Entri Populer

Jumat, 24 Agustus 2012

Membangun Pengolahan Sampah Mandiri

oleh Robert Adhi Ksp

 Sampah acapkali menjadi persoalan dalam sebuah kota. Namun jika kita pandai mengelolanya, sampah bukan lagi produk buangan, tapi produk yang menghasilkan. Inilah yang dilakukan masyarakat yang bermukim di tujuh RT di RW 012, Kelurahan Pamulang Barat, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan.

 
Pada awalnya, sampah rumah tangga dari 700 keluarga di wilayah ini dibuang ke TPA di sekitar permukiman. Namun pembuangan sampah di TPA itu mengundang protes warga di sekitar TPA yang mengancam menutup TPA itu. Pengurus RW 012 Pamulang Barat pun berembug. Tahun 2007, sudah muncul ide pengolahan sampah. Namun, kata Sugeng Rahardjo, koordinator pembangunan pengolahan sampah RW setempat, menyatukan pendapat 700 keluarga di RW itu tidaklah mudah.

Melalui konsolidasi yang cukup lama, akhirnya 700 keluarga di RW 012 sepakat membayar secara bersama-sama biaya pembangunan pengolahan sampah sebesar Rp 120 juta. Setiap KK diwajibkan membayar Rp 200.000. Beberapa keluarga membayar dengan cara mencicil Rp 50.000 per bulan selama empat bulan. Demikianlah, cara RW 012 Pamulang Barat ini melibatkan warganya dalam pembangunan pengolahan sampah.

Dan tepat hari Minggu 6 Juni 2011, pengolahan sampah milik masyarakat ini diresmikan, yang dihadiri antara lain oleh Wakil Ketua DPRD Kota Tangerang Selatan Tb Budi Murdani dan Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Tangsel Toto Sudarto.
Proses pengolahan sampah ini sederhana. Sampah-sampah organik atau acap disebut sampah basah, yang dibawa dari rumah-rumah warga, dibawa ke tempat penampungan dan pengolahan, untuk kemudian diproses selama 12 hari-14 hari. Setelah proses fermentasi selesai, sampah organik itu diperhalus dengan mesin pengayak, dan selanjutnya dimasukkan dalam plastik, dijual sebagai pupuk. Kalau pun tidak digunakan, hasilnya dapat disebar ke tanah dan tidak mengundang lalat.

Sementara sampah-sampah non-organik dimasukkan ke tempat pembakaran atau insenerator berukuran 1,25 meter x 1,25 meter x 1,5 meter., dengan suhu sekitar 1.000 derajat Celcius. Di sini dibuat sistem hidro agar terjadi uap air yang menangkap partikel asap. Dengan demikian, yang keluar dari cerobong adalah asap yang sudah difilter dan tidak merusak lingkungan.
Setiap hari sampah rumah tangga dari 700 keluarga di RW 012 di Pamulang Barat ini sekitar satu ton. Sampah-sampah ini diangkut petugas yang jumlahnya dua orang per RT atau 14 orang untuk 7 RT. Sedangkan di tempat pengolahan sampah ini terdapat 10 orang yang bekerja, Sampah-sampah ini diolah sedini mungkin agar prosesnya lebih baik. Setiap KK membayar Rp 16.000 per bulan agar sampah mereka terangkut dan diolah di mesin pengolah itu.

Pengolahan sampah mandiri oleh masyarakat RW 012 Pamulang Barat ini merupakan yang pertama di Kota Tangerang Selatan. Wakil Ketua DPRD Tangsel Tb Bayu Murdani memuji upaya masyarakat membangun tempat pengolahan sampah dengan biaya masyarakat sendiri. Bayu berharap masyarakat di RW-RW lainnya di kota ini melakukan upaya serupa. Jika di setiap RW menyediakan lahan maksimal 500 meter persegi untuk pengolahan sampah dan membuat dengan biaya sendiri secara gotong-royong, ini akan sangat membantu mengatasi problem sampah perkotaan.

Ini memang langkah kecil yang dilakukan masyarakat di lingkungan yang kecil yang sangat layak dicontoh. Bayangkan jika masyararakat di setiap RW di Tangerang Selatan, bahkan di kota-kota lainnya di Indonesia, melakukan hal yang sama, persoalan sampah dan lingkungan bisa teratasi. Langkah kecil dari Pamulang ini pun secara tidak langsung ikut membantu mengatasi persoalan pemanasan global.

Partisipasi masyarakat langsung dalam mengelola sampah secara mandiri dilakukan masyarakat Jepang sejak bertahun-tahun lalu. Bahkan melalui pendidikan usia dini, anak-anak diperkenalkan pentingnya peduli lingkungan hidup. Di kota Kitakyushu, Jepang, ada museum lingkungan hidup, di mana anak-anak usia dini sudah diajak mengenal lingkungan. Di museum itu juga diperlihatkan foto-foto kota Kitasyushu di masa lalu, di mana polusi industri menganggu lingkungan kota. Melalui berbagai upaya, ternasuk pengolahan sampah mandiri oleh warga kota, akhirnya Kitakyushu menjadi kota dengan tingkat polusi yang rendah.
Apakah langkah kecil dari Pamulang Barat di Tangerang Selatan ini bisa menjadi gerakan massal? Mudah-mudahan.

*) Robert Adhi Ksp, editor di Kompas.com, peserta Asian City Journalist Conference (ACJC) di Kitakyushu dan Fukuoka, Jepang, yang memfokuskan pada persoalan lingkungan hidup dan pemanasan global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar