Entri Populer

Kamis, 30 Agustus 2012

Dari Sampah Menjadi Listrik by Evi Rahmawati

Kompas.com. Sejumlah petugas mengawasi beroperasinya delapan unit mesin pembangkit listrik dengan total kapasitas terpasang 10,5 megawatt di areal Tempat Pembuangan Sampah Akhir Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, beberapa pekan lalu. Aliran listrik itu masuk ke sistem kelistrikan Jawa dan Bali yang dikelola PT Perusahaan Listrik Negara. Nantinya, listrik yang dialirkan itu mencapai 26 megawatt.

okasi kedelapan unit mesin pembangkit listrik itu tidak jauh dari tumpukan sampah setinggi 20 meter. Meski sampah menggunung, tidak tercium aroma busuk yang menyengat di lokasi tersebut. Bagian atas timbunan sampah dilapisi tanah dan tertutup rapat oleh terpal plastik berwarna hitam agar hampa oksigen.
Dalam proses fermentasi itu, sampah organik membusuk dan menghasilkan gas metana. Kemudian, gas metana disaring dari kotoran padat yang dikandung dan suhu distabilkan sesuai dengan spesifikasi mesin pembangkit. Gas metana yang dihasilkan ”bukit” sampah itu dialirkan melalui pipa untuk mengoperasikan mesin-mesin pembangkit listrik di areal tempat pembuangan sampah tersebut.

Dengan memanfaatkan sampah untuk menghasilkan listrik, hal ini sekaligus mengatasi persoalan sampah di kota-kota besar. Produksi sampah naik, sementara pengolahannya tidak maksimal. Akibatnya, sampah menggunung dan tidak terurus. Selain menimbulkan bau tak sedap, sampah juga mengganggu keindahan, mencemari air dan tanah, serta dapat menjadi sumber penularan penyakit.

Di sejumlah daerah, pemerintah sulit mencari lahan tempat pembuangan sampah. Bahkan, sampah longsor dan menelan korban jiwa sebagaimana terjadi di TPA Leuwi Gajah, Bandung. ”Dengan mengolah sampah jadi listrik, dua masalah teratasi, yakni pencemaran lingkungan dan keterbatasan bahan bakar fosil,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kardaya Warnika.

Di Indonesia, baru TPA Bantar Gebang, Bekasi, dan Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan yang merintis penerapan teknologi yang mengintegrasikan pengolahan sampah terpadu. Jadi, sampah yang ada didaur ulang lalu dimanfaatkan komposnya dan juga dikelola menjadi energi listrik.

Proyek pengolahan sampah di TPA Bantar Gebang diserahkan Pemerintah Provinsi (Pemprov ) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta kepada dua pemenang tender, yakni PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Organic Energy, pada Desember 2008 dengan mekanisme sewa-beli selama 15 tahun dan nilai investasi Rp 700 miliar. Setelah masa kontrak berakhir, semua fasilitas yang dibangun investor menjadi milik Pemprov DKI Jakarta.

Selama masa kontrak itu, pengelola harus menerapkan beberapa teknologi pengelolaan sampah, yakni penumpukan sampah dengan metode berlapis, pemilahan sampah organik dan non-organik dengan menumpuk dalam bangunan fasilitas daur ulang material, serta metode pemanasan sampah.
Menurut Wakil Direktur PT Navigat Organic Energy Indonesia Budiman Simadjaja, kegiatan usaha itu masih merugi karena daya listrik yang dihasilkan relatif kecil. Selain itu, harga jual listrik ke PLN hanya Rp 820 per kilowatt hour (kWh). ”Baru untung kalau daya listrik meningkat,” ujarnya.

Dalam pengelolaan TPA Bantar Gebang, sedikitnya 500 karyawan dipekerjakan dan sebagian besar merupakan warga setempat. Adapun ribuan pemulung di tempat pembuangan sampah dibiarkan mengumpulkan sampah di titik akhir pembuangan sebelum timbunan sampah itu diolah. ”Kami berusaha tidak mengganggu aktivitas para pemulung,” kata Budiman.

Komitmen rendah
Pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan sampah ini bisa dikembangkan di setiap kota besar. Penutupan tempat pembuangan sampah terbuka telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Saat ini, hampir semua kota dan kabupaten di Indonesia menggunakan tempat pembuangan sampah terbuka. Namun, sejauh ini belum ada langkah dan program nyata yang dilaksanakan pemerintah daerah.

Padahal, menurut data Kementerian ESDM, secara nasional biomassa berpotensi menghasilkan listrik 49.810 MW, termasuk dari sampah kota. Saat ini, kapasitas terpasang untuk biomassa baru sebanyak 445 MW atau 0,89 persen dari total potensi tenaga listrik energi ramah lingkungan itu. Khusus untuk biogas dari sampah, dari 38 kota dan kabupaten di Indonesia, potensi listrik diperkirakan mencapai 236 MW.
Wakil Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Djoko Winarno memaparkan, kendala utama rendahnya pemanfaatan sampah organik untuk tenaga listrik adalah tingginya biaya investasi untuk mengumpulkan sampah, memilah antara sampah organik dan non-organik, mengolah sampah organik menjadi biogas, serta membangun pembangkit listrik tenaga sampah.

Rendahnya harga jual listrik dari pembangkit listrik tenaga sampah mengakibatkan biaya investasi sulit kembali, terutama jika memakai teknologi gasifikasi. Harga keekonomian listrik dari sampah itu di atas Rp 1.000 per kWh, sedangkan saat ini harganya baru Rp 820 per kWh. ”Jika harga jual listrik terlalu rendah, investor akan enggan berinvestasi dalam bisnis pengolahan sampah,” ujarnya.

Apalagi, pengolahan sampah untuk tenaga listrik itu berisiko tinggi, menimbulkan konflik sosial dengan warga sekitar yang terganggu oleh hilir mudiknya truk pengangkut sampah dan aroma busuk sampah. Para pemulung juga merasa terancam sumber nafkahnya dengan adanya kegiatan pengolahan sampah.
Selain itu, sebagian besar pemerintah daerah juga tidak mengalokasikan dana pengelolaan sampah yang memadai. Agar sampah bisa dikelola dengan baik, idealnya biaya pengelolaan sampah di atas Rp 200.000 per ton. Kenyataannya, sebagian daerah hanya berani mengalokasikan dana Rp 30.000 sampai Rp 40.000 per ton, bahkan banyak daerah tidak mengalokasikan biaya pengelolaan sampah.

Sejauh ini, baru Pemprov DKI Jakarta yang mengalokasikan dana Rp 103.000 per ton untuk pengelolaan sampah, dan 20 persen di antaranya masuk ke kas Pemerintah Kota Bekasi sebagai kompensasi pemakaian lahan di Bekasi untuk TPA. Adapun volume sampah di Jakarta sekitar 6.000 ton per hari. ”Untuk mengembalikan modal, kami memproduksi kompos dan pihak Navigat memproduksi biogas untuk tenaga listrik,” kata Wakil Direktur PT Godang Tua Jaya, Linggom Lumban Toruan.

Direktur Eksekutif Lembaga Reformasi Pelayanan Dasar Fabby Tumiwa menambahkan, pemanfaatan listrik dari sampah juga terkendala buruknya sistem pengumpulan sampah di banyak kota. Berdasarkan survei yang dilakukan lembaganya, jumlah sampah yang diproduksi dan dibawa ke TPA di beberapa kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah hanya 15 persen dari total volume sampah. ”Banyak sampah rumah tangga yang dibuang sembarangan atau dibakar,” ujarnya.

”Kondisi sebagian besar TPA tidak memenuhi standar penerapan teknologi pengolahan sampah. Volume sampah yang dibuang juga melebihi kapasitas TPA dan bercampur antara sampah organik dan non-organik,” ujarnya. Jadi, kalau ada pelaku usaha yang hendak berinvestasi dalam bidang pengolahan sampah, dia harus menambah biaya untuk menata ulang TPA.

Insentif harga
Untuk menarik minat investor, pemerintah baru menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun 2012 tentang harga pembelian tenaga listrik oleh PT PLN dari pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah atau kelebihan tenaga listrik. Aturan pelaksanaan itu juga memuat tentang harga jual listrik dari pembangkit listrik berbasis sampah kota.

Dalam aturan tersebut, harga jual listrik dengan kapasitas hingga 10 MW, apabila berbasis sampah kota dengan teknologi ”sanitary landfill”, ditetapkan Rp 850 per kWh jika terinterkoneksi pada tegangan menengah dan Rp 1.198 per kWh jika terinterkoneksi pada tegangan rendah. ”Sanitary landfill” merupakan teknologi pengolahan sampah dalam kawasan tertentu yang terisolasi sampai aman untuk lingkungan.

Sementara harga jual listrik berbasis sampah kota menggunakan teknologi ”zero waste” ditetapkan Rp 1.050 per kWh jika terinterkoneksi pada tegangan menengah dan Rp 1.398 per kWh jika terinterkoneksi pada tegangan menengah. ”Zero waste” merupakan teknologi pengelolaan sampah sehingga terjadi penurunan volume sampah yang signifikan melalui proses terintegrasi dengan gasifikasi atau insinerator dan anaerob.
Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan PT PLN Mohamad Sofyan mengatakan, pihaknya mendukung penetapan harga listrik berbasis biomassa dan sampah kota oleh pemerintah. Apalagi, saat ini biaya penyediaan listrik jika memakai bahan bakar minyak Rp 2.300 per kWh. Selama ini, penetapan harga listrik berbasis biomassa berdasarkan negosiasi bisnis. Harga jual listrik di TPSA Bantar Gebang, misalnya, baru Rp 820 per kWh.

Sejumlah pemerintah daerah mulai menjajaki kerja sama dengan pelaku usaha pengolahan sampah untuk mengantisipasi pemberlakuan UU tentang pengolahan sampah. Studi mengenai potensi tenaga listrik berbasis biogas dari sampah dilaksanakan di Bandung, Jawa Barat, dan Surabaya, Jawa Timur. Pemerintah Kota Surabaya, misalnya, berencana mengolah sampah di TPA Benowo dengan volume sampah 2.562 ton per hari mulai tahun ini dengan menggandeng PT Navigat Organic Energy Indonesia.

”Agar proyek pengolahan sampah berjalan baik dan layak secara ekonomi, pemda perlu mengalokasikan biaya pengelolaan dan volume sampah minimal 800 ton per hari. Karena itu, pemda-pemda sebaiknya membangun TPA regional sehingga kami dapat mengolah sampah dengan baik dan dapat menghasilkan tenaga listrik untuk dijual dan mengembalikan biaya investasi,” kata Budiman.

Tentu perlu komitmen kuat pemerintah dan kesadaran masyarakat untuk mengolah sampah agar sampah memberi manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan. Dengan menggunakan teknologi, sampah juga dapat menjadi tenaga listrik yang menerangi jutaan penduduk.

(EVY RACHMAWATI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar