KOMPAS/ENY PRIHTIYANI
Lasiyo Syaefudin
Oleh Eny Prihtiyani
KOMPAS.com - Di lahan pekarangan rumahnya, ia banyak mempraktikkan teori-teori dari berbagai pelatihan dan lokakarya. Kegagalan tak membuat dia patah semangat, tetapi justru membuatnya tergugah untuk melakukan berbagai penyempurnaan. Dua produknya yang populer adalah pestisida nabati dan mikroorganisme pengurai kompos.
Adalah Lasiyo Syaefudin (58), petani dari Dusun Ponggok, Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang telah banyak mengukir prestasi di bidang pertanian organik. Namanya dikenal di kalangan petani di Bantul karena kerap menjadi pembicara di acara-acara pertanian.
Menurut dia, selama bertahun-tahun petani terjebak dalam pola tanam yang serba instan, mulai dari pupuk hingga pestisida. Akibatnya, kesuburan tanah semakin rusak dan produktivitas pun sulit dinaikkan. ”Awalnya saya tidak tahu harus berbuat apa karena memang tidak memiliki informasi bagaimana cara bertani yang baik, tanpa bergantung pada produk-produk kimia,” kata Lasiyo.
Kesempatan mengikuti lokakarya pertanian di Jakarta tahun 2007 memberikan pelajaran bagi Lasiyo. Dalam lokakarya ini, dia dikenalkan dengan pestisida hayati. Sesampainya di rumah dia langsung mempraktikkannya. Pada proses awal ia masih sering gagal karena komposisi campuran atau oplosan yang dia buat tidak tepat. ”Meski gagal, saya tidak menyerah. Saya terus melakukan uji coba hingga mendapatkan komposisi yang pas,” katanya.
Kini setidaknya ada 50 resep pestisida nabati yang dimiliki Lasiyo. Semuanya diperoleh bukan dari teori buku, melainkan uji coba langsung.
Beberapa jenis resep itu di antaranya adalah jus cabai yang bisa dimanfaatkan untuk mengusir hama wereng serta jus daun mimba dan pepaya untuk mengusir lalat buah. Untuk mengusir tikus, Lasiyo memakai ubi kayu yang direbus dengan air kelapa. Ubi itu diletakkan di rongga-rongga sarang tikus. Jika termakan, tikus akan mati.
Menurut dia, hampir semua jenis produk nabati bisa dipakai untuk membuat pestisida, seperti tembakau, lengkuas, dan kunir. Khusus untuk tembakau, sebaiknya digunakan pada komoditas pertanian yang tidak langsung dikonsumsi karena kandungan nikotinnya tak baik bagi kesehatan.
Untuk mengolah pestisida nabati, ia memperoleh bantuan mesin dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Bantul. Dalam waktu dekat, pemerintah kembali akan memberikan bantuan mesin dengan kapasitas lebih besar. Ia berharap pestisida nabati bisa diproduksi secara massal, agar harga jualnya murah dan suplainya memadai.
Selain dipakai di lahannya sendiri, yang luasnya 4.000 meter persegi, Lasiyo juga menjual pestisida nabati itu kepada petani lain seharga Rp 1.000 per liter. Harga ideal sebenarnya sekitar Rp 10.000 per liter. Ia sengaja menjual murah karena ingin memopulerkannya lebih dulu. Dalam sebulan, ia bisa menjual 30 liter pestisida nabati.
”Belum banyak petani yang mau memakai pestisida nabati. Mereka lebih suka menggunakan pestisida kimia meski harganya mahal,
Untuk volume 10 cc (pestisida kimia), harganya berkisar Rp 20.000 hingga Rp 50.000. Keengganan petani umumnya karena efek yang ditimbulkan pestisida nabati tak secepat pestisida kimia. Karena sifatnya alami, proses membunuhnya sedikit lebih lama,” paparnya.
Lasiyo mengatakan, meski efeknya lebih lambat, pestisida nabati lebih aman karena hanya membunuh hama sasaran. Kalau petani memakai semprotan kimia, semua jenis hama mati dalam sekejap. Tak hanya itu, produk pertanian yang dihasilkan juga tak aman untuk dikonsumsi.
Memengaruhi
Tak mudah bagi pria tamatan SMP tersebut untuk memengaruhi para petani lain. Namun, berkat kegigihannya selama ini setidaknya sudah sekitar 40.000 petani dengan luas lahan 4.800 hektar yang menggunakan pestisida nabati. Para petani itu tersebar di Kecamatan Pleret, Sewon, Imogiri, Pundong, dan Bambanglipuro. ”Sebagian besar (petani) sudah memproduksi pestisida sendiri setelah melihat hasil uji coba saya. Awalnya mereka sempat ragu, tetapi saya berusaha meyakinkan hingga mereka bisa percaya,” ujarnya.
Selain pestisida hayati, Lasiyo juga mengembangkan mikroorganisme pengurai kompos. Fungsinya untuk mempercepat pembuatan kompos. Pengurai kompos itu dibuat dari air kelapa yang dicampur air pususan (air bilasan beras), gula jawa, dan iso (usus) atau terasi sebagai perangsang mikroba. Campuran itu lalu direndam selama 2 minggu.
Menurut dia, kompos seharusnya menjadi pilihan petani untuk mengatasi lahan kritis karena asupan pupuk kimia yang terlalu banyak. Kesuburan tanah tersebut hanya bisa dikembalikan dengan pupuk organik. ”Petani juga tidak perlu repot apabila pupuk pabrik langka,” tutur pria yang pernah menyabet penghargaan dari Menteri Pertanian itu.
Di pekarangan rumahnya, Lasiyo juga mengembangkan sayuran organik dalam polybag. Ia tak mau lahannya sia-sia begitu saja. Makanya, setiap ruang yang tersedia terisi banyak polybag tanaman sayuran, seperti cabai, tomat, dan terong.
Ketertarikan Lasiyo kepada dunia pertanian tak berhenti sampai di sini. Ia juga mengembangkan jamur tiram karena dinilainya memiliki prospek pasar lumayan bagus. Saat ini banyak jenis masakan yang diolah dari jamur tiram, seperti sate jamur dan tongseng jamur. Ia berniat mengembangkan bisnis jamur dalam skala lebih besar karena masyarakat mulai menyukainya untuk lauk sehari-hari.
Meski sudah menyabet berbagai penghargaan, semua itu tak membuat pria asli Bantul ini sombong. Ia tetap rendah hati. Keramahan Lasiyo membuat banyak kalangan merasa tak canggung mendatangi rumahnya. Bukan hanya dari instansi pemerintahan, melainkan juga mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada yang ingin menimba ilmu darinya.
Berbagai pengalaman lapangan selama ini membuat Lasiyo menjadi ”profesor” meski dia hanya lulusan SMP. Ia pun berhasil menyabet juara I Lomba Cerdas Tani yang diselenggarakan Yayasan Unilever Indonesia pada tahun lalu.
KOMPAS.com - Di lahan pekarangan rumahnya, ia banyak mempraktikkan teori-teori dari berbagai pelatihan dan lokakarya. Kegagalan tak membuat dia patah semangat, tetapi justru membuatnya tergugah untuk melakukan berbagai penyempurnaan. Dua produknya yang populer adalah pestisida nabati dan mikroorganisme pengurai kompos.
Adalah Lasiyo Syaefudin (58), petani dari Dusun Ponggok, Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang telah banyak mengukir prestasi di bidang pertanian organik. Namanya dikenal di kalangan petani di Bantul karena kerap menjadi pembicara di acara-acara pertanian.
Menurut dia, selama bertahun-tahun petani terjebak dalam pola tanam yang serba instan, mulai dari pupuk hingga pestisida. Akibatnya, kesuburan tanah semakin rusak dan produktivitas pun sulit dinaikkan. ”Awalnya saya tidak tahu harus berbuat apa karena memang tidak memiliki informasi bagaimana cara bertani yang baik, tanpa bergantung pada produk-produk kimia,” kata Lasiyo.
Kesempatan mengikuti lokakarya pertanian di Jakarta tahun 2007 memberikan pelajaran bagi Lasiyo. Dalam lokakarya ini, dia dikenalkan dengan pestisida hayati. Sesampainya di rumah dia langsung mempraktikkannya. Pada proses awal ia masih sering gagal karena komposisi campuran atau oplosan yang dia buat tidak tepat. ”Meski gagal, saya tidak menyerah. Saya terus melakukan uji coba hingga mendapatkan komposisi yang pas,” katanya.
Kini setidaknya ada 50 resep pestisida nabati yang dimiliki Lasiyo. Semuanya diperoleh bukan dari teori buku, melainkan uji coba langsung.
Beberapa jenis resep itu di antaranya adalah jus cabai yang bisa dimanfaatkan untuk mengusir hama wereng serta jus daun mimba dan pepaya untuk mengusir lalat buah. Untuk mengusir tikus, Lasiyo memakai ubi kayu yang direbus dengan air kelapa. Ubi itu diletakkan di rongga-rongga sarang tikus. Jika termakan, tikus akan mati.
Menurut dia, hampir semua jenis produk nabati bisa dipakai untuk membuat pestisida, seperti tembakau, lengkuas, dan kunir. Khusus untuk tembakau, sebaiknya digunakan pada komoditas pertanian yang tidak langsung dikonsumsi karena kandungan nikotinnya tak baik bagi kesehatan.
Untuk mengolah pestisida nabati, ia memperoleh bantuan mesin dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Bantul. Dalam waktu dekat, pemerintah kembali akan memberikan bantuan mesin dengan kapasitas lebih besar. Ia berharap pestisida nabati bisa diproduksi secara massal, agar harga jualnya murah dan suplainya memadai.
Selain dipakai di lahannya sendiri, yang luasnya 4.000 meter persegi, Lasiyo juga menjual pestisida nabati itu kepada petani lain seharga Rp 1.000 per liter. Harga ideal sebenarnya sekitar Rp 10.000 per liter. Ia sengaja menjual murah karena ingin memopulerkannya lebih dulu. Dalam sebulan, ia bisa menjual 30 liter pestisida nabati.
”Belum banyak petani yang mau memakai pestisida nabati. Mereka lebih suka menggunakan pestisida kimia meski harganya mahal,
Untuk volume 10 cc (pestisida kimia), harganya berkisar Rp 20.000 hingga Rp 50.000. Keengganan petani umumnya karena efek yang ditimbulkan pestisida nabati tak secepat pestisida kimia. Karena sifatnya alami, proses membunuhnya sedikit lebih lama,” paparnya.
Lasiyo mengatakan, meski efeknya lebih lambat, pestisida nabati lebih aman karena hanya membunuh hama sasaran. Kalau petani memakai semprotan kimia, semua jenis hama mati dalam sekejap. Tak hanya itu, produk pertanian yang dihasilkan juga tak aman untuk dikonsumsi.
Memengaruhi
Tak mudah bagi pria tamatan SMP tersebut untuk memengaruhi para petani lain. Namun, berkat kegigihannya selama ini setidaknya sudah sekitar 40.000 petani dengan luas lahan 4.800 hektar yang menggunakan pestisida nabati. Para petani itu tersebar di Kecamatan Pleret, Sewon, Imogiri, Pundong, dan Bambanglipuro. ”Sebagian besar (petani) sudah memproduksi pestisida sendiri setelah melihat hasil uji coba saya. Awalnya mereka sempat ragu, tetapi saya berusaha meyakinkan hingga mereka bisa percaya,” ujarnya.
Selain pestisida hayati, Lasiyo juga mengembangkan mikroorganisme pengurai kompos. Fungsinya untuk mempercepat pembuatan kompos. Pengurai kompos itu dibuat dari air kelapa yang dicampur air pususan (air bilasan beras), gula jawa, dan iso (usus) atau terasi sebagai perangsang mikroba. Campuran itu lalu direndam selama 2 minggu.
Menurut dia, kompos seharusnya menjadi pilihan petani untuk mengatasi lahan kritis karena asupan pupuk kimia yang terlalu banyak. Kesuburan tanah tersebut hanya bisa dikembalikan dengan pupuk organik. ”Petani juga tidak perlu repot apabila pupuk pabrik langka,” tutur pria yang pernah menyabet penghargaan dari Menteri Pertanian itu.
Di pekarangan rumahnya, Lasiyo juga mengembangkan sayuran organik dalam polybag. Ia tak mau lahannya sia-sia begitu saja. Makanya, setiap ruang yang tersedia terisi banyak polybag tanaman sayuran, seperti cabai, tomat, dan terong.
Ketertarikan Lasiyo kepada dunia pertanian tak berhenti sampai di sini. Ia juga mengembangkan jamur tiram karena dinilainya memiliki prospek pasar lumayan bagus. Saat ini banyak jenis masakan yang diolah dari jamur tiram, seperti sate jamur dan tongseng jamur. Ia berniat mengembangkan bisnis jamur dalam skala lebih besar karena masyarakat mulai menyukainya untuk lauk sehari-hari.
Meski sudah menyabet berbagai penghargaan, semua itu tak membuat pria asli Bantul ini sombong. Ia tetap rendah hati. Keramahan Lasiyo membuat banyak kalangan merasa tak canggung mendatangi rumahnya. Bukan hanya dari instansi pemerintahan, melainkan juga mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada yang ingin menimba ilmu darinya.
Berbagai pengalaman lapangan selama ini membuat Lasiyo menjadi ”profesor” meski dia hanya lulusan SMP. Ia pun berhasil menyabet juara I Lomba Cerdas Tani yang diselenggarakan Yayasan Unilever Indonesia pada tahun lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar