
eklusif milik warga kota. Melainkan sudah mulai bergeser ke desa-desa
dan pelosok pedalaman. Sebagaimana berita yang dirilis KOMPAS
pada April lalu (05/04/2012) mewartakan bahwa Papua yang pada 2009
menduduki peringkat pertama untuk indeks kualitas lingkungan hidup turun
peringkat dua, salah satunya disebabkan karena meningkatnya pencemaran
air sungai. Sungai yang tercemar di Papua yaitu Sungai Mamberamo dan
Danau Sentani. Masih dari sumber yang sama, selama ini pemerintah
berkonsentrasi memperbaiki indeks kualitas air sungai-sungai yang berada
di Pulau Jawa. Namun kenyataanya di wilayah timur ada kecenderungan
pencemaran meningkat. Meningkatnya pencemaran air sungai tersebut,
merupakan indikasi semakin banyaknya kegiatan yang
membebani media air sungai, dan makin padatnya jumlah penduduk, sehingga
mendesak untuk membuka pemukiman baru hingga ke daerah aliran sungai.
Realita
ini hendaknya menjadi perhatian serius kita semua karena pencemaran air
sungai bisa berdampak fatal dan cukup signifikan. Di Indonesia
misalnya, setiap tahun lebih dari 3.500.000 anak-anak dibawah umur 3
tahun di serang oleh berbagai jenis penyakit perut dengan jumlah
kematian sekitar 105.000 orang. Jumlah tersebut akan meningkat lebih
banyak pada daerah/tempat yang keadaan sanitasi lingkungannya berada
pada tingkat rendah. Salah satu solusi dalam masalah ini, disebutkan bahwa Untuk
menghindari kerusakan terhadap ekosistem perairan sebagai akibat dari
pencemaran, haruslah dilakukan pemantauan atau monitoring, baik
monitoring secara fisika, kimia maupun biologi (Amnan, 1994).
Sementara
itu, dewasa ini monitoring pencemaran air secara secara Biologi dengan
hewan air sudah diterapkan di Surabaya. Badan Lingkungan Hidup (BLH)
Surabaya biasa memantau kesehatan air aliran sungai dengan memanfaatkan
ikan sebagai alat uji hayati. Ikan yang dipilih adalah jenis ikan mas
(Cyprinus carpio L) yang disinyalir sangat peka terhadap penurunan
kualitas air. Ikan Mas dikenal sebagai ikan pemakan segala (omnivora)
yang antaralain memakan serangga kecil, siput cacing, sampah dapur,
potongan ikan, dan lain-lain (Asmawi,1986).
Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) dapat digunakan sebagai hewan uji hayati karena sangat peka terhadap perubahan lingkungan (Brinley cit. Sudarmadi, 1993). Ikan ini layak digunakan sebagai indikator biologis karena memenuhi syarat yang ditetapkan American Public Health Association
(APHA), sebagai jenis ikan yang sensitf terhadap material racun dan
perubahan lingkungan, penyebarannya luas dan mudah didapat dalam jumlah
yang banyak, mempunyai arti ekonomis, rekreasi dan kepentingan ekologi
baik secara daerah maupun nasional, mudah dipelihara dalam laboratorium,
mempunyai kondisi yang baik, bebas dari penyakit dan parasit dan sesuai
untuk kepentingan uji hayati.
Karena
itu, pemantauan polusi air bisa dilakukan dengan digalakannya kampanye
ikan mas yang tentunya dapat berfungsi ganda, baik itu sebagai lahan income
sampingan yang bernilai ekonomis, juga sebagai pemonitor keamanan kita
untuk memanfaatkan air sungai. Prakteknya bisa dengan memasang karamba
berisi ikan, terutama di aliran sungai yang dekat dengan pabrik dan
rumah industri yang rawan membuang limbahnya ke sungai. Jika ada
keganjalan terkait dengan perilaku ikan, misalnya gerakan mabuk atau
mati, pemilik ikan bisa lapor ke BLH untuk penyelidikan lebih lanjut. Dan
sebagai pemonitor, tidak seperti para elite koruptor yang mencla-mencle
dan selalu berkelit, seekor ikan jelas tidak akan berbohong.
Pemantauan
saja tidak cukup, karena pada hakekatnya masalah utamanya adalah pada
kualitas air itu sendiri yang seharusnya kita jaga kebersihan dan
keamanannya untuk dimanfaatkan. Karena itu, penyuluhan tentang
pentingnya mencegah polusi air sungai terus digiatkan dan digalakan oleh
pemerintah. Alangkah baiknya kalau memang setiap personal warga
Indonesia menyadari dan peduli terhadap masalah ini. Untuk itu
pengetahuan mengenai pelestarian lingkungan juga menjadi mutlak untuk
dimiliki. Berikut ini cara mengatasi pelestarian aliran sungai yang bisa
kita lakukan bersama-sama maupun secara individual.
- · Melestarikan Hutan Di Hulu Sungai: upaya ini sangat penting karena menghindari erosi tanah disekitar hulu sungai. Sebagai warga yang bijak dan aware lingkungan, sebaiknya kita tidak menebang apalagi menggunduli pepohonan disekitar sungai untuk menyulapnya menjadi areal pemukiman. Sebab dengan adanya erosi otomatis akan berdampak pada dasar sungai yang menjadi dangkal dikarenakan tanah dan pasir yang longsor.
- · Tidak Membuang Sampah Di Sungai: Sampah selalu menjadi sumber masalah jika dikelola dengan serampangan. Begitu juga ketika kita membuangnya secara sembarangan ke sungai-sungai. Sehingga tidak hanya mengotori aliran sungai dan membuatnya terkontaminasi, tapi juga merusak pemandangan dan memantik bau yang tidak sedap. Selain itu bisa menyebabkan aliran air di sungai terhambat. Juga menyebabkan sungai cepat dangkal dan akhirnya memicu terjadinya banjir di musim penghujan.
- · Tidak Membuang Air Di Sungai: Membuang air disini dalam tanda petik, yang maksudnya air kecil maupun besar. Buang air baik kecil maupun besar secara sembarangan adalah perbuatan salah. Sekedar buang air kecil yang terpaksa dilakukan di aliran sungai yang deras mungkin bisa ditolerir dan dimaafkan. Tapi lain ceritanya jika menjadi rutinitas dan kebiasaan untuk melakukan ritual ini di sungai, bahkan di areal sungai yang tenang tanpa arus. Kesannya pasti sangat menjijikan. Tidak hanya sampai disitu, buang air di sungai menjadi lahan efektif untuk berkembangnya penyakit dari yang ringan sampai yang akut. Sebab itu, sudah saatnya kita berkampanye menyadarkan mereka yang masih belum juga peduli dengan masalah ini.
- · Tidak Membuang Limbah Rumah Tangga Dan Industri Di Sungai: Selama ini sungai menjadi tempat paling favorit untuk membuang limbah pabrik dan industri. Kebiasaan ini bahkan sudah mengakar sejak dulu, aku masih ingat ketika semasa SD dulu. Saat belajar dikelas seringkali tersiksa dengan bau menyengat dari limbah pabrik tahu yang dibuang sembarangan di sungai. Kebetulan sungai tersebut terletak tepat selemparan batu di belakang gedung sekolah. Sudah pasti, air sungai yang dulu tak bermasalah berubah warna menjadi keruh kehitaman dan menjijikan.
- · Tidak Menggunakan Pupuk Atau Pestisida Secara Berlebihan: Para petani hendaknya tidak menggunakan pupuk dan pestisida secara berlebihan. Yang terjadi di lapangan, sebagian besar petani mengalirkan air sawah mereka ke sungai tanpa melalui proses pengolahan. Maka dari itu, jika memang mereka enggan mengolah terlebih dahulu, penggunaan pupuk dan pestisida harus seminimal mungkin agar tidak menimbulkan pencemaran yang serius.
Seandainya
enam poin diatas secara kontinyu digalakan dan dipraktekan, kedepannya
masalah polusi sungai pasti perlahan bisa teratasi. Realitanya
memang pencemaran sungai ini tidak mudah untuk diatasi. Hal tersebut
disebabkan oleh banyaknya pihak yang menyalahgunakan fungsi sungai
tersebut sehingga membawa dampak yang buruk. Karena itu yang dibutuhkan hanyalah kesadaran dan kerjasama yang baik dari semua pihak.
Lebih baik lagi, jika siapapun warga
masyarakat, pengusaha hotel, pabrik dan rumah sakit yang membuang
sampah maupun limbah di Sungai itu harus diproses secara hukum. Kita
bisa mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana seharusnya bisa ditegakkan dengan
seadil-adilnya dan tidak ada pilih kasih. Dan sebenaranya ini tidak
hanya terjadi di Indonesia saja,masalah pencemaran dan pengrusakan
lingkungan telah menjelma menjadi sebuah isu global yang diyakini secara
Internasional. Karena itu, sepatutnya kita mendukung penuh gerakan
peduli lingkungan. Salah satunya adalah menggalakan program sungai bebas
polusi. Jika
saja masalah pencemaran sungai bisa diminimalisir dengan baik atau
bahkan berjalan dengan sukses. Tentu kita tidak perlu iri lagi untuk
melirik sungai-sungai indah di Eropa ataupun Amerika yang masih jernih
dan terjaga ekosistemnya. Semoga ini tidak sekedar wacana. Well, let’s start from now on!! :D
Kamis, 16 Agustus 2012
Solusi Mengolah Sampah Perkotaan dengan Teknologi MBT oleh Vien Dimyati
Penggunaan teknologi dalam mengolah
sampah di DKI Jakarta, tampaknya sudah semakin mendesak. Mengingat
sampah di DKI Jakarta semakin hari semakin meningkat. Dalam mengurangi
limbah sampah di Jakarta, pemerintah memfokuskan pengolahan sampah di
dalam kota yakni dengan mengoperasikan Intermediate Treatment Facility
(ITF).
Ketua Pusat Kajian Persampahan Indonesia
(PKPI), Sodiq Suhardiyanto mengatakan tempat pengolahan sampah atau ITF
ini pertama kali ditempatkan di Cakung Cilincing. ITF Cakung ini bekerja
dengan menerapkan teknologi Mechanical Biological Treatment (MBT).
“Di mana sampah anorganik di daur ulang
dan sampah organiknya difermentasi untuk menghasilkan bahan bakar
pembangkit listrik atau sumber bahan bakar gas (BBG),” kata Sodiq kepada
Jurnal Nasional, saat dihubungi, di Jakarta, Minggu (21/8).
Dengan mulai beroperasinya ITF cakung
ini, lanjut pria yang bekerja sebagai CDM Project Special Advisor, PT
Gikoko Kogyo Indonesia, ini menjelaskan tentunya ITF Cakung akan bisa
mengurangi ketergantungan Pemerintah Provinsi DKI terhadap TPST Bantar
Gebang, bahkan kedepannya pemerintah juga telah menyiapkan proses
pembangunan TPST dalam kota atau ITF, yakni ITF Sunter dan Marunda.
“Ini merupakan ide murni saya. Sudah dua
tahun saya memperjuangkan ide ini. Saya yakin langkah ini akan baik
untuk lingkungan Kota Jakarta yang penuh sesak dengan tumpukan sampah,”
katanya.
Menurutnya, di negara Jerman, sejak
1994-1995, TPA sudah tidak boleh digunakan, karena dalam perkembangannya
membakar sampah memang sudah tidak diizinkan lagi. Maka itu, teknologi
MBT ini sangat cocok untuk daerah tropis seperti Kota Jakarta.
Ia menambahkan, tujuan utama dari
kegiatan Jasa Pengalahan Sampah ITF Cakung Cilincing adalah mengurangi
beban TPST Regional, serta mengurangi kemacetan akibat banyaknya ritasi
kendaraan pengangkut sampah.
Selain itu, kata dia, mitra swasta/pihak
ketiga penyedia jasa pengolahan sampah disyaratkan memiliki dan
berkemampuan mengelola fasilitas ITF yang dapat mereduksi sampah minimal
sampai 85-90 persen, sehingga hanya 10-15 persen residu pengolahan yang
dibuang ke TPST Regional atau diolah di tempat sehingga tidak ada
residu pengolahan (zero waste).
“MBT adalah suatu teknologi modern yang
ramah lingkungan yang dapat mereduksi sampah melalui pemilahan,
pencacahan, daur ulang, refuse derived fuel (RDF), kompos dan energi
listrik atau bahan bakar gas (BBG),” katanya.
MBT Plant di ITF Cakung Cilincing terdiri
dari Pengomposan dan Dry Anaerobic Digester yang saling terintegrasi
dalam dua fase. Fase pertama adalah proses perkolasi dalam Anaerobic
Digester (AD), sedangkan fase kedua adalah proses pengomposan aerobik
pada modul yang sama sehingga dapat menekan bau karena proses aerasi
pengomposan diproses dalam modul yang kedap udara.
“Fase pengomposan ini dilakukan dari 1
Agustus 2011 sampai 31 Desember 2011, sedangkan dari 1 Januari 2012
sampai 30 Juni 2012 sistem dikembangkan dengan Dry Anaerobic Digestion
and Composting dengan teknologi dari Aikan (Perusahaan PMA Denmark),”
katanya.
Ia memaparkan, kapasitas penampungan
sampah di ITF Cakung Cilincing hingga akhir Desember 2011 sekitar 400
ton per hari. Pada Januari-Juli 2012, kapasitasnya akan meningkat sampai
600 ton per hari dan setelah Juli 2012, kapasitasnya akan dioptimalkan
menjadi 1.300 ton per hari. “Baru setelah dua tahun kemudian,
kapasitasnya akan ditingkatkan menjadi 1.500 ton. Hal ini harus
dilakukan secara bertahap,” katanya.
Ia melanjutkan, ITF Cakung Cilincing yang
berdiri di lahan seluas 7,5 hektare ini berkapasitas penuh mengolah
sampah sebanyak 1.300 ton per hari dan mampu menghasilkan energi listrik
mencapai 4,95 MW atau dapat menghasilkan BGG sebanyak 445.699 MMBTU,
ketika beroperasi penuh pada tahun 2012.
“Diharapkan dengan pembangunan ITF ini konsep ‘Jakarta Menuju Waste to Energy’ bisa terwujud,” katanya.Mengolah sampah menjadi bernilai ekonomis
saat ini sudah tidak sulit dilakukan. Pasalnya saat ini Pemerintah
sedang mengembangkan sistem Mechanical Biological Treatment (MBT).
Sebuah teknologi mutakhir yang ramah lingkungan. Khususnya dalam
pengelolaan sampah di perkotaan. Sampah yang menumpuk di Kota Jakarta
tidak lagi dibakar melainkan dapat diolah sedemikian rupa.
Ketua Pusat Kajian Persampahan Indonesia
(PKPI), Sodiq Suhardiyanto, di Jakarta, Senin, (22/8) mengatakan bahwa
konsep mengelola sampah saat ini di perkotaan harus berdasar pada
pemikiran bahwa sampah harus dikelola secara modern dan ramah
lingkungan. “Tidak lagi dalam bentuk penumpukan (open dumping) atau
dibakar sembarangan yang dampaknya mengganggu lingkungan dan kesehatan
masyarakat sekitar,” kata Sodiq.
Menurut dia, pengelolaan yang baik
membuat sampah tetap memiliki nilai ekonomis, baik untuk didaur ulang
maupun diubah menjadi bentuk lain menjadi bahan yang bisa digunakan.
Dengan konsep MBT maka sampah bisa didaur ulang dalam produk MRF
(Material Recycling Facility) seperti daur ulang plastik, RDF (Refused
Derived Fuel), dan bahan lainnya (kaca, kayu, logam).
Selain itu, lanjutnya, dengan konsep ini
sampah juga bisa diuubah menjadi listrik ataupun BBG dan bisa juga
menghasilkan carbon credit yang bermanfaat dalam menekan pengurangan
CO2. “Dengan begini maka akan bisa mengurangi pemanasan global. Dengan
begitu sampah tak lagi dipandang sinis bagi masyarakat luas, tetapi
dipandang menjadi lebih positif,” jelasnya.
Dengan demikian pengelolaan sampah
menjadi sesuatu yang bisa dikerjakan bersama baik oleh pemerintah,
masyarakat, juga untuk para investor.
Sementara itu, kata dia, jika sampah
masih dikelola dengan paradigma lama yaitu TPA (landfill) maka sampah
hanya akan ditumpuk dan setelah penuh (kapasitas maksimal) maka harus
dibutuhkan lahan baru, sehingga dalam jangka panjang justru akan
berdampak negatif terhadap aspek lingkungan maupun sosial.
“Hal ini tentunya berbeda dengan MBT yang
tidak memerlukan tambahan lahan karena di sana dibangun pabrik
pengolahan sampah, tidak sekadar tempat penumpukan sampah saja. Salah
satu kekurangan dari TPA selain membutuhkan lahan yang lebih luas, juga
berpotensi menimbulkan pencemaran (bau). Selain itu dari sisi
kemanfaatan ekonomi juga kurang, sebab sampah hanya bisa dikonversi
menjadi listrik saja,” katanya.
Ia juga menjelaskan secara umum
perbandingan luas lahan dan produk yang dihasilkan MBT lebih
menguntungkan dibandingkan dengan TPA. Dengan kapasitas 1.500 ton per
hari, dengan menggunakan MBT, luas lahan yang dibutuhkan hanya 12 Ha
sementara itu dengan TPA, kapasitas 1.500 Ton harus menggunakan 50 ha
lahan. “Dengan sistem MBT, kebutuhan lahan tidak akan bertambah karena
sebagai pabrik pengolahan. Tapi kalau TPA dibutuhkan lahan baru jika
kapasitas TPA sudah penuh,” katanya.
Penggunaan teknologi dalam mengolah
sampah di DKI Jakarta, ke depannya nanti semua akan menggunakan konsep
MBT dengan menggunakan konsep Intermediate Treatment Facility (ITF). MBT
adalah suatu teknologi modern yang ramah lingkungan yang dapat
mereduksi sampah melalui Pemilahan, Pencacahan, Daur Ulang, Refuse
Derived Fuel (RDF), Kompos dan Energi Listrik atau Bahan Bakar Gas (BBG)
(baca bagian 1).
MBT Plant di ITF Cakung Cilincing terdiri
dari Pengomposan dan Dry Anaerobic Digester yang saling terintegrasi
dalam dua fase. Fase pertama adalah proses perkolasi dalam Anaerobic
Digester (AD). Sedangkan fase kedua adalah proses pengomposan aerobik
pada module yang sama sehingga dapat menekan bau karena proses aerasi
pengomposan diproses dalam module yang kedap udara.
Langganan:
Postingan (Atom)