Jakarta, kompas 09 feb 2011
Jakarta sebagai ibu kota negara ternyata belum mempunyai citra sebagai kota yang bersih. Selain banyak warga yang belum mempunyai kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga belum mampu mengelola semua sampah yang ada.
Hingga saat ini, masalah sampah masih dikelola secara parsial oleh kelompok-kelompok masyarakat. Mereka mulai memisahkan sampah organik dan anorganik. Mereka lalu mengolah sampah menjadi kompos atau barang lain yang bisa digunakan.
Namun, setelah barang-barang hasil pengolahan sampah dibuat, warga tidak tahu harus dipasarkan ke mana. Upaya pemerintah meyakinkan warga bahwa sampah memiliki nilai ekonomis tidak bisa dibuktikan oleh warga.
Kampung Banjarsari di Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, dahulu merupakan kisah sukses pengolahan sampah mandiri. Namun, kini kesuksesan itu mulai memudar lantaran kejenuhan warga sekaligus minimnya dukungan dari pemerintah.
Agustin (57), warga RT 08 RW 8, Kampung Banjarsari, menuturkan, kini hanya sebagian kecil warga yang tetap memilah sampah organik dan anorganik sejak di rumah. Padahal, dahulu setidaknya separuh warga di RW 08 mengerjakannya.
Sejak tahun 1996 Banjarsari dijadikan proyek percontohan UNESCO di bidang pengolahan sampah mandiri. Warga mendapat pelatihan membuat kompos, daur ulang kertas, serta menanam tanaman obat. Proyek itu dinilai berhasil, bahkan sejumlah pejabat Pemprov DKI Jakarta maupun Pusat kerap mengunjungi Kampung Banjarsari.
”Pak Sutiyoso juga pernah datang ke sini saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, bahkan sempat meminta daerah lain mencontoh Banjarsari,” tuturnya.
Ketua RW 08 Noerdjaja (56) menambahkan, sebagian warganya sudah mulai jenuh dengan aktivitas mengolah sampah organik. Hal ini antara lain disebabkan minimnya perhatian pemerintah.
”Omongnya kurang ini, kurang itu, tetapi kami harus bagaimana tidak diomongin. Terus keberhasilan mereka klaim,” tutur Noerdjaja.
Dukungan terkecil, misalnya, warga yang sudah susah payah memilah sampah organik dan anorganik, ketika diangkut petugas sampah dicampur begitu saja. Setelah tokoh masyarakat meminta bantuan, pemerintah memberi alat pencacah dan penyaring sampah serta dua unit sepeda motor untuk mengangkut sampah.
Tidak ada rencana induk
Sri Bebassari, salah seorang petugas di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Rawasari, Jakarta Pusat, mengatakan, pengolahan sampah di Jakarta tidak hanya membutuhkan teknologi, tetapi juga empat aspek lain, yakni peraturan, kelembagaan, pendanaan, serta kajian sosial budaya.
Namun, sebagian besar tempat pengolahan sampah hanya menerapkan teknologi dan belum memadukan empat aspek lainnya.
Secara umum, rencana induk pengelolaan sampah untuk 20 tahun ke depan juga belum ada di DKI Jakarta. Hal ini membuat persoalan sampah seakan berjalan di tempat. ”Master plan sampah itu seharusnya juga membahas kelima aspek itu, yakni peraturan, kelembagaan, pendanaan, kajian sosial budaya, serta teknologi. Jangan sampai masalah sampah berhenti pada aspek teknologi saja,” ucap Sri.
Sementara Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna mengakui, pemerintah belum bisa menyerap kompos produksi warga. Selain kualitas tidak standar, untuk membeli kompos itu pemerintah harus melalui proses lelang sesuai peraturan.
”Saat ini kami bekerja sama dengan Kadin Indonesia membentuk kelompok kerja untuk menyerap kompos warga. Untuk membuat standar kompos, kami sudah minta bantuan Universitas Indonesia,” kata Eko.(GAL/NDY/FRO/ART/ARN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar