YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Penerapan sistem pertanian organik di Indonesia terkendala oleh budaya petani. Selama masa revolusi hijau mereka terbiasa bercocok tanam sesuai petunjuk dalam program pemerintah sehingga kehilangan kreativitas.
Hal itu disampaikan antropolog dari School of Social and Cultural Studies, Massey University Auckland, Selandia Baru, Graeme Macrae, dalam kuliah umum Pertanian Organik dan Permasalahannya, Jumat (26/6) di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Kesimpulan mengenai kendala dari faktor budaya itu ditemukan Macrae dari pengamatannya terhadap penerapan sistem pertanian organik di Ubud Bali. Menurut dia, sampai sekarang, sebagian besar petani masih enggan mencoba pola pertanian organik karena khawatir terhadap risikonya. Masalah utama kekhawatiran itu bukan terkait, baik dengan faktor ekonomis, maupun teknis, melainkan lebih karena faktor sosial budaya. Demikian dia menjelaskan.\
Sebelum sistem pertanian dengan pupuk kimia diperkenalkan, petani di Bali sebenarnya telah punya pola bercocok tanam sendiri. Jejaknya bisa dilihat dalam sistem subak.
"Namun, sejak program revolusi hijau berjalan, mereka menjadi tergantung dalam hal kebutuhan benih, pupuk, pola bercocok tanam, hingga harga jual gabah. Akibatnya, saat sistem pertanian organik diperkenalkan, mereka tidak bisa merespons dengan cepat. Sangat jarang menemukan petani yang tertarik pada agrobisnis, mereka hanya tahu harga beli dan harga jual," tambah Macrae.
Ia menuturkan, sistem pertanian organik di Bali diperkenalkan pada petani oleh sejumlah ekspatriat yang tinggal di Bali. Sejak tahun 2000 sampai sekarang, baru sekitar 1 persen petani padi yang beralih ke sistem ini.
Padahal, pasar produk pertanian organik cukup menjanjikan. Di Bali saja, pasokan padi organik tidak mampu memenuhi permintaan. Permintaan terbesar memang datang dari kelompok ekspatriat dan turis asing. "Namun, semakin banyak kelas menengah atas di Bali yang mengonsumsi makanan organik karena alasan kesehatan," katanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar